Rabu, Oktober 23, 2024

Kakek, Sedang Apa Di Atas Sana?

Kamis, 17 Oktober 2024. Beberapa jam setelah pemakaman Bapak. Mamak berbaring di kasur kamar. Dia telentang dan pandangannya kosong. Saya mencoba menggoda dan menghiburnya. “Kulalai dikka, reso-reso na bapakmu bawa na jumai,” katanya. (Saya ingat perjuangan Bapakmu membawa saya ke sini).

Saya terdiam. Kalimat itu menghantam kepalaku. 

Awal tahun 1980 Bapak bertemu dengan Mamak di Surabaya. Kala itu, Bapak bekerja sebagai kru kapal di sebuah kapal Pelayaran Nasional. Mamak masih SMP waktu itu, Bapak berusia 20 tahun. Mereka kemudian saling mencintai. 

Tahun 1982, mereka berdua menikah di Surabaya. Nenek saya di kampung, marah-marah dan tak setuju. Bapak kemudian membawa Mamak ke Makassar. Dia tinggal di sebuah kosan bersama Nenek Ibu kami (sepupu dari nenek di kampung), di kawasan Ratulangi. Hingga jelang dua tahun. 

Tahun 1984, Mamak kemudian hamil. Keluarga lainnya, mengabarkan kondisi itu ke Nenek di kampung. Beberapa bulan kemudian, Mamak pulang ke kampung, membawa saya dalam rahimnya. 

September 1984, saya lahir. Keluarga suka cita dan bahagia. Diberilah saya nama, Eko Rusdianto. Saya menjadi cucu pertama. Maka semua sapaan berubah, menjadi Mamaknya Eko, Bapaknya Eko, Neneknya Eko.  

Entah tahun berapa, Bapak kemudian tidak menjadi kru kapal Pelni, tapi berpindah ke kapal kargo yang rutenya ke luar negeri. Setiap kali dia pulang, dia membawa cerita yang beragam. Dari mulai salju, hingga lautan yang mengamuk. 

Saya juga ingat, saat kelas tiga sekolah dasar, Mamak mengajak kami ke Surabaya, ke kampungnya. Waktu anaknya masih tiga orang. Saya, Iwan dan Tina. Tapi rupanya, skenario jalan-jalan itu adalah untuk berpindah. Keluarga Mamak di Surabaya mengajak saya melihat sekolah. 

Ada rencana, orang tua saya berpindah pendudukan. Tapi dua pekan di Surabaya, menjadi buyar. Iwan, saban hari selalu sakit dan selalu teriak mencari Nenek. Akhirnya, kami pun pulang kembali ke kampung. 

Saya ingat betul kami sampai rumah di kampung, pada dinihari. Nenek membuka pintu dan begitu ceria menyambut kami. Inilah setapak tangga, keluarga kami melangkah. 

Setelah Tina, seorang lagi lahir. Namanya Eva. Dia perempuan yang menggemaskan waktu kecil. Rumah panggung Nenek di kampung semakin ramai. Kami berbagi kasur saat tidur. 

Tapi sebagai cucu pertama, saya punya banyak akses kemudahaan. Jika Mamak, harus bersempit-sempit dengan Iwan, Tina dan Eva, saya dengan leluasa bisa memeluk guling sendiri bersama Nenek di ranjang dapur yang hangat. 

Hingga kemudian, rumah panggung itu menjadi rapuh. Bapak yang bekerja di kapal, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan dikelola Mamak dengan cerdas. Mulanya, dapur rumah panggung itu dibongkar, lalu dibangunlah rumah beton. 

Pondasi untuk badan rumah yang utuh didirikan di bawah rumah panggung dan disela tiangnya. Beberapa tahun, bangunan rumah beton itu bertahan, dengan satu kamar, dan dapur. Di rumah yang sempit itu, keluarga kami dengan bahagia menjalankan kehidupan. Ada Nenek, Mamak, Saya, Iwan, Tina, Eva dan kemudian lahir lah lagi seorang anak perempuan namanya Medi. 

Ketika Bapak pulang berlayar, maka rumah menjadi lebih sesak. Tapi entah kenapa, rumah itu terasa legah saja jika kuingat. Kemudian uang keluarga kami berkumpul. Maka badan rumah dibangun pelan-pelan. 

Ketika bangunan itu berdiri, rumah beton itu terasa begitu besar. Maka jadilah kami punya empat kamar di rumah. 

Kamar orang tua berpindah ke badan rumah. Kamar di dapur itu, menjadi tempat Nenek. Ketika SMA, saya menempati kamar paling depan. Tahun 2002, saya melanjutkan pedidikan di perguruan tinggi di Makassar. Lalu saya sakit perut dan harus dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo selama satu minggu. Nenek dan Mamak bergantian merawat. Tapi Nenek tak pernah meninggalkan saya di rumah sakit. 

Saya ingat betul, dia menemani saya masuk kamar mandi. Menyiram pantat, ketika saya hendak cebok jika sudah berak. Beberapa tahun selanjutnya, Nenek terserang stroke. Dia lumpuh dan harus berbaring di kasur kamar dapur itu. 

Keluarga kami merawatnya dengan bahagia. Hingga kemudian, Nenek kami tak lagi mampu membawa penyakitnya dan meninggal dunia. Tapi sehari sebelum meninggal, keluarga menelfon saya yang lagi di Makassar, kuliah. 

Mamak bilang, saya harus pulang. Karena sepertinya, Nenek yang sedang dalam masa kritis dan menuju sakratul maut, menunggu saya. Akhirnya, saya memacu kendaraan roda dua saya ke kampung. 

Saya tiba di kampung, pada sebuah sore. Banyak orang sudah berkumpul di rumah kami. Keluarga sudah sesak. Beberapa orang bergantian melantunkan ayat al-quran di dekat Nenek. Saya masuk ke rumah dan setengah berteriak. “Nenek, saya sudah ada,” kataku. 

Saya masuk ke kamar, dan memegang tangan lalu menciumnya. Nenek membuka mata dan tersenyum. Semua orang yang menyaksikannya juga tersenyum bahagia, sebab sudah tiga hari Nenek tak pernah membuka matanya. 

Jelang pukul 20.00 saya, melihat keadaan Nenek semakin menurun. Kakinya sudah begitu dingin. Pahanya juga dingin. Bagian vaginanya juga sudah dingin. Tersisa yang hangat pada bagian atas dada, dekat dengan pangkal leher. 

Saya menghela nafas. Saya bisikkan kemudian di telinganya kalimat sayahadat. Lalu meminta maaf untuk semua kesalahan yang pernah kuperbuat. Lalu pelan-pelan, saya ucapkan: jika Nenek sudah ingin meninggal, saya memohon untuk tidak melihatnya. 

Berjalan keluar kamar, dan meminta sepupu saya bergantian menjaganya. Alasan saya, hendak merokok. Di depan rumah, saya membakar rokok. Hanya beberapa kali hisapan, suara tangis pecah dalam rumah. Nenek saya meninggal dunia. Saya mafhum dan masuk melihatnya kembali. 

Keesokannya, prosesi pemakaman dilakukan. Setelah jenasah dimandikan. Dikafani. Lalu diangkat ke keranda. Dan jenasah diangkat meninggalkan halaman rumah. Saya merasa guncangan besar terjadi di dada saya. Kaki seperti tak punya tulang dan kepala tak bisa berpikir. Saya menangis tapi tak mengeluarkan suara. Sakit sekali. 

Ini lah kali pertama saya merasakan sakit yang begitu dahsyat. 

TAHUN-tahun berlalu. Hingga saat saya memiliki dua orang anak, hingga saya menuliskan kisah ini, pengalaman kehilangan itu tak pernah lepas. Hingga pada September 2024, Bapak saya, sakit. 

Itu terjadi, di rumah kami di kampung. Pada sore jelang magrib, badannya menggigil dan demam. Lalu jelang tengah malam, Bapak mengeluh tak bisa menahan keadaannya dan meminta Mamak membawanya ke Rumah Sakit. 

Adik saya, Baso, suami dari Eva, membawanya dengan cekatan ke RS Hikmah Belopa. Empat hari dia menjalani perawatan inap. Dan mendapatkan diagnosa Leumenia Myloid Akut (AML)  atau kanker darah. RS Hikmah mengeluarkan surat rujukan ke Makassar, dan kami memilih RS Wahidin Sudirohusodo. 

Dua saudara bapak, om Anton (Kakak Bapak) dan Om Rahim (Adik Bapak), ikut serta mengantarnya. Bapak datang di rumah sederhana saya. Kami menyambutnya dengan penuh semangat. Elang, anak saya, cucu pertamanya, menyambut juga. 

Di rumah, Bapak tinggal dua hari. Sebelum tiba akhirnya, pada Senin, 23 September 2024, kami membawanya ke RS Wahidin dan antri di poliklinik bagian Hematologi dan Onkologi. Sekitar pukul 11.00 nama Bapak mendapat giliran. 

Saya bersama Asti anak bungsunya, anak keenam dari keluarga kami, mengantarnya bertemu dokter dalam ruangan itu. Mamak saya menunggu diluar, dia tak masuk. Ada juga Elang, yang menunggu di kedai Kopi Tiam di lantai dasar, sebab anak kecil tak boleh masuk. 

Dalam ruangan itu, asisten dokter hematologi itu, memberikan kami penjelasan. Dan belum bisa memastikan semuanya sesuai diagnosa dari RS Hikmah. Mereka akan mengambil sampel darah dan membawanya ke Laboratorium dan keesokan harinya baru kemudian akan dipastikan, apakah akan menjalani perawatan inap atau tidak. 

Tapi, kata dokter perempuan itu, untuk memastikan semua, akan dilakukan pengambilan sampel tulang belakang. Dengan cara menyuntiikkan jarum ke sisi panggul, menembus tulang, tepat di tempat produksi darah dalam tubuh. 

Dua jam berikutnya, kami meninggalkan poliklinik yang disesaki ratusan pasien itu. Kami mampir di sebuah warung makan Soto Ayam Lamongan di jalan Perintis Kemerdekaan. Elang, bersisihan dengan kakeknya makan. Dan dia bilang: Kakek harus makan semangat, supaya sakitnya bisa dilawan. 

Dari tempat makan itu, kami tak pulang lagi ke rumah saya. Tapi terus ke rumah Iwan di kawasan Gowa, agar akses jarak ke RS Wahidin lebih dekat. Di sana, kami menunggu hasil analasis darahnya. Keesokannya, hasilnya tak berubah, Bapak mengidap AML. Dan Bapak harus rawat inap. Hati saya menjadi berantakan dan limbung. 

Akhirnya, surat rujukan perawatan kami bawa ke Gedung IGD, bagian Admission. Tapi kamar perawatan pagi itu masih penuh pasien. Kami menunggu. Hingga jelang pukul 17.00 kami mendapatkan kamar perawatan di Lontara 2, kamar 3. 

Ini adalah kelas perawatan dengan jaminan Kesehatan menggunakan BPJS kelas 3. Di kamar itu, ada enam pasien yang berbagi sekat. 

Kami mengantar Bapak masuk perawatan selepas magrib. Lalu beberapa menit kemudian, perawat datang dan memasang selang infus di tangan Bapak. 

Keesokannya, dokter datang dan memberikan kami informasi keadaan kesehatan Bapak. Jika darah putihnya mencapai 70.000, dimana idealnya darah putih untuk pria dewasa adalah 20.000 per milligram. 

Saya masih kelabakan memikirkannya. Lalu mencoba menelusurinya di laman internet, dan menemukan kisah sel darah putih. Perbandingan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) sel darah putihnya sangat rendah dibawah angka standar, yakni bisa saja hanya berkisar 200. 

Mengapa penderita leukimia, mengalami hal itu? Pada prinsipnya, sel darah putih merupakan sel yang melawan jika ada luka dan virus yang masuk dalam tubuh. Meningkatnya sel darah putih secara tak wajar, kata Gabby, nona dokter terbaik kami, biasanya menunjukan adanya keganasan. 

Keganasan, kata Gabby, bisa jadi ada tumor atau kanker. Saya menghela nafas, membaca penjelasan itu. Dan memang saya siap menerima keadaan paling buruk. 

Akhirnya, saya memberitahu Bapak mengenai keadaan penyakitnya. Dia merenung cukup lama. Bapak bilang, leukimia ini penyebabnya karena apa? Saya menjelaskannya dengan seadanya, bisa jadi makanan, keturunan, dan bahkan kontaminasi bahan kimia. 

Saya bilang kemudian, selama 30 tahun lebih, Bapak bekerja sebagai tukang las di kapal. Menghirup asap las yang bercampur elektroda dan bahan aktif lainnya. Dia memandang saya menelisik kehidupannya sebelumnya. “Kalau karena asap las, itu nda bisa dipungkiri,” katanya. 

“Apalagi las dalam tabung. Itu asap las, memang bisa bikin sesak. Biar pakai masker, itu tembus,” lanjutnya. 

“Itulah. Kalau nanti adekmu menelfon, kau kasi tahu untuk hati-hati juga.” 

Bapak mulai menerima keadaan itu. Tapi dia mengkhawatirkan Iwan, anaknya yang juga mengikuti jejaknya sebagai kru kapal. Iwan juga menjadi tukang las di kapal. “Kasi tau Iwan. Kasi tahu i,” tegasnya. 

Selain Iwan, Om Rahim, juga bekerja di kapal, juga seorang tukang las. Saat saya memberitahukan kekhawatiran itu, dia mengangguk. “Yamia to. Parallu dijaga to,” katanya. (Itu penting, dan harus menjaga keselamatan).

Dua hari di ruang perawatan, dokter menyarankan Bapak untuk transfusi trombosit dan sel darah merah untuk menambah Hb. Hari itu, hasil analasis laboratorium darah Bapak menunjukkan, trombositnya hanya sekitar 7.000 dari angka normal 135.000. Sementara HB-nya hanya sekitar 6 dari angka normal 12 atau 13. 

Dalam catatan dokter, Bapak memerlukan 8 kantong trombosit dan 2 kantong sel darah merah. Saya kemudian mengunjungi Unit Transfusi Darah RS Wahidin, dan mereka hanya memiliki persediaan sel darah merah. Trombosit harus cari diluar. 

Saya menuju Unit Tranfusi Darah Makassar di depan gerbang kompleks Bumi Tamalanrea Permai, dan trombosit itu tersedia, meski harus menunggu sekitar 3 jam prosesnya. 

Di Lontara 2, selama dua pekan Bapak dirawat. Dia membutuhkan trombosit sebanyak dua kali, atau sebanyak 16 kantong dan empat kantong darah merah. 

Ketika tranfusi trombosit dan darah merah dilakukan, nampak jelas perubahan kondisi fisik Bapak yang membaik. Wajahnya menjadi cerah dan tidak pucat lagi. Kakinya juga tidak begitu pucat. 

Akhirnya, dokter meminta kami untuk keluar rumah sakit, ketika trombosit bapak sudah mencapai 10.000 dan HB nya mencapai 8. Kata dokter, Bapak boleh istirahat di rumah dulu, selama seminggu, bertemu cucu dan keluarga, serta menghirup udara segar. 

Jelang siang, infus bapak dicabut. Dia senang sekali. Menggunakan celana panjang dan kaos berkerah, dia berbaring sambil mengangkat tangannya ke kepala, menunggu resep dokter. Setelah semua beres, Bapak berjalan keluar kamar perawatan dan naik ke mobil dengan begitu sumringah. 

Dia duduk di kursi depan berdampingan dengan saya. Dia bilang, mau makan ikan bawal laut. Dia rindu sekali ingin mengecap daging itu. Tapi di Makassar, mencari ikan bawal menjadi sangat sulit. 

Akhirnya di perjalanan kami pulang ke rumah, kami menemukan penjual ikan bakar di BTP, yang menjual ikan baronang dan ikan putih. Bapak bilang tidak apa-apa, yang penting ada sambalnya. 

Sesampainya di rumah, dia langsung duduk di lantai dapur dan melahap ikan itu. Bapak sungguh menikmatinya. Setelah makan, dia duduk sesaat di kursi teras dan melihat cucunya bermain. Kini Bapak punya lima orang cucu. 

Dua cucu, laki-laki dan perempuan dari anak saya bersama Tika istri saya. Satu anak laki-laki dari anak Tina bersama Amrin. Satu laki-laki dari Medi dan Ippang. Serta satu perempuan dari Eva dan Baso. 

Tapi Bapak juga sedang menunggu kelahiran cucu perempuan anak kedua Eva yang masih dalam kandungan berusia tujuh bulan. Sore itu Bapak bersendagurau dengan cucunya. Dia tersenyum dan tertawa. 

Tiga hari di rumah, Bapak mengalami demam dan pendarahaan pada gusinya. Saya khawatir dan membawanya menuju IGD RS Wahidin, jelang pukul 23.00. Tindakan itu, kami lakukan sesuai perintah dokter, bila Bapak demam atau pendarahan, harus langsung dibawa ke IGD, tidak perlu menunggu Jumat untuk jadwal kontrolnya. 

Kamis malam itu, saya bersama Asti dan Sasty anak menantunya, membawa Bapak ke IGD. Dokter dengan sigap melayani kami. Lalu kemudian, memberikannya suntikan infus dan mengalirkannya paracetamol dalam botol melalui selang infus. 

Setelah paracetamol habis, Bapak mulai tenang. Lalu petugas kesehatan lainnya, mengambil sampel darah Bapak dari lengan. Dan meminta saya membawanya ke Laboratorium darah di lantai dua Gedung IGD. Keesokan, hasilnya keluar, trombosit jatuh ke angka 5.000 dan Hb-nya masih diangka 8. 

Petugas IGD kemudian memberikan saya secarik kertas untuk melakukan transfusi trombosit, juga sebanyak delapan kantong dan sel darah merah sebanyak dua kantong. Seperti biasa, UTD RS, hanya tersedia darah merah, trombosit harus mencari diluar. 

Di UTD depan Kompleks BTP stok kosong. Saya menuju kantor PMI Sulawesi Selatan di Jalan Lanto Daeng Pasewang dan menemukan stoknya tersedia. Di PMI Sulawesi Selatan ini, trombosit diproses sekitar 1 jam. 

Setelah mendapatkan trombosit, saya membawanya ke UTD RS untuk dilaporkan. Lalu beberapa jam kemudian, Bapak mendapatkan transfusi trombosit itu. 

Dua malam kami di IGD, akhirnya kami mendapatkan kamar perawatan di lantai dua Palem, Kamar 208. Ini adalah ruang perawatan untuk kelas 1 peserta BPJS. Kamar itu hanya dihuni oleh dua orang. Bapak menjadi senang meninggalkan IGD yang riuhnya tak pernah berhenti selama 24 jam. 

Di kamar perawatan, Bapak bisa memejamkan matanya. Dia bisa beristirahat dengan tenang. Meski kamar lebih kecil dibanding ruang perawatan Lontara 2. Tapi pada hari ke lima di ruang perawatan itu, Bapak mulai mengeluh. Dia bilang, penyakitnya sangat mengganggu, karena membuatnya gelisah. Dia merasa tubuhnya tak bisa beristirahat dengan baik. 

Secara fisik, tak ada bagian tubuh yang sakit. Tapi secara mental sangat kelelahan. Di leher, kelenjarnya pun mulai membengkak. Dalam lubang hidungnya juga ada benjolan yang tumbuh. Dia mulai merasakan semakin sesak. Sementara gusinya ikut berdarah. 

Meski beberapa hari, Bapak sudah menggunakan diapers untuk kebutuhan kecingnya, dia tak ingin berak di celana itu. Jadi pada hari ke lima di sore itu, dia meminta saya menemaninya ke WC. Dia berjalan dan saya memegang infusnya. 

Saat dia berak, dan membantunya menyiram tahi, saya liat warnanya sangat hitam. Tapi Bapak tak peduli. Dia kemudian berjalan ke ranjangnya dengan pelan. Sampai di ranjang, dia menjadi sesak. Saya memintanya baring dengan pelan dan menaikkan sandaran kasur, hingga posisinya seperti orang duduk. 

Bapak merasa agak baikan. Lalu tiba-tiba petugas rawat melihat kondisi itu. Dia bilang ke saya, kalau Bapaknya mau berak dan kencing, tidak usah ke WC. Buang airnya di kasur saja. “Kasihan Bapak ini sesak. Jangan ya pak. Nanti kalau berak biar anaknya yang bersihkan. Kan tidak apa-apa,” kata petugas rawat inap itu. 

Bapak menerima masukan itu. Sementara dia semakin sesak, petugas medis itu memasangkannya selang bantu oksigen dengan tabung tinggi di dekatnya. Selang itu, maksimal akan menghantar oksigen sebesar 5 ml. 

Ketika selang oksigen itu dipasangkan dihidungnya, Bapak makin susah bernafas. Tapi perawat inap itu, menenangkannya dan memintanya bernafas dengan pelan melalui hidung. Akhirnya Bapak bisa melakukannya. 

Malam itu Bapak bisa tidur dengan nyenyak. Hanya sekali dia bangun pada dinihari, karena berak dan saya mengganti diapersnya. Lalu kembali tidur dengan baik. Sebelumnya, dokter juga meminta tranfusi trombosit sebanyak delapan kantong dan dua darah merah. Malam itu, transfusi tidak dilakukan. 

Keesokan paginya, saya dan Riri, keponakan Bapak anak dari Om Rahim yang menjaganya, akan berganti jaga. Jelang pukul 09.00 Riri, pamit ke Bapak. “Om Ummang (panggilan akrab para ponakannya, karena Namanya Rusman), pergika dulu kerja nah,” katanya. 

“Iya hati-hati. Jangan balap-balap,” kata Bapak. 

Jelang pukul 10.00, Tina dan Sasty datang. Kini giliran saya yang meninggalkan ruangan untuk mencari makan dan kopi. Saya pamit ke Bapak dan kemudian memilih mencari makan di kantin kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin, yang berdampingan dengan RS Wahidin. 

Saat saya meninggalkan ruang perawatan, Bapak melakukan tranfusi trombosit dan darah merah. Tapi beberapa saat selanjutnya, selang oksigennya diganti menjadi masker yang menghantarka oksigen hingga 15 ml.

Sementara di kampus saya makan bersama Eril kawan angkatan kuliah saya di Arkeologi tahun 2002. Setelah makan kami berpindah di gazebo dan menyeruput kopi lalu berbincang banyak hal. Setelah itu, ikut pula Dekan FIB, Prof. Akin Duli dan seorang dosen lainnya. 

Membicarakan banyak. Lalu sekitar pukul 13.30, saya baru memperhatikan hape dan melihat panggilan tak terjawab Tina. Panggilan ke empatnya, saya angkat dan mendengar suara Tina menjadi lirih seperti sedang menangis. 

“Eko dimana ki. Kesini ki, na cari teruski Bapak,” katanya. 

Saya menjawabnya singkat dan langsung meninggalkan tempat diskusi. Dari parkiran saya memacu motor dan masuk ke RS Wahidin. Saya berlari ke lantai dua Palem dan masuk ke ruangan. Saya lihat kondisi Bapak sedang tak baik-baik. Di dalam kamar, Mamak sudah ada. 

Lalu kami mengganti diapers yang katanya sedang berak. Saat membersihkannya, saya lihat penis Bapak sudah mengecil dan sudah tak terlihat batang. Saya ingat, petuah-petuah orang di kampung, jika salah satu tanda, orang dalam keadaan sakratul maut adalah penisnya mengecil bagi laki-laki. 

Saya panik. Saya melihat Bapak dan mendekatkan mulutku ke telinganya, jika kami anaknya sedang berusaha menjaga dan mencari jalan pengobatan terbaik untuknya. Setelah Bapak sedikit tenang, saya berlari ke luar kamar dan menelpon Om Anton dan Om Rahim, untuk segera ke Makassar. 

“Kalau kau bilang begitu nak, kami ke Makassar sore ini,” kata Om Rahim. 

Saya kembali masuk ruangan. Saya bilang ke Bapak, kalau saya sudah mengabari saudaranya dan dia akan datang. Tina membacakan salawat, istigfar di telinga. Saya membacakan beberapa surah pendek di telinga satunya yang kutahu artinya. Tak lama kemudian, beberapa keluarga datang, dan keadaan ruangan menjadi tegang. Lantunan surah Yasin dibacakan ke Bapak. Saya tetap memeluk kepalanya dan mengusap-usap pipinya. 

Dari kapal Iwan, juga sudah melakukan panggilan video dan terus menangis. Riri juga sudah kembali lagi ke RS Wahidin. Saya ingat, malam itu, dia minta saya membawa Elang, cucu pertamanya untuk menemuinya. 

Tika dalam perjalanan dari rumah ke RS dan kemudian meminta Elang turun lebih cepat. Tika meminta izin ke perawat dan saya meminta izin ke satpam dan bakal menanggung akibatnya, sebab Bapak sedang sekarat dan dia ingin bertemu cucunya. 

Pertugas Satpam dan perawat memberikan ijin. Elang berjalan dengan cepat dan masuk ke kamar Bapak. Dia datang dan membisik ke telinga. “Kakek, saya Elang. Saya sudah datang,” katanya. 

Bapak membuka matanya dan melihat tanpa arah. Lalu sedikit tenang dan kembali tersengal dengan nafas yang berat. Elang, berdiri di dekat ranjang kakeknya dan menatapnya dengan lekat. 

Ketika nafasnya menjadi semakin lemah, saya memasukkan tangan ke selangkangan dan mendapatkan penis Bapak sudah sangat dingin. Rasanya dunia akan runtuh. Dan tiba-tiba saja, Bapak meninggal dunia. Petugas medis yang ada menyaksikan itu mencoba, menenangkan keluarga, dia memeriksa denyut nadi di dekat lehernya dan bilang masih berdetak. 

Dia meminta ijin ke saya, untuk melakukan CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation). Saya membolehkannya. Tiga perawat perempuan bergantian memompa bagian dada Bapak. Dan kemudian, mereka menyerah dan bilang sudah meninggal. 

Medi yang juga sejak beberapa waktu lalu sudah ada di kamar, meraung. Dia memegang tangan perawat itu tak terima. Mamak menjadi begitu lemas. Asti menjadi makin histeris dan bilang kalau dia sudah tidak punya Bapak. Tina juga menangis histeris dan berkali-kali bilang; Bapak Eko, Bapak Eko…        

Saya mendekati adik-adik saya itu satu persatu dan memeluknya dengan tegas. Saya mendekati Elang, dan menciumnya. Mamak saya sudah terbenam dalam perutku. Tangannya gemetar memeluk pinggang. 

Ketika selang infus itu dilepas, hati saya menjadi begitu berat. Seorang kerabat datang mencoba menuntun. Petugas rawat membantu, mengikat tangan Bapak yang dilipat di perutnya. Mengikat kepalanya dari dagu, agar mulut tak terbuka dan mengikat kakinya. 

Setelah itu, saya membungkus jenasah Bapak dengan kain sarung yang kami bawa. Saudara saya, Iqbal Lubis, yang datang telat, memeluk saya. Dia masuk ke kamar jenasah, dan saya meminta Medi yang menjaga untuk membuka penutup wajah Bapak agar Iqbal melihatnya. 

Rasanya dunia mejadi runtuh. Sesak di dada menjadi makin pilu. Di kamar mandi/WC kamar perawatan, saya membenamkan wajah ke baskom yang penuh air dan melampiaskan tangis. Setelah itu saya melangkah keluar dan mencium kembali jenasah Bapak. 

Lalu kemudian, saya mengurus keperluan lainnya. Surat kematian. Hingga menyiapkan mobil jenasah yang akan menghantar Bapak ke Suli. Saudara saya yang lain, Yuda, juga datang telat. Dia mendapati jenasah Bapak ketika sudah berada di kamar jenasah. Yuda lah yang membantu mengangkat janasah dari ranjang ke dipan kasur milik mobil jenasah. 

Yuda menyuruh saya memegang kepala Bapak. Sementara dia, dengan enteng mengulurkan tangannya masuk ke sela pantat Bapak, dan mengangkatnya. Sekejab saya meliriknya, ini adalah bagian penting dari jenasah yang biasanya akan disentuh oleh keluarga terdekat. Dalam perjalan membawa jenasah, saya membungkus jenasah bapak dengan selimut. Mengingat Yuda memperlakukan Bapak.  

Maka; 

Rabu 16 Oktober 2024, sekitar pukul 16.30 Bapak saya meninggalkan kami. 

Rabu 16 Oktober 2024, sekitar pukul 19.30 mobil jenasah mengaumkan sirenenya membelah jalanan dengan kecepatan tinggi menuju Suli. 

Kamis 17 Oktober 2024, sekitar pukul 01.00 jenasah Bapak tiba di rumah yang dibangunnya dengan uang keringatnya sendiri. Jenasahnya diletakkan di ruang tengah, seperti posisi Nenek beberapa tahun lalu. 

Kamis, 17 Oktober 2024, sekitar pukul 12.00, jenasah Bapak diangkat masuk ke kamarnya. Di dalam ruangan itu, kami memandikannya dengan penuh hikmat. Elang, juga ikut menyaksikan Kakeknya dimandikan. Lalu dibalutkan kain kafan, disalatkan, dan kemudian dihantarkan ke pekuburan umum. 

Ketika jenasah Bapak turun ke liang lahat itu, saya menghaturkannya doa dan ucapan terimakasih yang begitu dalam telah menjadi orang tua untuk saya, untuk adik-adik saya. Dan menjadi Kakek yang baik hati. 

Saya duduk dengan posisi jongkok melongo menyaksikan jenasah itu dibaringkan di liang. Elang ada di dekat saya dan ikut menyaksikannya juga. 

Setelah liang kubur itu tertutup, kami berdoa bersama para pengantar. Lalu meninggalkan kuburan dengan perasaan campur aduk. 

Minggu pagi, 20 Oktober 2024, saya, istri dan dua anak, pamit ke Mamak dan menuju Maros untuk melanjutkan hidup. Saya tak bisa membicangkan dan menuliskan perasaan itu. Dan pada Rabu, 23 Oktober 2024, saya ke rumah Sasty untuk mengambil hape Bapak, yang sejak sakit tak pernah diaktifkan lagi. 

Ketika hape itu aktif. Saya membuka aplikasi pesan WhatsApp. Pada Minggu 20 Oktober 2024, pukul 11.26, ada pesan dari Elang, kepada Kakeknya. “Kakek apa kita bikin di sana,” tulisnya. 

Esoknya, pada Senin 21 Oktober 2024, pukul 12.41, itu tepat ketika dia sudah pulang sekolah, dia kembali mengirim pesan ke Kakeknya. “Kakek apa kita bikin di atas sana.” 

Membaca itu, hati saya remuk. Lalu pelan-pelan saya bertanya pada Elang. “Elang rindu sama Kakek?,” 

“Iya,” 

“Bagaimana Elang kenang Kakek kah?,”

“Kakek yang baik hati. Tidak pernah marah. Saya sedih,”

“Kakek pasti senang karena dia tahu, cucunya ingat dia sebagai orang baik,” 

“Iya. Tapi sayang sudah tidak bertemu lagi secara langsung. Tapi saya beruntung, saya kenal Kakek,” 

“Iya Elang, anak yang beruntung,” 

“Tapi tidak ada lagi yang selalu telfonka akhirnya.” 

Senin, Agustus 12, 2024

Tako adalah Takdir di Kombong

29 Juli 2024, lelaki yang ramah dan keras kepala itu meninggal dunia. Saya memerlukan sepekan mengenangnya dengan takzim hampir saban hari. Saya dan kampung kami itu benar-benar merasa kehilangan.

Jika menyebut satu nama di kampungku yang begitu elegan, maka saya akan menyimpan satu: Takdir. 

Takdir adalah nama seorang lelaki. Di kampung, orang-orang menyapanya dengan sebutan Tako. Belakangan ketika dia menikah dan punya anak, dia kemudian disapa Bapaknya Bumi. Bumi, adalah nama anak pertamanya. 

Seingat saya, beberapa tahun sebelum dia menikah, di dekker, tempat kami selalu menghabiskan malam, dia mengeluhkan nama anak-anak yang lahir dengan meniru nama artis. Baginya itu ribet dan susah menyebutkannya. 

Ake deng mangka anakku, laku sanga aku litak,”katanya. 

Dan benar saja. Litak dalam bahasa Luwu, adalah tanah. Maka dinamai lah anak lelakinya menjadi Bumi. 

Tako, dalam ingatan saya sejak SMP, adalah seorang anak muda yang pandai bermain bola. Jika dia bermain, posisinya berada di gelandang serang. Dia juga kadang menjadi second striker – orang di belakang penyerang utama. 

Sebagai seorang gelandang, dia pandai sekali mengatur serangan. Jika Persatuan Sepakbola Kombong bermain, maka tak ada yang berhak mengikat ban kapten di lengannya kecuali dia. Di lapangan, Tako begitu tenang dalam memainkan bola. 

Belakangan, saya membayangkan dia seperti Zidane di Juventus dan Prancis. Serumit apapun bola di lapangan, para pemain cukup mengumpannya ke Tako, maka bola itu akan bergerak dengan begitu anggun. 

Selain kepiawaiannya bermain bola, hal utama lain yang wajib dimiliki pemain bola antar kampung adalah nyali. Tako, adalah manusia yang diberikan takdir dengan nyali diatas level wajar. 

Teman-temannya yang bermain bersama, akan merasa selalu terlindungi dengan hadirnya Tako. Suatu waktu, saya ikut menyaksikannya bermain di lapangan Desa Malela. Itu jika tak salah ingat sekitar tahun 2001. Kombong melawan Temboe. 

Ini adalah dua tim yang kuat. Punya materi pemain yang sangat baik. Pada babak pertama, tegangan antar pemain sudah mulai terlihat. Kami yang menonton tepat disisi garis lapangan, memberi semangat. 

Lalu tiba-tiba, seorang pemain Kombong dijatuhkan dan sangat keras. Pemain dalam lapangan saling dorong mendorong. Saya ingat waktu itu, Jareng, pemain Kombong langsung memukul salah seorang pemain Temboe. Keributan tak terhindarkan. 

Tako berlari ke kerumunan, berusaha melerai. Tapi tak bisa. Dan dia pun ikut berkelahi. Supporter tentu saja ikutan. Aksi saling kejar terjadi, hingga ke dalam kebun kakao.

Suatu waktu lagi, saya melihatnya menangis sesenggukan. Pertandingan itu membawa nama kecamatan Suli. Tako juga menjadi kapten tim. Pertandingan itu dilaksanakan di lapangan desa Kasiwiyang. 

Ini pertandingan yang selalu kami tunggu-tunggu. Sebab di tim lawan ada Gatot, seangkatan Tako yang sama mumpuninya dan sama besar nyalinya. Ketika pertandingan berlangsung, babak pertama begitu menyenangkan. Kasiwiyang tertinggal satu gol. Maka di babak kedua, tensi pertandingan meningkat. Saling sleding pemain dari arah belakang terjadi. 

Tako mengingatkan rekan-rekannya untuk tetap tenang. Tapi entah bagaimana dalam lapangan terjadi keributan dan Gatot mulai memukul. Perkelahian tak terhindarkan. Tako berupaya melerai, tapi dia kena pukul. 

Tak berlangsung lama, perkelahian berhenti. Tako berjalan ke pinggir lapangan dan menangis besar. Dia tak menyangka, Gatot yang dianggap karib dan saudaranya tega memukul adik-adiknya dari Suli. 

Saya menyaksikannya, Tako menangis dengan gemetar. Bagi dia, itu tak patut terjadi. Saudara itu saling menjaga. Saling membantu. “Apa sanganna,” katanya. (Kenapa dia (Gatot) bisa melakukannya) 

Kejadian itu terus membekas diingatan. Tako memberikan saya pelajaran yang jauh dari ucapan, tapi pembuktian. Ah Tako, saya mencintaimu dengan sepenuh hatiku. 

Belakangan, ketika usianya semakin tua, beberapa anak-anak di kampung, termasuk ponakannya, menjadi piawai juga bermain bola. Tako mulai tak bermain. Di kampung, dia menjadi seorang petani yang ulet. 

Dia membangun rumah dan selalu ramah ketika berjumpa. Tako, juga punya mulut yang pedis. Ungkapannya yang jujur dan selalu spontan, tanpa memandang tempat menjadikan banyak orang menjadi telinga panas. 

Pada suatu waktu, seorang anak muda, sedang gemar-gemarnya belajar agama. Pada salat jumat, dia menjadi khatib. Ceramahnya panjang, hingga jelang pukul 13.00 belum usia. Semua orang merasa gusar, tapi tak seorang pun yang mengingatkan. 

Tiba-tiba, Tako teriak. “To la masumbajang sia raka te. Atau iko bammora la disadding maccarita,” protesnya. (Apakah kita akan tetap salat. Atau biar kita dengar kau saja cerita). 

Lalu gaduh terjadi. Dan si anak muda itu menyudahi ceramahnya. 

Tako hampir tak pernah meninggalkan kampung untuk merantau. Dimasa pensiunnya sebagai pemain bola tarkam, dia sangat mudah dijumpai. Dalam perangkat kampung, dia mengabdikan dirinya untuk menjadi seorang yang selalu bisa diandalkan dalam kedukaan. 

Tako belajar bagaimana menggali kubur ke orang-orang tua kampung. Bagi kami di kampung, menggali kubur bukanlah pekerjaan yang serampangan dikerjakan setiap orang yang kuat menggunakan sekop. Tapi penuh dengan doa. 

Jika ada keluarga yang meninggal di kampung, di kuburan, biasanya dia ada duduk didekat lubang dan menjadi penentu bagaimana ukuran liang yang tepat untuk jenasah. Jika secara kebetulan saya pulang kampung dan ada keluarga yang meninggal maka saya akan melipir ke kuburan. 

Di kuburan, kami akan saling bercanda banyak hal sembari menyeruput kopi dan menyulut rokok. Ada satu bahasan yang menyenangkan waktu itu. Tentang hal-hal kecil yang dilakukan oleh anak-anak muda di kampung. Tako mengingatkan untuk memperhatikan siapa yang akan mengangkat keranda kelak. 

Dan begitu saya ditampar dengan kejadian itu. Keluarga yang mengangkat keranda adalah anak muda, atau orang tua yang tidak tamat sekolah. “Ya bassia to tau micacca, panginu, tae jamangna. Ya bassia toi reso menang manjiong. Umba mi to panghapala korang, passubbajang,” kata Tako.  

Biasanya Tako akan melempar pernyataan macam itu ke saya. “Matumbaraka Eko. Tongang raka salah raka to kupau,” lanjutnya. 

Jika sudah demikian maka kami akan tertawa bersama. 

Pada Juni 2024, terkahir kali saya bertemu Tako di kampung. Kami berjumpa di pekuburan. Salah seorang keluarga kami meninggal. Dia menggunakan celana pendek. Dia marah-marah kepada orang yang mengambil papan yang digunakan untuk menahan galian tanah timbunan liang lahat. 

“Ake mi issengi, inda alai. Panguang lalona, la kurampoi. Apa iyya sanga, na baga-baga mele,” ceracaunya. (kalau kalian tahu, siapa yang ambil. Beritahu saya, akan saya datangi. Kenapa dia menjadi orang yang sangat bodoh)

“Apa mo to, passimparang mora dipake. Deng doping, dipameloi, diuki mo milik kuburan, innang pade duka iyya,” (Sekarang lihat, yang dipake itu hanya papan sisa. Sudah ditulis papan milik kuburan, tetap hilang) 

“Masaki te mai tau,” (Ini orang-orang memang sedang sakit semua)

Ah Tako, saya akan merindukanmu. Damailah meninggalmu. Saya mengenangmu sebagai manusia yang ditakdirkan memberikan kampung kita ini kedamaian dan keberanian. Terimaksih.


Kamis, Januari 18, 2024

Kenapa Anak Kecil Tidak Memilih Presiden?


Èlang melihat baliho Prabowo-Gibran di salah satu sudut jalan pusat Kabupaten Maros. Dia membacanya dengan baik. 

Lalu, “Siapa itu Prabowo Gibran?,” katanya.

“Itu calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia,” jawab saya.

“Siapa yang calonkan,”

 

Pertanyaan itu membuat saya harus sejenak mengambil nafas. Saya harus hati-hati menjawabnya. Rentetan perjalanan panjang pasangan calon presiden dan wakil presiden itu bermain di kepala. Kemudian, saya bilang, jika masih ada dua pasangan lain yang jadi lawannya. Anies – Muhaimin dan Ganjar – Mahfud.

 

“Jadi siapa yang jadi presiden?,”

“Tidak tahu. Nanti di pilih di acara yang namanya Pemilu – pemilihan umum,”

“Anak kecil bisa masuk di tempat acara itu?,”

“Bisa. Tapi tidak memilih,”

“Kenapa begitu,”

 

Cerita kami makin rumit. Dan Èlang kembali ke pertanyaan awal. Siapa yang mencalonkan para pasangan itu. Dan saya memberanikan diri menjawabnya. “Partai yang calonkan.”

 

Seperti dugaanku, dia akan bertanya tentang apa itu partai. Lalu saya menjawabnya, dengan pelan; tempat orang-orang yang mau melihat Indonesia dari sisi keuntungan. Tempat kerja dan cari uang juga.

 

“Bapak tidak masuk partai,”

“Tidak. Semoga tidak. Karena bapak masih bisa bekerja sebagai penulis,”

“Tapi bapak nanti pilih presiden siapa?,”

“Belum tahu,”

“Karena bapak bukan anggota partai?,”

“Iya.”

 

Di perjalanan itu, Èlang berbalik ke saya. “Bagaimana caranya orang pilih presiden?.”

 

Jadi saya mencoba membagi pengalaman. Bila, pemilu itu adalah kegiatan di hari yang sama di seluruh Indonesia. Akan ada kertas suara dan gambar pasangan calon presiden itu akan di pasang. Orang-orang akan masuk ke kotak yang tidak boleh dilihat orang lain, terus memilih calon presiden dan wakil presidennya dengan cara menusuknya dengan benda tajam di kertas foto pasangan itu.

 

Penusuknya, biasanya pakai paku. Di tusuk di sembarang tempat yang penting tidak keluar dari kotak foto pasangan. Kalau ada orang yang menusuk dua pasangan sekaligus, atau tiga sekaligus, suaranya dianggap tidak sah. Dan tidak akan diulang.

 

Èlang, terlihat kebingungan. Dia belum bisa membayangkan, bagaimana presiden dan wakil presiden dipilih lewat gambar. “Kalau saya, tidak bisa memilih. Kan saya tidak kenal,” katanya.

 

“Tapi anak kecil belum bisa memilih. Nanti kalau sudah umur 17 tahun baru bisa,”

“Tapi saya memang tidak kenal calon presiden,”

“Kalau mau memilih, Èlang mau pilih calon presiden yang bagaimana?,”

“Tidak tahu. Tapi yang baik saja,”

“Seperti apa baiknya?,”

“Sekolah SD dikasi bagus. Dikasi mobil sekolah. Sama tidak jahat seperti presiden Israel yang mau perang,”

 

Èlang, mengangkat kakinya ke kursi. Dia lalu bilang, “Kalau nanti ada presiden, berarti itu untuk presiden orang besar toh. Kan anak anak tidak pilih,”

 

Saya tertegun mendengarnya. Dan gelagapan mencoba menjawab. Ini menjadi soal serius di kepala saya. Èlang anak kelas dua sekolah dasar, di rumah, sudah mulai memiliki hak suara. Memilih pakaian dan memilih harus memiliki pulpen atau pensil. Atau sepatu. Dia juga selalu mengomentari, bagaimana pengendara yang tidak menggunakan helm, atau kendaraan yang melambung saat garis jalan tidak putus-putus.

 

Anak-anak, diwakili oleh orang dewasa. Berpura-pura mengerti kemauan anak. Orang partai juga bicara perihal yang mengawang-awang untuk anak kecil. Saya bertanya pada beberapa teman sebaya perihal impian dan cita-cita. Tak seorang pun yang hendak mau menjadi presiden.

 

Meski jauh tahun sebelumnya, ketika Soeharto jadi Presiden dan saya masih sekolah dasar. Ada banyak teman yang ingin menjadi Presiden. “Èlang tahu siapa presiden Indonesia sekarang?,”

 

“Jokowi toh,”

“Dia baik atau tidak menurut Èlang,”

“Tidak tahu. Dia juga saya tidak kenal,”

 

Saya tertawa mendengarnya. Menertawai keadaan saya tak bisa menjelaskan dengan baik, bagaimana presiden Indonesia itu. “Bapak sebenarnya, apa pekerjaan presiden itu?,” kata Èlang.

 

Kali ini, kendaraan kami sudah masuk ke jalanan kompleks perumahaan. Saya mengelak dan bilang, untuk berjanji mencari jawabannya. Apa yang tugas utama Presiden untuk anak-anak di Indonesia.?

Sabtu, Agustus 26, 2023

Bagaimana Irama Sangkakala


Pada 20 Agustus 2023, adik bungsu saya wisuda di Universitas Muslim Indonesia. Keluarga dari kampung datang untuk memberinya selamat dan merayakan kelulusan itu. Kami juga foto bersama di sebuah studio di Jalan Meranti. Rasanya menyenangkan.

 

Ini adalah perayaan kelulusan yang memukau. Meski bapak saya tidak bisa hadir karena sementara berlayar di kapal dan adik laki-laki saya juga masih di kapal. Kami tetap bergembira.

 

Tapi perayaan ini spesial. Adik bungsu saya itu merayakannya dengan lima orang ponakan. Yang paling tua dari ponakannya itu adalah Èlang berusia jelang 8 tahun. Dia adalah cucu pertama dari keluarga saya. Dan cucu nomor ke empat dari keluarga Tika, istri saya.

 

Èlang tentu sudah kelas dua Sekolah Dasar. Dia sudah cerewet dan banyak bertanya. Ketika kami berjalan-jalan ke wilayah reklamasi Center Point of Indonesia, karena permintaan mamak saya untuk melihat masjid dengan kubah banyak, dia terperangah melihat seni instalasi di gerbang kawasan megah reklamasi itu.

 

Warnanya emas. Dari dalam mobil kami memandangnya. Bentuknya seperti terompet. Èlang berandai-andai jika kemungkinan terompet sangkakala sebesar itu. Atau lebih besar lagi. Sangkakala adalah terompet yang dalam ajaran Islam, disimbolkan sebagai pertanda datangnya hari kiamat. Ditiup oleh malaikat, Isrofil.

 

Tapi Èlang tiba-tiba bertanya, bagaimana kira-kira irama terompet itu kelak. Apakah seperti nada Telolet, yang biasa dibunyikan mobil truk atau bus? Atau seperti irama klarinet Squidward di film Spongebob.

 

Di dalam mobil kami tertawa. Tapi itu menampar pengetahuan saya juga. Betapa selama ini, saya pribadi tak pernah mempertanyakan itu pada guru agama atau guru saya di sekolah masa lalu.

 

Kematian dan bunyi sangkakala. Apakah iramanya sendu, gembira, atau mengalun tenang. Èlang membawa perbincangan ini menjadi rumit. Di rumah, saya bertanya pada Èlang, bagaimana kalau iramanya, seperti musik yang penuh hentakan. “Pasti orang gembira. Dan joget,” jawabnya.

 

Kembali ke tempat reklamasi itu. Mamak saya akhirnya menjejakkan kakinya di masjid dengan kubah banyak. Dia duduk bersama adik-adik saya di terasnya sambil menghadap ke daratan Makassar. “Kenapa nenek harus melihat ini masjid,” kata Èlang.

 

“Saya juga tidak tahu. Mungkin karena banyak orang bilang ini masjid yang bagus,” jawab saya.  

 

“Kalau saya lihat biasa saja. Tidak bagus juga. Bapak sudah pernah ke sini juga?,”

 

“Tidak pernah. Ini baru pertama. Lihat dari jauh saja,”

“Kenapa? Tidak tertarik seperti nenek?,”

 

Saya dan Èlang kemudian memilih duduk agak menjauh dari rombongan. Saya membawanya jalan-jalan ke pesisir yang sekarang dinamakan Lego-lego. Airnya di bawahnya yang saat ini mereka sebut laut Losari menghitam. Seperti air comberan. Ada banyak sampah. Èlang menduga, pasti bau.

 

Losari, itu adalah keindahan pesisir Makassar. Kini berubah bentuk. Èlang menjadi sangat terkejut ketika saya bilang, bahwa apa yang dia lihat adalah laut. Dia tak habis pikir, laut tanpa ombak itu tak masuk akal.

 

“Terus kenapa sekarang sudah tidak ada laut?,”

 

“Ditimbun untuk menjadikannya perumahan dan toko. Sama tempat sangkakala tadi. Dan masjid,”

 

“Kenapa harus menimbun laut. Jadi laut hilang?,”

 

“Hilang,”

 

Saya melihat Èlang kebingungan. Saya membiarkannya. Baginya, mengganti laut dengan bangunan itu tidak sebanding. Kemudian saya membuka gawai dan memperlihatkan tulisan saya tentang para pencari kerang dan nelayan pemancing di sekitaran Losari masa itu. “Jadi mereka nda ada lagi,” katanya.

 

“Mereka digusur. Tempatnya cari ikan dan kerang dan udang hilang. Jadi mereka tidak bekerja lagi,” jawabku.

 

“Jadi mereka menjadi miskin?,”

 

Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Lalu Èlang berasumsi, jika para nelayan itu sudah diberikan rumah di tanah reklamasi. Saya cepat memotongnya, jika lahan reklamasi yang didirikan rumah mewah, bukan untuk mereka, tapi untuk orang kaya. Lalu dia memandang saya dengan heran.

 

Kemudian dia membagikan kisah yang didapatkannya dari permainan game di gawainya. “Jadi bapak, ada orang kaya raya. Dan ada orang miskin. Dan ada pengemis yang lebih miskin lagi,” kata Èlang.

 

“Waktu pengemis itu minta roti, orang kaya itu sampai marah-marah dan tendang tempat uang pengemis,”

 

“Terus, orang miskin itu lihat. Dia lagi makan roti. Tapi pengemisnya lapar. Akhirnya roti yang sudah digigitnya, dikasih ke pengemis. Terus pengemis itu makan juga,”

 

“Ternyata yang menyamar jadi pengemis itu adalah tuhan. Dia mau lihat manusia mana yang akan diberikannya diamond. Ternyata orang miskin dan baik hati.”

Rabu, Juli 27, 2022

Batanghari: Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana

 

Pada abad ke 14, sebuah arca batu Bhairawa dengan berat sekitar 4 ton dan memiliki tinggi sekitar 4,41 meter, melintasi sungai itu. Meliuk dari muara melewati alirannya yang besar menuju pedalaman di Dharmasyara. Bambang Budi Utomo, seorang arkeolog Indonesia, memandang batang sungai itu, dan belum menemukan jawabannya, bagaimana orang-orang masa lalu mengangkutnya. Memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, dengan jarak ratusan kilometer.

“Pengangkutan barang dan manusia melalui jalan darat di wilayah Asia Tenggara baru dikembangkan pada abad ke 19,” begitu Bambang Budi Utomo menuliskan makalahnya.

500 tahun berselang, perjalanan darat baru dimulai dengan massif. Rentang waktu itu menjadikan sungai dan secara umum perairan adalah lalu lintas yang jadi nadi utama. Dan di batang sungai Batanghari inilah, saya dan Bambang Budi Utomo berdiri di pesisirnya, menyaksikan jalan itu.

Sejak 11 Juli hingga 19 Juli 2022, saya bersama 50-an peserta dalam Ekspedisi Sungai Batanghari, oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, menjelajahi sungai ini dari pedalaman Dharmasraya di Sumatera Barat (tujuh kabupaten/kota), menuju hilir di kampung Teluk Majelis, kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi. Perjalanan itu, menggunakan kapal mesin yang berpendingin ruangan dari kepolisian air Polda Jambi. 

Pada awalnya, ekspedisi ini akan menyusur batang sungai tanpa jedah, lalu berhenti di perkampungan. Namun, beberapa badan sungai, rupanya tak bisa dilayari karena kondisi sungai yang sudah mengalami pendangkalan. Praktis perjalanan penuh dengan mlintasi air, dilakukan di Dhamasraya menuju situs Pulau Sawah, kemudian di dari kampung Rambutan Masam, menuju kota Jambi dan Teluk Majelis.

Saat melihat dan menyentuh air sungai Batanghari yang keruh dan berlumpur itu, pengetahuan yang dibangun sebelum menjejaknya menjadi sirna seketika. Saya menjadi tak tahu apa-apa. Ini adalah sungai purba yang menciptakan kebudayaan agung di sepanjang pesisirnya. Ratusan situs budaya, dari mulai candi, stupa, wihara, hingga bangunan kolonial  menjadi saksinya.

Sungai agung yang membentang sejauh 800 km. Sungai yang penuh romantisme yang diabadikan dalam pantun melayu. Tapi, rasanya sulit mengembalikan kiasan “mewah” dalam pantun tentang Batanghari, yang ada malah kemarahan dan kekecewaan. Di situs benteng Tembesi, siang hari ketika kapal mulai menelusuri airnya menuju Jambi, kami terperangkap di tengah sungai karena lambung kapal kandas. Pasir dan lumpur menumpuk serupa pulau kecil di tengah badan sungai.

Saya sungguh terperanjat. Memandangi sekeliling sungai dan menjadi begitu sedih melihat keadaannya. Dan ketika seorang ABK mengangkat mesin kapal, baling-balingnya terlihat kecoklatan, karena tertempel lumpur. Dia kemudian membuka kaos dan mengganti celana panjangnya dengan celana pendek, lalu melompat turun ke air. Plung, orang itu tak berenang melainkan berdiri dan badannya hanya tenggelam hingga pinggang. Dia berjalan mengelilingi badan kapal lalu memasang tali, lalu sebuah speedboat karet bermesin menariknya. Kapal bergoyang dan lepas.

Jika Batanghari punya air yang jernih, peristiwa kapal kandas ini, bisa jadi adalah sebuah berkah. Sejak awal, ikut dalam ekspedisi, saya selalu menyiapkan celana pendek dalam tas kecil untuk persiapan mandi dan berenang. Tapi saat kapal kandas, dan punya alasan untuk turun membantu mendorong, keinginan itu sudah tak pernah lagi muncul.

Batanghari sungguh tak elok dijadikan sungai untuk melepas penat.

Batanghari menjadi sungai yang menjemukan. Sungai yang lebarnya mencapai 500 meter itu, kini serupa aliran pembuangan raksasa. Di sepanjang perjalanan saya menyaksikan tebing-tebing sungai rubuh dan terkikis. Ada pohon yang beserta akarnya jatuh ke aliran. Ada sempadan yang dipenuhi sawit juga ikut tergerus. Pemandangan selama perjalanan menuju hilir, tak memuaskan hasrat. Pepohonan yang berada di masing-masing sisi sungai, menoton. Jika bukan tanaman karet, maka itu sawit. Jika bukan perkebunan maka itu adalah konsesi pertambangan batubara, atau industri pengolahan karet alam.

Selain daya dukung sungai di sempadan yang sudah berubah, pemandangan di sepanjang sungai juga menyuguhkan kekhawatiran yang sama mencemaskannya. Alat-alat pengeruk pasir yang disebut dompeng, juga sekaligus dijadikan penghisap tanah dan pasir untuk menambang pasir emas.

Dompeng itu berderet di sepanjang sungai dari mulai Tembessi menuju kota Jambi. Bahkan beberapa orang terlihat sedang mendulang di pinggiran sungai. Bagi masyarakat di bantaran Batanghari, kegiatan mendulang emas dengan tradisional sangat berisiko, karena menggunakan cairan merkuri, untuk mengikat emas. Logam berat itu bahkan sisanya dapat mengalir ke sungai.

Tahun 2014, harian Kompas melakukan melakukan uji kualitas air di sungai Mesumi, Merangin dan Tembesi, yang kesemuanya merupakan bagian dari Batanghari. Hasilnya, mereka menemukan jika bahan baku air minum hasilnya, kadar merkuri di permukaan Mesumai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu.

Lebih lanjut Kompas juga merinci, jika di wilayah Tembesi untuk kebutuhan air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran intake-nya, kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Dan sampel air di saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).

Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman adalah: Merkuri 0,001 mg/l, Arsenik 0,005 mg/l, dan Besi 0,3 mg/l. 

Empat tahun kemudian, pada 2018 Kompas kembali menyajikan hasil kajian Direktorat Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerja sama Pusat Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung, di kecamatan kecamatan IX Koto dan Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.

Laporan itu kemudian menyebutkan, jika sampel air limbah tailing tambang emas dan sedimen melampaui baku mutu. Dan bahkan merkuri dari tambang emas juga telah mencemati komuditas pertanian warga.

“Dalam kajian itu disebutkan bahwa responden anak-anak terpapar merkuri. Di IX Koto, dari 30 responden anak, konsentrasi merkuri di urine 20 anak melebihi baku mutu 5 µg/g Creatinin. Salah satu responden bahkan datanya sangat ekstrem mencapai 967.742 µg/g Creatinin. Sementara itu, di Sitiung, dari 22 responden anak, 14 orang melampaui baku mutu,” tulis laporan KOMPAS.

Meninggalkan Sungai

Kabupaten Tebo, 13 Juli 2022, saya bertemu Novpriadi (36 tahun). Dia sedang mempraktekkan bagaimana ritual memandikan anak di sungai Batanghari. Prosesi ritual itu diturunkan oleh neneknya, Siti Aminah yang sudah sepuh.

Pelan-pelan dia, menjelaskan peralatan yan digunakan, dari mulai kembang sampai batu. Tapi intinya, ritual memandikan anak bayi ke sungai, sebagai ungkapan syukur dan suka cita. Dilakukan ketika bayi telah putus tali pusarnya, biasanya berusia 7 hingga 10 hari. Bayi itu digendong dan badannya dibasahi air sungai Batanghari. “Waktu saya kecil, cerita orang tua, saya merasakan ritual itu,” kata Novpriadi. “Tapi sekarang orang-orang sudah tak melakukannya,” lanjutnya.

Alasannya karena sungai sudah kotor sekali. Tidak membawa kesehatan, malah membawa penyakit. “Saya punya anak. Saya tidak mandikan anak saya lagi di sungai Batanghari, tapi di rumah saja. Tapi tetap dengan ritualnya,” katanya.

Bagi Novpriadi, bertahan dan mengingat ritual itu penting, untuk menjaga ingatan pada manusia dana lam. Jika sungai sudah rusak, ritual itu menjelaskan, jika masa lalu, setidaknya 20 tahun lalu, sungai itu masih bersih.

Di ujung aliran kampung Teluk Majelis, muara sungai Batanghari, ritual mandi pengantin pun sudah bergerak meninggalkan sungai. Jika dulu, air yang dilakukan dalam penyiraman menggunakan aliran air yang hidup dari Batanghari, kini menggunakan air sumur bor.

Orang-orang sepakat, jika Batanghari sudah rusak dan tak layak dikonsumsi atau bahkan dijadikan ritual.

17 Juli 2022, pagi yang cerah di Teluk Majelis. Indo Umang (40 tahun) baru saja menyiapkan semua perlengkapan sekolah anaknya. Rumahnya menghadap aliran sungai Batanghari yang lebar dan sekaligus berhadapan langsung dengan laut. Jika air pasang, kolong rumahnya yang tinggi akan dipenuhi air, lalu surut beberapa jam kemudian. Rumah Umang, adalah deretan dari rumah terakhir yang berhadapan sungai. Sebelumnya, ada dua lorong kecil mirip gang di perkotaan di depannya, tapi beberapa tahun lalu sudah lenyap, karena tebing sungai rubuh.

“Saya juga sudah bersiap. Sudah beli tanah di sana (dia menunjuk bagian daratan kampung). Kalau cukup uang akan pindah ke sana, karena di sini sudah tidak bisa lagi,” katanya.

Pesisir kampung Teluk Majelis sepuluh tahun terakhir, telah kehilangan sekitar 150 meter daratannya. Sebuah kehilangan besar, dimana suara warganya, tak terdengar. Orang-orang itu mengeluhkan, dampak ekstraktif pengerukan dan perubahaan hutan yang massif awal tahun 2000.

Kapal-kapal dengan tonase besar melintasi sungai dan menciptakan gelombang raksasa di pesisir dan tebing sungai. Perkebunan skala besar, juga mengubah area tangkapan air, dan membuat semua saling bertautan.

Di Rambutan Masam, syair mengenai madu, sebelum para pemburu memanen madunya, kini tak lagi berfungsi. Meski mereka masih menghapalnya, tapi pohon besar dan bunga yang dijadikan lebah sebagai makanan utama telah raib sejak lama.

Harimau, juga gajah sudah lebih awal bersumbunyi di pedalaman, karena pembukaan lahan semakin massif. Binatang-binatang itu bersembunyi, bertahan untuk memenuhi makanan dan keturunan, dan bersembunyi dari para pemburu.

Tanaman yang menjadi kebanggaan warga, kulaitasnya semakin merosot. Dukuh sudah empat tahun terakhir, terserang hama, mula-mula daunnya menguning, kemudian seluruh tangkai dan rantingnya mengering dan mati. Para petani, tak berdaya, bagaimana menyelamatkannya, dan hanya melihatnya mati perlahan.

“Sekarang kita mulai mengenang semua itu. Tapi semua sudah berubah,” kata Bambang Budi Utomo.

Dia ingat betul, sejak tahun 1981, ketika pertama kali dia menjejakkan kakinya di Sumatera, dan membaca literature serta melihat bukti nyatanya dalam tinggalan arkeologis. Dia menyebutkannya sebagai kebudayaan yang besar. Sriwijaya atau pula Dharmasraya, menciptakan kapal untuk perdagangan lintas pulau bahkan negara.

Wihara di kompleks situs Muara Jambi yang kawasannya ditetapkan seluas 3.981 ha dengan ratusan situs membuktikan, peradaban yang besar. Orang-orang datang berguru dan belajar. “Orang-orang itu datang melalui lalulintas sungai. Mereka menjadikan sungai sebagai halaman depan yang perlu dijaga,” kata Bambang.

“Mengapa masa lalu orang bisa hidup baik dengan alam?,” kata saya.

Bambang Utomo, sesaat diam. Dia menggoyangkan baju berkancing yang dikenakannya untuk mendapatkan sedikit hembusan angin di badan. Kawasan situs Muara Jambi memang sangat gerah, meskipun ada banyak pohon besar yang menjadi peneduh. “Apakah orang-orang masa lalu tidak mengkonsumsi binatang?,” kata saya.

“Selama saya penelitian, saya belum pernah mendapatkan catatan mengenai itu. Orang Sriwijaya dan juga Dharmasraya, dalam berita China, dituliskan memperdagangkan Gajah dan Burung, juga hasil hutan lainnya, seperti buah,” kata Bambang Utomo.

“Kalau mereka memakannya, belum ada bukti. Harimau juga tak masuk dalam daftar hewan yang diperdagangkan masa itu. Tapi ingat, mereka menganut ajaran Budha, yang begitu menghargai alam,” lanjutnya.   

 * *Laporan ini juga dipublikasikan Mongabay Indonesia: Menelusuri Batanghari, Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana 

Aktivitas warga di sungai Batanghari

Sungai Batanghari di Kota Jambi.


Di sempadan Batanghari.


Aktivitas bongkar bongkar muat batubara di sepanjang sungai Batanghari.


Hamparan perkebunan akasia untuk bahan baku tissu milik perusahaan.


Tanaman Duku warga yang mati terserang hama.