Rabu, Oktober 23, 2024
Senin, Agustus 12, 2024
Tako adalah Takdir di Kombong
Kamis, Januari 18, 2024
Kenapa Anak Kecil Tidak Memilih Presiden?
Lalu, “Siapa itu Prabowo Gibran?,” katanya.
“Itu calon
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia,” jawab saya.
“Siapa yang calonkan,”
Pertanyaan itu
membuat saya harus sejenak mengambil nafas. Saya harus hati-hati menjawabnya. Rentetan
perjalanan panjang pasangan calon presiden dan wakil presiden itu bermain di
kepala. Kemudian, saya bilang, jika masih ada dua pasangan lain yang jadi
lawannya. Anies – Muhaimin dan Ganjar – Mahfud.
“Jadi siapa yang jadi presiden?,”
“Tidak tahu. Nanti di pilih di acara yang namanya Pemilu – pemilihan umum,”
“Anak kecil bisa masuk di tempat acara itu?,”
“Bisa. Tapi tidak memilih,”
“Kenapa begitu,”
Cerita kami
makin rumit. Dan Èlang kembali ke pertanyaan awal. Siapa yang mencalonkan para
pasangan itu. Dan saya memberanikan diri menjawabnya. “Partai yang calonkan.”
Seperti dugaanku, dia akan bertanya tentang apa itu partai. Lalu saya menjawabnya, dengan pelan; tempat orang-orang yang mau melihat Indonesia dari sisi keuntungan. Tempat kerja dan cari uang juga.
“Bapak tidak masuk partai,”
“Tidak. Semoga tidak. Karena bapak masih bisa bekerja sebagai penulis,”
“Tapi bapak nanti pilih presiden siapa?,”
“Belum tahu,”
“Karena bapak bukan anggota partai?,”
“Iya.”
Di perjalanan itu, Èlang berbalik ke saya. “Bagaimana caranya orang pilih presiden?.”
Jadi saya
mencoba membagi pengalaman. Bila, pemilu itu adalah kegiatan di hari yang sama
di seluruh Indonesia. Akan ada kertas suara dan gambar pasangan calon presiden
itu akan di pasang. Orang-orang akan masuk ke kotak yang tidak boleh dilihat
orang lain, terus memilih calon presiden dan wakil presidennya dengan cara
menusuknya dengan benda tajam di kertas foto pasangan itu.
Penusuknya, biasanya pakai paku. Di tusuk di sembarang tempat yang penting tidak keluar dari kotak foto pasangan. Kalau ada orang yang menusuk dua pasangan sekaligus, atau tiga sekaligus, suaranya dianggap tidak sah. Dan tidak akan diulang.
Èlang, terlihat kebingungan. Dia belum bisa membayangkan, bagaimana presiden dan wakil presiden dipilih lewat gambar. “Kalau saya, tidak bisa memilih. Kan saya tidak kenal,” katanya.
“Tapi anak kecil belum bisa memilih. Nanti kalau sudah umur 17 tahun baru bisa,”
“Tapi saya memang tidak kenal calon presiden,”
“Kalau mau memilih, Èlang mau pilih calon presiden yang bagaimana?,”
“Tidak tahu. Tapi yang baik saja,”
“Seperti apa baiknya?,”
“Sekolah SD dikasi bagus. Dikasi mobil sekolah. Sama tidak jahat seperti presiden Israel yang mau perang,”
Èlang, mengangkat kakinya ke kursi. Dia lalu bilang, “Kalau nanti ada presiden, berarti itu untuk presiden orang besar toh. Kan anak anak tidak pilih,”
Saya tertegun mendengarnya. Dan gelagapan mencoba menjawab. Ini menjadi soal serius di kepala saya. Èlang anak kelas dua sekolah dasar, di rumah, sudah mulai memiliki hak suara. Memilih pakaian dan memilih harus memiliki pulpen atau pensil. Atau sepatu. Dia juga selalu mengomentari, bagaimana pengendara yang tidak menggunakan helm, atau kendaraan yang melambung saat garis jalan tidak putus-putus.
Anak-anak,
diwakili oleh orang dewasa. Berpura-pura mengerti kemauan anak. Orang partai
juga bicara perihal yang mengawang-awang untuk anak kecil. Saya bertanya pada beberapa
teman sebaya perihal impian dan cita-cita. Tak seorang pun yang hendak mau
menjadi presiden.
Meski jauh tahun sebelumnya, ketika Soeharto jadi Presiden dan saya masih sekolah dasar. Ada banyak teman yang ingin menjadi Presiden. “Èlang tahu siapa presiden Indonesia sekarang?,”
“Jokowi toh,”
“Dia baik atau tidak menurut Èlang,”
“Tidak tahu. Dia juga saya tidak kenal,”
Saya tertawa mendengarnya. Menertawai keadaan saya tak bisa menjelaskan dengan baik, bagaimana presiden Indonesia itu. “Bapak sebenarnya, apa pekerjaan presiden itu?,” kata Èlang.
Kali ini, kendaraan kami sudah masuk ke jalanan kompleks perumahaan. Saya mengelak dan bilang, untuk berjanji mencari jawabannya. Apa yang tugas utama Presiden untuk anak-anak di Indonesia.?
Sabtu, Agustus 26, 2023
Bagaimana Irama Sangkakala
Pada 20 Agustus 2023, adik bungsu saya wisuda di Universitas Muslim Indonesia. Keluarga dari kampung datang untuk memberinya selamat dan merayakan kelulusan itu. Kami juga foto bersama di sebuah studio di Jalan Meranti. Rasanya menyenangkan.
Ini adalah perayaan kelulusan yang memukau. Meski bapak saya tidak bisa hadir karena sementara berlayar di kapal dan adik laki-laki saya juga masih di kapal. Kami tetap bergembira.
Tapi perayaan ini spesial. Adik bungsu saya itu merayakannya dengan lima orang ponakan. Yang paling tua dari ponakannya itu adalah Èlang berusia jelang 8 tahun. Dia adalah cucu pertama dari keluarga saya. Dan cucu nomor ke empat dari keluarga Tika, istri saya.
Èlang tentu sudah kelas dua Sekolah Dasar. Dia sudah cerewet dan banyak bertanya. Ketika kami berjalan-jalan ke wilayah reklamasi Center Point of Indonesia, karena permintaan mamak saya untuk melihat masjid dengan kubah banyak, dia terperangah melihat seni instalasi di gerbang kawasan megah reklamasi itu.
Warnanya emas. Dari dalam mobil kami memandangnya. Bentuknya seperti terompet. Èlang berandai-andai jika kemungkinan terompet sangkakala sebesar itu. Atau lebih besar lagi. Sangkakala adalah terompet yang dalam ajaran Islam, disimbolkan sebagai pertanda datangnya hari kiamat. Ditiup oleh malaikat, Isrofil.
Tapi Èlang tiba-tiba bertanya, bagaimana kira-kira irama terompet itu kelak. Apakah seperti nada Telolet, yang biasa dibunyikan mobil truk atau bus? Atau seperti irama klarinet Squidward di film Spongebob.
Di dalam mobil kami tertawa. Tapi itu menampar pengetahuan saya juga. Betapa selama ini, saya pribadi tak pernah mempertanyakan itu pada guru agama atau guru saya di sekolah masa lalu.
Kematian dan bunyi sangkakala. Apakah iramanya sendu, gembira, atau mengalun tenang. Èlang membawa perbincangan ini menjadi rumit. Di rumah, saya bertanya pada Èlang, bagaimana kalau iramanya, seperti musik yang penuh hentakan. “Pasti orang gembira. Dan joget,” jawabnya.
Kembali ke tempat reklamasi itu. Mamak saya akhirnya menjejakkan kakinya di masjid dengan kubah banyak. Dia duduk bersama adik-adik saya di terasnya sambil menghadap ke daratan Makassar. “Kenapa nenek harus melihat ini masjid,” kata Èlang.
“Saya juga tidak tahu. Mungkin karena banyak orang bilang ini masjid yang bagus,” jawab saya.
“Kalau saya lihat biasa saja. Tidak bagus juga. Bapak sudah pernah ke sini juga?,”
“Tidak pernah. Ini baru pertama. Lihat dari jauh saja,”
“Kenapa? Tidak tertarik seperti nenek?,”
Saya dan Èlang kemudian memilih duduk agak menjauh dari rombongan. Saya membawanya jalan-jalan ke pesisir yang sekarang dinamakan Lego-lego. Airnya di bawahnya yang saat ini mereka sebut laut Losari menghitam. Seperti air comberan. Ada banyak sampah. Èlang menduga, pasti bau.
Losari, itu adalah keindahan pesisir Makassar. Kini berubah bentuk. Èlang menjadi sangat terkejut ketika saya bilang, bahwa apa yang dia lihat adalah laut. Dia tak habis pikir, laut tanpa ombak itu tak masuk akal.
“Terus kenapa sekarang sudah tidak ada laut?,”
“Ditimbun untuk menjadikannya perumahan dan toko. Sama tempat sangkakala tadi. Dan masjid,”
“Kenapa harus menimbun laut. Jadi laut hilang?,”
“Hilang,”
Saya melihat Èlang kebingungan. Saya membiarkannya. Baginya, mengganti laut dengan bangunan itu tidak sebanding. Kemudian saya membuka gawai dan memperlihatkan tulisan saya tentang para pencari kerang dan nelayan pemancing di sekitaran Losari masa itu. “Jadi mereka nda ada lagi,” katanya.
“Mereka digusur. Tempatnya cari ikan dan kerang dan udang hilang. Jadi mereka tidak bekerja lagi,” jawabku.
“Jadi mereka menjadi miskin?,”
Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Lalu Èlang berasumsi, jika para nelayan itu sudah diberikan rumah di tanah reklamasi. Saya cepat memotongnya, jika lahan reklamasi yang didirikan rumah mewah, bukan untuk mereka, tapi untuk orang kaya. Lalu dia memandang saya dengan heran.
Kemudian dia membagikan kisah yang didapatkannya dari permainan game di gawainya. “Jadi bapak, ada orang kaya raya. Dan ada orang miskin. Dan ada pengemis yang lebih miskin lagi,” kata Èlang.
“Waktu pengemis itu minta roti, orang kaya itu sampai marah-marah dan tendang tempat uang pengemis,”
“Terus, orang miskin itu lihat. Dia lagi makan roti. Tapi pengemisnya lapar. Akhirnya roti yang sudah digigitnya, dikasih ke pengemis. Terus pengemis itu makan juga,”
“Ternyata yang menyamar jadi pengemis itu adalah tuhan. Dia mau lihat manusia mana yang akan diberikannya diamond. Ternyata orang miskin dan baik hati.”
Rabu, Juli 27, 2022
Batanghari: Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana
Pada abad ke 14, sebuah arca batu Bhairawa dengan berat sekitar 4 ton dan memiliki tinggi sekitar 4,41 meter, melintasi sungai itu. Meliuk dari muara melewati alirannya yang besar menuju pedalaman di Dharmasyara. Bambang Budi Utomo, seorang arkeolog Indonesia, memandang batang sungai itu, dan belum menemukan jawabannya, bagaimana orang-orang masa lalu mengangkutnya. Memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, dengan jarak ratusan kilometer.
“Pengangkutan barang dan manusia melalui jalan darat di wilayah Asia Tenggara baru dikembangkan pada abad ke 19,” begitu Bambang Budi Utomo menuliskan makalahnya.
500 tahun berselang, perjalanan darat baru dimulai dengan massif. Rentang waktu itu menjadikan sungai dan secara umum perairan adalah lalu lintas yang jadi nadi utama. Dan di batang sungai Batanghari inilah, saya dan Bambang Budi Utomo berdiri di pesisirnya, menyaksikan jalan itu.
Sejak 11 Juli hingga 19 Juli 2022, saya bersama 50-an peserta dalam Ekspedisi Sungai Batanghari, oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, menjelajahi sungai ini dari pedalaman Dharmasraya di Sumatera Barat (tujuh kabupaten/kota), menuju hilir di kampung Teluk Majelis, kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi. Perjalanan itu, menggunakan kapal mesin yang berpendingin ruangan dari kepolisian air Polda Jambi.
Pada awalnya, ekspedisi ini akan menyusur batang sungai tanpa jedah, lalu berhenti di perkampungan. Namun, beberapa badan sungai, rupanya tak bisa dilayari karena kondisi sungai yang sudah mengalami pendangkalan. Praktis perjalanan penuh dengan mlintasi air, dilakukan di Dhamasraya menuju situs Pulau Sawah, kemudian di dari kampung Rambutan Masam, menuju kota Jambi dan Teluk Majelis.
Saat melihat dan menyentuh air sungai Batanghari yang keruh dan berlumpur itu, pengetahuan yang dibangun sebelum menjejaknya menjadi sirna seketika. Saya menjadi tak tahu apa-apa. Ini adalah sungai purba yang menciptakan kebudayaan agung di sepanjang pesisirnya. Ratusan situs budaya, dari mulai candi, stupa, wihara, hingga bangunan kolonial menjadi saksinya.
Sungai agung yang membentang sejauh 800 km. Sungai yang penuh romantisme yang diabadikan dalam pantun melayu. Tapi, rasanya sulit mengembalikan kiasan “mewah” dalam pantun tentang Batanghari, yang ada malah kemarahan dan kekecewaan. Di situs benteng Tembesi, siang hari ketika kapal mulai menelusuri airnya menuju Jambi, kami terperangkap di tengah sungai karena lambung kapal kandas. Pasir dan lumpur menumpuk serupa pulau kecil di tengah badan sungai.
Saya sungguh terperanjat. Memandangi sekeliling sungai dan menjadi begitu sedih melihat keadaannya. Dan ketika seorang ABK mengangkat mesin kapal, baling-balingnya terlihat kecoklatan, karena tertempel lumpur. Dia kemudian membuka kaos dan mengganti celana panjangnya dengan celana pendek, lalu melompat turun ke air. Plung, orang itu tak berenang melainkan berdiri dan badannya hanya tenggelam hingga pinggang. Dia berjalan mengelilingi badan kapal lalu memasang tali, lalu sebuah speedboat karet bermesin menariknya. Kapal bergoyang dan lepas.
Jika Batanghari punya air yang jernih, peristiwa kapal kandas ini, bisa jadi adalah sebuah berkah. Sejak awal, ikut dalam ekspedisi, saya selalu menyiapkan celana pendek dalam tas kecil untuk persiapan mandi dan berenang. Tapi saat kapal kandas, dan punya alasan untuk turun membantu mendorong, keinginan itu sudah tak pernah lagi muncul.
Batanghari sungguh tak elok dijadikan sungai untuk melepas penat.
Batanghari menjadi sungai yang menjemukan. Sungai yang lebarnya mencapai 500 meter itu, kini serupa aliran pembuangan raksasa. Di sepanjang perjalanan saya menyaksikan tebing-tebing sungai rubuh dan terkikis. Ada pohon yang beserta akarnya jatuh ke aliran. Ada sempadan yang dipenuhi sawit juga ikut tergerus. Pemandangan selama perjalanan menuju hilir, tak memuaskan hasrat. Pepohonan yang berada di masing-masing sisi sungai, menoton. Jika bukan tanaman karet, maka itu sawit. Jika bukan perkebunan maka itu adalah konsesi pertambangan batubara, atau industri pengolahan karet alam.
Selain daya dukung sungai di sempadan yang sudah berubah, pemandangan di sepanjang sungai juga menyuguhkan kekhawatiran yang sama mencemaskannya. Alat-alat pengeruk pasir yang disebut dompeng, juga sekaligus dijadikan penghisap tanah dan pasir untuk menambang pasir emas.
Dompeng itu berderet di sepanjang sungai dari mulai Tembessi menuju kota Jambi. Bahkan beberapa orang terlihat sedang mendulang di pinggiran sungai. Bagi masyarakat di bantaran Batanghari, kegiatan mendulang emas dengan tradisional sangat berisiko, karena menggunakan cairan merkuri, untuk mengikat emas. Logam berat itu bahkan sisanya dapat mengalir ke sungai.
Tahun 2014, harian Kompas melakukan melakukan uji kualitas air di sungai Mesumi, Merangin dan Tembesi, yang kesemuanya merupakan bagian dari Batanghari. Hasilnya, mereka menemukan jika bahan baku air minum hasilnya, kadar merkuri di permukaan Mesumai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu.
Lebih lanjut Kompas juga merinci, jika di wilayah Tembesi untuk kebutuhan air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran intake-nya, kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Dan sampel air di saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).
Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman adalah: Merkuri 0,001 mg/l, Arsenik 0,005 mg/l, dan Besi 0,3 mg/l.
Empat tahun kemudian, pada 2018 Kompas kembali menyajikan hasil kajian Direktorat Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerja sama Pusat Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung, di kecamatan kecamatan IX Koto dan Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.
Laporan itu kemudian menyebutkan, jika sampel air limbah tailing tambang emas dan sedimen melampaui baku mutu. Dan bahkan merkuri dari tambang emas juga telah mencemati komuditas pertanian warga.
“Dalam
kajian itu disebutkan bahwa responden anak-anak terpapar merkuri. Di IX Koto,
dari 30 responden anak, konsentrasi merkuri di urine 20 anak melebihi baku mutu
5 µg/g Creatinin. Salah satu responden bahkan datanya sangat ekstrem mencapai
967.742 µg/g Creatinin. Sementara itu, di Sitiung, dari 22 responden anak, 14
orang melampaui baku mutu,” tulis laporan KOMPAS.
Meninggalkan Sungai
Kabupaten Tebo, 13 Juli 2022, saya bertemu Novpriadi (36 tahun). Dia sedang mempraktekkan bagaimana ritual memandikan anak di sungai Batanghari. Prosesi ritual itu diturunkan oleh neneknya, Siti Aminah yang sudah sepuh.
Pelan-pelan dia, menjelaskan peralatan yan digunakan, dari mulai kembang sampai batu. Tapi intinya, ritual memandikan anak bayi ke sungai, sebagai ungkapan syukur dan suka cita. Dilakukan ketika bayi telah putus tali pusarnya, biasanya berusia 7 hingga 10 hari. Bayi itu digendong dan badannya dibasahi air sungai Batanghari. “Waktu saya kecil, cerita orang tua, saya merasakan ritual itu,” kata Novpriadi. “Tapi sekarang orang-orang sudah tak melakukannya,” lanjutnya.
Alasannya karena sungai sudah kotor sekali. Tidak membawa kesehatan, malah membawa penyakit. “Saya punya anak. Saya tidak mandikan anak saya lagi di sungai Batanghari, tapi di rumah saja. Tapi tetap dengan ritualnya,” katanya.
Bagi Novpriadi, bertahan dan mengingat ritual itu penting, untuk menjaga ingatan pada manusia dana lam. Jika sungai sudah rusak, ritual itu menjelaskan, jika masa lalu, setidaknya 20 tahun lalu, sungai itu masih bersih.
Di ujung aliran kampung Teluk Majelis, muara sungai Batanghari, ritual mandi pengantin pun sudah bergerak meninggalkan sungai. Jika dulu, air yang dilakukan dalam penyiraman menggunakan aliran air yang hidup dari Batanghari, kini menggunakan air sumur bor.
Orang-orang sepakat, jika Batanghari sudah rusak dan tak layak dikonsumsi atau bahkan dijadikan ritual.
17 Juli 2022, pagi yang cerah di Teluk Majelis. Indo Umang (40 tahun) baru saja menyiapkan semua perlengkapan sekolah anaknya. Rumahnya menghadap aliran sungai Batanghari yang lebar dan sekaligus berhadapan langsung dengan laut. Jika air pasang, kolong rumahnya yang tinggi akan dipenuhi air, lalu surut beberapa jam kemudian. Rumah Umang, adalah deretan dari rumah terakhir yang berhadapan sungai. Sebelumnya, ada dua lorong kecil mirip gang di perkotaan di depannya, tapi beberapa tahun lalu sudah lenyap, karena tebing sungai rubuh.
“Saya juga sudah bersiap. Sudah beli tanah di sana (dia menunjuk bagian daratan kampung). Kalau cukup uang akan pindah ke sana, karena di sini sudah tidak bisa lagi,” katanya.
Pesisir kampung Teluk Majelis sepuluh tahun terakhir, telah kehilangan sekitar 150 meter daratannya. Sebuah kehilangan besar, dimana suara warganya, tak terdengar. Orang-orang itu mengeluhkan, dampak ekstraktif pengerukan dan perubahaan hutan yang massif awal tahun 2000.
Kapal-kapal dengan tonase besar melintasi sungai dan menciptakan gelombang raksasa di pesisir dan tebing sungai. Perkebunan skala besar, juga mengubah area tangkapan air, dan membuat semua saling bertautan.
Di Rambutan Masam, syair mengenai madu, sebelum para pemburu memanen madunya, kini tak lagi berfungsi. Meski mereka masih menghapalnya, tapi pohon besar dan bunga yang dijadikan lebah sebagai makanan utama telah raib sejak lama.
Harimau, juga gajah sudah lebih awal bersumbunyi di pedalaman, karena pembukaan lahan semakin massif. Binatang-binatang itu bersembunyi, bertahan untuk memenuhi makanan dan keturunan, dan bersembunyi dari para pemburu.
Tanaman yang menjadi kebanggaan warga, kulaitasnya semakin merosot. Dukuh sudah empat tahun terakhir, terserang hama, mula-mula daunnya menguning, kemudian seluruh tangkai dan rantingnya mengering dan mati. Para petani, tak berdaya, bagaimana menyelamatkannya, dan hanya melihatnya mati perlahan.
“Sekarang kita mulai mengenang semua itu. Tapi semua sudah berubah,” kata Bambang Budi Utomo.
Dia ingat betul, sejak tahun 1981, ketika pertama kali dia menjejakkan kakinya di Sumatera, dan membaca literature serta melihat bukti nyatanya dalam tinggalan arkeologis. Dia menyebutkannya sebagai kebudayaan yang besar. Sriwijaya atau pula Dharmasraya, menciptakan kapal untuk perdagangan lintas pulau bahkan negara.
Wihara di kompleks situs Muara Jambi yang kawasannya ditetapkan seluas 3.981 ha dengan ratusan situs membuktikan, peradaban yang besar. Orang-orang datang berguru dan belajar. “Orang-orang itu datang melalui lalulintas sungai. Mereka menjadikan sungai sebagai halaman depan yang perlu dijaga,” kata Bambang.
“Mengapa masa lalu orang bisa hidup baik dengan alam?,” kata saya.
Bambang Utomo, sesaat diam. Dia menggoyangkan baju berkancing yang dikenakannya untuk mendapatkan sedikit hembusan angin di badan. Kawasan situs Muara Jambi memang sangat gerah, meskipun ada banyak pohon besar yang menjadi peneduh. “Apakah orang-orang masa lalu tidak mengkonsumsi binatang?,” kata saya.
“Selama saya penelitian, saya belum pernah mendapatkan catatan mengenai itu. Orang Sriwijaya dan juga Dharmasraya, dalam berita China, dituliskan memperdagangkan Gajah dan Burung, juga hasil hutan lainnya, seperti buah,” kata Bambang Utomo.
“Kalau mereka memakannya, belum ada bukti. Harimau juga tak masuk dalam daftar hewan yang diperdagangkan masa itu. Tapi ingat, mereka menganut ajaran Budha, yang begitu menghargai alam,” lanjutnya.
*
*Laporan ini juga dipublikasikan Mongabay
Indonesia: Menelusuri
Batanghari, Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana
Aktivitas warga di sungai Batanghari |
Sungai Batanghari di Kota Jambi. |
Di sempadan Batanghari. |
Aktivitas bongkar bongkar muat batubara di sepanjang sungai Batanghari. |
Hamparan perkebunan akasia untuk bahan baku tissu milik perusahaan. |
Tanaman Duku warga yang mati terserang hama. |
Written 7/27/2022 by Eko Rusdianto
No comments