Seperti terlelap, kau tertidur dalam peti. Jas hitam hitam, sepatu, kaos tangan putih, celana kain abu-abu. Tanganmu terlipat tepat di dada. Kini selamanya kau pergi, di halaman rumah karangan bunga ungkapan duka cita berderet, tapi semua dari militer. Tak ada karangan bunga dari media, seperti pekerjaanmu dulu.
BPh Rompas, kau lah fotografer tua itu.
Ketika itu, kudengar kabarmu terbaring lemah di ICU rumah sakit Akademis. Dua kali perut dibelah oleh pisau tajam dari dokter, karena virus tumor di dekat usus. Kau tak sadarkan diri hingga satu bulan lebih.
Kata anak perempuanmu, kondisimu sudah terus turun, drop. Beberapa selang dan bantuan pernapasan terpasang di tubuh. Kau tak dapat ditemui, bicaramu sudah tak jelas. Kau hanya mendengar bila seseorang membisikimu, lalu kau tersenyum
. “Bapak sudah tak kuat. Tapi semua keluarga berharap akan baik-baik saja. Kami menyayangi dia,” kata anakmu.
Sita, anakmu itu meminta waktu ketika aku utarakan niat untuk bertemu. “Iya bapak selalu cerita tentang Eko. Tapi nanti kuhubungi kalau bapak bisa bertemu. Mungkin saja dia akan senang mendengar nama Eko,” kata Sita.
Ini membuatku terharu, sungguh terharu. Saya mengenalmu pada akhir 2008 lalu, ketika saya bekerja untuk Harian Fajar Makassar. Saya mewawancaraimu tentang pengalaman hidup yang kau miliki. Saat itu kau memang susah untuk mengingat dan menjawab pertanyaanku. “You ingatkan saja, saya mulai lupa dengan beberapa hal,” katamu.
KETIKA pergolakan DI/TII terjadi dipenjuru nusantara, kau sudah menjadi wartawan senior. Kerjamu mondar mandir masuk hutan, mendatangi daerah-daerah para pejuang DI/TII itu. Kau tak takut, modalmu hanya kebaikan dan keramahan.
Karir terakhirmu di Harian Pedoman Rakyat Makassar. Foto-fotomu selalu menjadi headline. Tapi sayang kau tak punya arsip. Kau sungguh apes. Sekarang ketika kau butuhkan, tak seorang pun yang membantumu. Manajemen Pedoman Rakyat hanya bilang sudah hilang. Begitu pula ketika kau membantu majalah Hasanuddin yang diterbitkan Dinas Penerangan Kodam XIV Sulselra di Makassar, semua tidak ada lagi.
Dua hari sebelum kau meninggal aku ingat anakmu Sita, mengatakan koleksi fotomu pernah ditayangkan di Metro File saluran Metro TV. “Bapak selalu bilang kalau ada foto tentang operasi kilat yang muncul, ‘bapak punya foto itu’ itu bapak sambil nunjuk-nunjuk,” Sita mengulangi ucapanmu.
Saya juga bisa merasakan pergulatan batinmu, saat Soeharto berkuasa semenang-menang. Tak ada keterbukaan informasi, pers diawasi. Kau ingin melawan tapi tak kuasa. “Saya kagum dengan Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, mereka melawan, tidak gentar. Saya tak bisa, walaupun dalam batin dan kata hati harus melawan. Terus terang saat itu saya masih takut. Penculikan ada dimana-mana,” katamu. “Suatu saat kelak jadilah seperti mereka, jangan takut. Jangan seperti saya,” tambahmu mengingatkanku.
PERTAMA kali kau terjun sebagai reporter pada 1955 di majalah IPPHOS (Indonesia Press Photographer Service) Report saat usiamu baru menginjak 19 tahun. Di majalah itu pula kau belajar memotret dan semua orang mengakuinya. Lalu pada 1959 kau dipidahkan ke Makassar dan menjadi kepala redaksi IPPHOS untuk Indonesia Timur. Dan entah apa alasanmu kau berhenti pada 1963, memilih sebagai freelance.
Hingga suatu ketika kau berkenalan dengan LE Manuhua, salah satu pendiri Harian Pedoman Rakyat. Kau kepincut, ditawari untuk membantu Pedoman dan kau menjadi editor foto. Kemudian seiring waktu pada 1975 jabatanmu sudah menjadi redaktur senior di Pedoman.
Namun setelah Pedoman berhenti cetak dan mati pada tahun 2007 karirmu pun tamat. Hanya teman-teman seangkatanmu yang sesekali mengunjungi. Atau pula istri Almarhum Jenderal Jusuf menanyakan kabarmu.
Wartawan-wartawan lebih muda yang jauh dibawah generasimu tak pernah mengenalmu. Hanya ada satu dua orang yang pernah kau ajari di kampus sewaktu kau diminta mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Fajar.
Kau memang sangat sendiri, rumahmu di jalan Dr Sutomo bermasalah. Seseorang mengkalim sebagai miliknya, padahal rumah itu hadiah dari komandan Kodam Sulselra zaman itu. Urusannya sangat pelik, kau hanya mengatakan itu. Tapi kau sangat hati-hati membicarakan masalah itu didepanku.
WARTAWAN tua itu telah menghadap penciptanya. Dia tak mampu lagi bercerita, hanya terbaring. Dia masih tampan. Anaknya, cucunya, berdiri di samping peti jenazah. Ada yang mengelap bibirmu yang basah. “Opah tenang ya, kita ganti celana dulu supaya lebih nyaman.”
Oh, sungguh kau tak berdaya. Di belakang peti jenazahmu saya hanya berdiri memandangi. Hanya lubang hidungmu yang mancung yang selalu kuingat. Pun waktu kau menyalami tanganku pada akhir 2008 itu. Kau sangat senang ada anak muda yang mengunjungimu.
Hari ini, Rabu 4 November sekira pukul 08.00 kukenang kau melalui kesepian. Ketika kau memasuki usia 77 tahun, Oktober kemarin. Selamat ulang tahun untukmu, pergilah dengan tenang.
Sementara istrimu yang juga sudah tua, hanya mampu duduk dengan tongkat empat kaki. Istrimu Lily Elizabeth harus rela kau tinggal, meski usianya sekarang tak jauh darimu. Saya melihat dia disuapi makanan dari seorang perempuan, tangannya tak mampu terangkat dengan sempurna. Pelayat hanya mendekatkan tangannya sendiri untuk menyalaminya. Saat itu dia ada di ruang tamu, tempat kita berjumpa 2008 lalu. Sementara jenazahmu di ruang keluarga. Kini kalian terpisah.
Selamat tinggal, teman tua. Meski kini kau sendiri kau akan dikenal.
Eko Rusdianto (teman diskusi BPh.Rompas)
Rabu, November 04, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tulisannya bagus, trims....
BalasHapus