Setelah berbulan-bulan mendamba-damba hingga terbawa ke mimpi, akhirnya pada Rabu 10 Maret 2010, saya memilikinya. Rasanya nyaman sekali, memeluknya, menciumnya, hingga membawanya kemana-mana. Dia tak protes, selalu tidak bergerak dan mengikuti semua kemauanku. Terkadang saya membenamkannya dalam gaya tengkurap atau bahkan kudekapkan di paha.
Dia, Alfred Russel Wallace yang sebagian petualangannya terangkup dalam sebuah buku berjudul Kepuluan Nusantara (kajian manusia dan alam). Tebalnya 522 halaman ditambah kata pengantar dan halaman pembantu lainnya. Ini seri satu perkenalan saya dengannya.
Wallace lahir 8 Januari 1823 di Usk, Wales, Inggris. Dia dikenal sebagai seorang pengembara, penjelajah, ahli antropologi, biologi, dan naturalis. Dia menjelejahi kepuluan nusantara yang belakangan disebut sebagai Indonesia. Membaca perjalanan itu dalam kepingan sebuah buku yang tebal membuat saya larut dan tersenyum puas. Sekali waktu kalau sudah merasa sangat 'geli' dengan detail catatan itu maka dengan serta merta saya mencumbunya. Nikmat meski aromanya hanya kertas.
Wallace menulis dengan gaya yang memikat. Detailnya tentang daerah kunjungannya membuat saya seakan berada di sisinya. Saya rasa Wallace dan saya berjalan bersama pada September hingga November 1856 dan kunjungan keduanya pada Juli hingga November 1857 di Macassar.
Wallace menceritakannya seperti ini, Macassar adalah kota Belanda pertama yang saya kunjungi dan merupakan kota yang tercantik dan terbersih di Timur. Di sini, terdapat peraturan lokal dari pemerintah Belanda yang patut dicontoh. Semua rumah orang Eropa harus selalu dicat putih bersih dan jalan di depan rumah harus selalu disiram setiap pukul empat sore. Jalan-jalan dijaga agar bersih dari sampah, sedang pipa-pipa bawah tanah membawa kotoran dan mengalirkannya ke saluran tempat penampungan yang terbuka. Air kotor tersebut akan masuk ke tempat penampungan saat arus pasang dan hanyut saat arus surut.
Saya sangat iri membaca potongan cerita ini. Belanda yang datang dengan maksud menjajah dan menjarah semua kekayaan alam Celebes, ternyata juga membawa sesuatu yang baik. Dia menata kotanya dengan nyaman. Tidak belepotan seperti sekarang ini.
Saya yakin ketika Wallace kembali dalam keadaan sekarang, dia akan berteriak dan mengatakan, “ini bukan Macassar yang saya kenal.” Ruko-ruko berjejer dengan gang sempit dan saluran air yang selalu ngadat. Setiap kali hujan mengguyur maka kotoran yang seharusnya tertampung di tempat terbuka itu akan mengalir ke jalan dan merendam rumah penduduk. Semua tak lebih baik. Padahal pemerintah, mahasiswa, dan orang-orang yang selalu merasa cerdas selalu membandingkan pengetahuan jaman sekarang dengan masa lalu. Masa lalu adalah kuno. “Na bawami Belanda itu (sudah dibawa oleh orang-orang Belanda itu),” begitu cerita masyarakat secara luas untuk memuntahkan pendapat yang dianggapnya sudah kuno.
Sekali lagi dengan kegemasan seperti itu, saya tanpa sadar memeluk kembali Wallace.
Mengintip-ngintip Wallace mencatat kepingan dekripsi itu ternyata cukup sulit. Dia harus mendapat tempat yang tenang dan sejuk. Dia juga cukup rewel bila persinggahan dan tempat peristirahatan yang diinginkannya tidak sesuai. Wallace terganggu dengan model rumah yang tidak dekat dengan hutan, atau musim kemarau. Dia bahkan menolak dan meninggalkan rumah yang ventilasinya terbuka dan membuat angin cukup kencang menghantamnya. “Menggannggu pekerjaan,” tulisnya.
Sebenarnya tujuan utama Wallace dalam melakukan pengembaraan adalah mengumpulkan spesies serangga dan burung. Dia mendata semuanya, di Maros Bantimurung ketika dia menapakinya dia menemukan spesies kupu-kupu yang sangat langka, terbang dengan dengan gesit. Dia menemukan ada tiga spesies kupu-kupu paling cantik dunia berkeliaran di Maros. Nama kupu-kupu itu Ornithoptera, kupu-kupu yang memiliki sayap berbinti-bintik kuning satin dengan warna dasar hitam dan rentang sayap berukuran delapan sampai sepuluh inci. Dia juga menemukan kupu-kupu langka Tachyris zarinda dengan sayap warna jingga mengkilap dan merah tua.
Bahkan Wallace juga menemukan kupu-kupu Papilio andocles merupakan satu spesies yang paling terbesar dan terlangka diantara jenis kupu-kupu berekor layang-layang. Dia menggambarkan bila kupu-kupu itu terbang ekornya yang putih dan panjang melambai-lambai bagaikan bendera. Dan bila hinggap maka ekornya membawa mereka melayang ke atas seakan-akan menjaga kemungkinan dari cedera. “Sulit untuk menyamai kebahagian saya selama tinggal di sini,” tulisnya.
Untuk menemukan wilayah Maros ini, dari Macassar, Wallace menggunakan sebuah perahu. Dia bergerak pada malam hari menyusuri tepian pantai dan memasuki sebuah sungai Maros menjelang pagi. Dan baru pada pukul tiga sore hari dia sampai di kampung yang dituju. Lalu dilanjutkan dengan berkuda.
Tapi saat ini, untuk mencapai Maros dengan sepeda hanya diperlukan waktu sekitar 30 menit.
Dua bulan lalu terakhir saya mengunjungi daerah taman nasional Bantimurung, Maros yang tulis Wallace sebagai tempat menyenangkan, dengan kupu-kupu terbaik, sungguh menyedihkan. Saya hanya melihat sedikit kupu-kupu yang bebas beterbangan. Lebih banyak yang diawetkan dengan suntik formalin. Padahal keawetan penyuntikkan itu hanya bertahan beberapa tahun saja.
Bahkan, museum kupu-kupu yang disiapkan pengelola untuk keperluan pendidikan kalau boleh dibilang sudah berantakan. Rak-rak untuk memamerkan kupu-kupu sudah lapuk. Tak ada yang tersisa dari keelokan cerita Wallace.
Sementara hasil kumpulan serangga (termasuk kupu-kupu) dan burung yang dikumpulkan Wallace saat ini masih bisa dinikmati di Brithis Museum sebagai penghargaan atas masukannya terhadap ilmu pengetahuan. Wallace menulis catatan kecil tentang kesenangannya itu pada edisi terbitan kesepuluhnya tahun 1890, yang 21 tahun sebelumnya telah diterbitkan edisi pertamanya tahun 1869.
Wallace menjelejahi wilayah Macassar dengan izin raja Goa – sekarang menjadi Kabupaten Gowa – izin itu untuk untuk memperkuatnya berjalan agar terjamin dalam marahabaya.
Kedatangan Wallace ke Macassar setelah menjelajahi Lombock – sekarang Lombok – dan dijemput oleh seorang Belanda bernama Mr.Mesman. Wallace menggambarkan pelayanan Mesman kepadanya sangat baik. Meminjamkan sebuah kuda dan membuatkannya sebuah rumah bambu yang hangat di daerah Mamajam.
Wallace menggambarkan kedekatan Mesman dan raja Goa ketika dia meminta izin untuk berkelana dalam wilayah kekuasannya. Mesman dan raja Goa bercerita dengan sangat lepas. Menggunakan bahasa Macassar yang fasih.
Wallace merekam sekitar lingkungan tempatnya tinggal. Dia menulis dan memperhatikan kebiasaan masyarakat. Dikisahkannya, pada masa itu kaum laki-laki di Macassar pemalas. Menurut dia, sebagian besar waktu laki-laki dihabiskannya dengan menganggur. Laki-laki hanya bekerja menanam sirih, sayuran, dan sekali dalam setahun mereka membajak sawah dengan kerbau, dan tidak perlu mengurusinya lagi sampai musim panen tiba.
Sedangkan kaun perempuan dianggap sebagai tulang punggung keluarga dengan melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti menumbuk padi, mebersihkan beras, mencari kayu bakar, dan mengambil air. Perempuan juga bertugas membersihkan, mewarnai, menenun, dan menjahit kain menjadi sarung.
Ini menggelikan bagiku. Secara turun temurun cerita tentang keperkasaan kaum laki-laki di Macassar membuatku selalu menutup mata mencari sesuatu yang lain. Ternyata Wallace membuka referensi itu. Sekali lagi serasa ingin meremas, menarik cambang, dan mencubit pipi Wallace, ha ha ha.
Dari sebuah foto halaman depan buku itu, Wallace duduk dengan memegang sebuah buku kecil dengan tangan kirinya. Rambutnya rapi, tersisir ke arah kanan keapala. Kacamata kecil yang tipis. Serta kumis dan janggut yang lebat. Memang cukup seram. Dari keterangan buku itu, Wallace berusia 40 tahun.
Perawakan itu pula lah ketika dia daerah pedalaman membuat semua orang melihatnya dengan sinis. Kerbau dan kuda bahkan bersusah payah melepaskan ikatan dan lari tunggang langgang. Wallace menyimpulkan kejadian ini tak lebih karena penduduk kampung jarang melihat orang Eropa yang berkulit putih. “Kemanapun saya pergi, anjing-anjing menggonggongi saya, anak-anak menjerit, perempuan lari ketakutan, dan laki-laki melihat saya seakan melihat orang aneh atau monster kanibal yang mengerikan.”
Wallace memang lucu, seram, dan menggemaskan. Tapi dia adalah kecerdasan. Keabadian dalam menulis. Sudah 97 tahun lalu dia meninggal dunia, tapi serasa menemukannya kembali hidup.
Kamis, Maret 11, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar