Tahun 2003, di sebuah kampus kecil di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Makassar, saya bertemu dengan seorang perempuan. Tak cantik, tak tinggi seperti perempuan ideal yang selalu didambakan laki-laki. Tapi dia baik, dia ceria dan menyenangkan.
Saya mengawali kisah di sebuah sekretariat Sanggar Seni Karampuang (SSK) di kampus itu. Kami bermain teater kampus bersama-sama. Kami menikmati latihan dan berkeringat. Selalu dia memarihiku saat memakai handul “berjamaah” di kampus. “Jangan sampai ada penyakit kulit, bisa berpindah,” nasehatnya.
Alkisah itu,saat latihan yang melelahkan, pada dini hari yang dingin. Beberapa kawan menginap di sekretariat SSK yang kecil. Dan di tempat sempit itu pula kuungkapkan perasaanku yang sesungguhnya untunya. Hanya dengan sebuah bisikan ringan. Dan dia memelukku. Saya berkelakar pad beberapa teman bila pernyataan cinta di dini hari itu bukan penembakan, tapi pem-boman. Dan ternyata dari kisah sempit di sekretariat itu kami bisa bertahan hingga tujuh tahun lebih. Saya tak ingat kapan pastinya.
Hingga semua berubah, saat jarak melukai satu rasa. Dia ke Yogyakarta, kota kecil yang penuh kebebasan berpikir. Kemarin malam, pada Senin 24 Mei 2010, dia mengirimiku pesan di email yang cukup mengejutkan. Dia tak mengenalku lagi dan membenciku. Semua berakhir. Stop. Begitu kira-kira.
Kini kami berjalan sendiri. Keputusan untuk melupakan yang telah lalu. Untuk memulai pertemanan baru, seperti pada awal 2004 itu tak ada jalan lagi. Meskipun hanya sebatas kenal. “Jangan menghubungiku lagi,” begitu tulisnya.
Kisah kami berakhir dengan sadis. Itu jelas kesalahanku, tapi mungkin juga kesalahan dia. Yang pasti kuakui bila kebenaran akan muncul, dan kukatakan aku yang salah. Mula-mulanya dia memaklumi. Kami kembali akrab awal-awal hubungan itu retak, tapi sebatas teman. Dan kembali tak saling kenal.
Tapi kemarin itu, Senin itu dia seperti lupa diri. Saya cukup kaget membaca catatan kecilnya yang terkirim ke emailku. Semoga apa yang ditulisnya, bisa menjadi pelajaran. Dan bukan doa untuk siapa-siapa. Merinding.
Kuakui saya kehilangan dia, tapi amarah tak dapat ditolak. Tak dapat ditepis. Saya dan dia sekarang berjalan berbeda, sendiri. Dia mendapat pasangan baru dan saya pun demikian.
Semoga ada cerita kelak dikemudian hari atau lebih baik semua sirna saja. Saya tak tahu, garis tangan akan menentukan segalanya. Selamat berpisah kisah tujuh tahunku. Cerita rumah tujuh tahun kita. Rencana keluarga tujuh tahun kita. Semua seperti jalan cerita buku-buku yang tak pernah berujung, yang sering buat kita bertengkar kecil dengan diskusi hingga larut malam.
Kalibata Timur IV, kantor Majalah Gatra, Rabu 26 Mei 2010.
Rabu, Mei 26, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
salam kenal
BalasHapus^_^
http://fabiantactlest.wordpress.com
http://techno.mas-anto.com