Peringatan 200 tahun Raden Saleh. Menelusuri kembali ontentisitas karya lukisan legendaris yang kini tidak terawat dengan baik.
LUKISAN itu berdiri tegak di ruang utama Istana Bogor dengan tiga tiang, mirip penyangga papan tulis di sekolahan zaman dulu. Dihiasi bingkai berwarna emas, membuatnya terlihat berat dan agung. Sebuah pembatas disediakan untuk memisahkannya dengan pengamatan pengunjung. Serta seorang petugas dengan baju hitam dan celana kain hitam yang licin selalu memberi teguran bila seseorang mendekati apalagi akan memotretnya.
Lukisan itu sudah menjadi buah bibir kalangan seniman dan para cedekiawan Indonesia bepuluh-puluh tahun lamanya. Itu adalah lukisan karya Raden Saleh Sjarif Bustaman, yang bertema penangkapan Pangeran Diponegoro.
Raden Saleh melukisnya dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas.Dalam lukisan itu, Diponegoro terlihat begitu tenang, tatapannya tajam, lehernya sedikit mendongak, seragam putih, sorban pengikat kepala. Dia seperti malaikat ditengah serdadu Belanda yang dilukiskan dengan kepala besar, mirip monster.
Pada sudut kiri lukisan tertera tulisan Batavia 1857. Tidak tampak terlihat tandatangan Raden Saleh dipermukaan lukisan yang teramati. Beberapa pengamat mengatakan, tandatangan itu terletak pada bagian kanvas yang terlipat dan ditutupi bingkai yang besar itu.
Diponegoro ditangkap di sebuah rumah yang bernuansa mewah. Di teras ada enam pilar besar berwarna putih, beratap genteng. Pasukan Diponegoro menatapnya dari arah bawah tanah yang berkerikil. Sisi lain sebuah kereta kuda siap membawa Diponegoro ke tempat pengasingan.
Sebagaimana kelaziman pelukis masa itu, menurut sejarawan Inggris, Peter Carey, Raden Saleh juga memasukkan dirinya di tengah kumpulan orang yang melihat Diponegoro. Bahkan melebihi kebiasaan, Raden Saleh memasukkan dirinya di tiga potret yang berbeda. Yang pertama menunduk, yang kedua memandang ke kawanan orang, dan ketiga memandang tegas kearah Diponegoro.
Carey yang menghabiskan beberapa tahun meneliti lukisan itu, mengatakan keberadaan Raden Saleh di lukisan itu membuktikan dirinya menentang penangkapan Diponegoro. Pada saat yang sama, juga memperlihatkan ketidak berdayaannya melawan pemerintah Hinda Belanda masa itu.
Untuk memperingati 200 tahun Raden Saleh, Institut Kesenian Jakarta menyelenggarakan seminar dan kunjungan ke Istana Bogor. Selain melihat lukisan, rombongan acara kunjungan yang terdiri elemen mahasiswa, seniman dan budayawa itu, juga menyambangi makam Raden Saleh. Kuburan Raden Saleh berada disebuah gang sempit di Jalan Pahlawan, Bogor. Di tempat peristirahatan terakhir sang pelukis itu diadakan upacara tabur bunga, dengan beberapa seremonial dan terakhir pembacaan doa bersama.
Raden Saleh meninggal pada 23 April 1880. Tapi tahun kelahirannya tak ada yang pasti. Berbagai sumber menyebutkan antara 1807 hingga 1815 di Terboyo Semarang, Jawa Tengah. Berbeda dengan itu, prosesi pemakamannya memiliki catatan cukup lengkap.
Koran Java Bode,misalnya, pada 28 April 1880 menuliskan, ?Kita poenja corespondent dari Bogor toelis kabar jang berikoet: pada hari Minggoe tanggal 25 April djam 6 pagi maitnya Raden Saleh diiringi oleh banjak toean-toean ambtenaar, kandjeng toean Assistant, toean Boetmy dan lain-lain toean tanah, hadji-hadji, satoe koempoelan baris bangsa Islam, baik jang ada pangkat jang tiada berpangkat dan orang Djawa, sampe anak-anak Djawa dari Landbouwschool semoea anter itoe mait ke koeboer."
Dalam acara kunjungan yang berlangsung pada hari Sabtu 26 Juni 2010 itu, hujan sedikit membasahi nisan Raden Saleh dan Istrinya R.A Danurejo. Makam itu sederhana dengan pagar tembok setinggi perut membatasinya dengan jalan di gang sempit. Menurut penuturan Ibu Sarwono dari Yayasan Raden Saleh meski keadaan makam sudah membaik dibanding tiga tahun lalu, namun masyarakat Bogor masih banyak belum mengenal Raden Saleh.
Kemudian rombongan kunjungan menuju jalan Empang. Sebuah bangunan besar terlihat; pusat perbelanjaan Ramayana.?Kita akan berkunjung ke bekas rumah Raden Saleh,? kata seorang mahasiswa bergurau dari dalam bus. Jelang awal tahun 2000-an rumah Raden Saleh yang terletak di Jalan Empang itu diratakan oleh beberapa alat berat. Kemudian di lokasi tersebut didirikan Ramayana. Pada salah satu pintu masuk pusat perbelanjaan itu, tertulis, "Pintu II Raden Saleh".
Jalan Empang terlihat tak tertata dengan baik, ruko-ruko menghiasi setiap sisi jalan berebut dengan pedagang kaki lima. Konon, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor telah setuju untuk mengganti nama jalan Empang menjadi jalan Raden Saleh. ?Kasihan juga. Masa jalan semrawut seperti ini dijadikan nama jalan untuk Raden Saleh."kata seorang mahasiswa lainnya dalam romobongan.
***
Raden Saleh memperoleh kemampuan membaca, berhitung, hingga melukis ditanah Belanda. Tapi kemampuan melukislah yang menjadikannya mendapat ketenaran. Selama 23 tahun di Eropa pergaulan Raden Saleh sangat baik, dia akrab dengan pembesar, raja, dan para aristokrat. Dan karena itu pula dia diceritakan kadang menunjukkan sikap yang sedikit angkuh. Di Eropa dalam kesehariannya dia selalu menggunakan pakaian mewah, bahan dari beludru dengan tanda bintang penghargaan.
Lukisan Raden Saleh tentang penangkapan Diponegoro tersebut memicu banyak reaksi. Beberapa peneliti dan seniman mengatakan peristiwa itu sebagai khayali belaka. Ramai juga sumber yang menyebut lukisan tersebut sebagai hasil salinan dari karya pelukis Belanda Nicolas Pieneman berjudul The Submission of Diponegoro (tanpa tahun). Lukisan tersebut menggambarkan keberhasilan penaklukan di Hindia Belanda dengan Diponegoro beserta pasukannya menyerahkan diri, tak berdaya.
Namun demikian, terdapat perbedaan antara karya Pieneman tersebut dengan "salinan" yang dibuat Raden Saleh pada tahun 1857 dan diberi judul "Penangkapan Pangeran Diponegoro". Saleh dinilai lebih dekat memahami peranan Diponegoro dan memosisikannya sebagai bangsawan Jawa yang punya kedudukan, tegar dan berusaha melawan penangkapannya. Bukan menyerahkan diri.
Apakah lukisan legendaris karya Raden Saleh itu adalah karya jiplakan? Sejarawan Inggris yang menjadi salah seorang "nara sumber" dalam peringatan 200 tahun Raden Saleh ini, Peter Carey, menjawab pertanyaan itu dengan ilustrasi sederhana. Dia membandingkan pada sebuah cerita ketika orang India ke Indonesia dan melihat Borobudur dan beberapa candi lainnya. Si India berkata melihat India sesungguhkan tidak seperti di kampung halamannya. Jadi inspirasi memang dari India tapi karena budaya yang kuat menjadikan sebuah karya yang tak boleh dianggap tiruan.
Hal tersebut serupa dengan karya Raden Saleh. Inspirasi Raden Saleh memang adalah Eropa karena besar dan belajar di Eropa. Tapi ciri khas dan kekhasan dalam setiap detail darah Jawanya membuatnya sangat berbeda dengan lukisan sebelumnya.
Carey menunjukkan rimbunan pohon yang berjejer di Kebun Raya Bogor, ?saya kira pemandangan yang digambarkan Raden Saleh dalam latar belakang lukisan Pangeran Diponegoro sama dengan yang ada di belakang kita. Itu tentu adalah ciri khas daerah dan tak dapat di tiru,? katanya. Perihal itu dimaknai oleh Carey sebagai kesadaran akan identitas dan kebudayaan yang terikat dalam diri masing-masing orang.
***
INI kali pertama Peter Carey melihat lukisan asli Raden Saleh. Sebelumnya dia hanya melihat replikanya. Dia begitu serius menatapnya, tangannya sesekali memegang bibirnya. Ada ekspresi lain yang terlihat. Bibirnya membulat membentuk seperti huruf ?O?. Dia kaget.
Kondisi lukisan itu sudah mulai kurang terawat. Beberapa warnanya mulai pudar. Bercak putih terlihat jelas, seperti sebuah jamur kecil, lukisan sudah mulai terkelupas. Di Istana Bogor selain lukisan tertangkapnya Pangeran Diponegoro, tersimpan satu karya Raden Saleh lainnya, yakni "Perkelahian Manusia dan Singa" (1870).
Lukisan Perkelahian kondisinya relatif lebih baik di banding lukisan Diponegoro itu. Warnanya masih terlihat jelas. Lukisan tersebut di pajang disebuah ruang di lantai dua bagian lain gedung utama Istana Bogor.
Carey mengaku prihatin atas perlakuan yang diterima lukisan Diponegoro itu. Perawatannya ia nilai tidak memadai.Menurutnya seharusnya pemerintah Indonesia mengeluarkan biaya untuk merestorasi lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro. ?Saya kira itu belum terlambat. Mengeluarkan sekitar US$ 50.000 saya kira tidak masalah untuk sebuah bukti sejarah,? katanya.
Jika lukisan itu rusak dan bahkan hancur, maka sebuah periode sejarah dari lukisan Raden Saleh juga akan lenyap. Sehingga itu, melestarikan lukisan Raden Saleh tanpa kecuali dan terkhusus untuk karya Penangkapan Pangeran Diponegoro, seperti mengabadikan dua sisi sejarah yang panjang; Pangeran Diponegoro dan Raden Saleh sendiri.
*) Versi cetak Majalah GATRA edisi 15-21 Juli 2010
*) Catatan: foto diunggah dari: papario2.files.wordpress.com
Kamis, Juli 15, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kapan bang tlisan abang terbaru lagi,by rendy
BalasHapuskapan bang tlisan abang yg terbaru.
BalasHapussaya punya lukisan warisan kakek,pertarungan singa dengan banteng,tertulis r.a.p.i karya siapa ya?
BalasHapus