Saya ingin menulis apa saja. Apa saja. Saya ingin menulisnya dengan cerita, ya dengan cerita. Misal malam ini saya berpikir tentang Nyamuk. Tentang serangga kecil yang lebih suka cari makanan pada malam hari.
Waktu benar-benar berpikir tentang itu nyamuk, itu sungguh kebetulan. Pada 12 Mei 2011, waktu duduk di warung kopi Pro coffe di kawasan Jalan Racing Center, sambil bukabuka facebook dan baca berita di internet, kedua lenganku begitu gatal. Para rombongan nyamuk ternyata lagi menyerbunya.
Saya mengusapnya dan itu gerakan akan membuat para Nyamuk terbang. Saya juga beberapa kali menepuknya, sempat hitung ada dua Nyamuk kena dampar. Gepeng dan langsung mati.
Tapi tibatiba ingat cerita di tulisan Tjamboek Berdoeri (Memoar Kwee Thiam Tjin) tentang Kambing dan Tikus. Tjamboek Berdoeri menuliskannya dengan penuh kesan seolah bercerita dengan si Tikus yang kena jebakan dan si Kambing yang akan kena jatah kurban untuk dipotong.
Bagaimana dengan Nyamuk? Saya kira ini sama saja. Nyamuk itu tidak makan buah dan mie instan. Dia memang makan darah manusia. Nyamuk punya sayap yang tipis, kalau terbang seperti tak memiliki sayap karena kepakannya tak terlihat. Sementara bila dia lewati daun telinga kita, akan menimbulkan suara yang begitu mengganggu. Tak tahulah tentunya, itu suara dari hasil kepak sayap atau keluar dari kerongkognan si Nyamuk.
Tibatiba saya merasa iba dengan si Nyamuk. Bagaimana rasanya jadi mahluk yang takdirnya untuk hidup adalah mengandalkan darah sebagai asupan nutrisi. Padahal kalau mau pikirpikir itu nyamuk makannya hanya sedikit, untuk mengisi perutnya hingga kekenyangan tak perlu menunggu lama.
Maukah kita memberikan sedikit darah kita padanya untuk buat dia bahagia. Tapi saya kira itu juga pilihan sulit. Sebab kita kasih satu pada seekor Nyamuk, maka teman lainnya akan lebih banyak datang. Dan jumlahnya juga bukan main banyaknya. Bisa jadi badan kita semua akan bentolbentol. Dan kita kena sakit malaria.
Nyamuk sudah beberapa kali lewat di depan layar komputerku. Dia begitu lincah, terbang, seperti bintik hitam. Bagai pemain sirkus. Andaikan saya seperti nabi Sulaiman yang punya daya kemampuan bercerita dengan binatang, maka tentu akan terjadi diaolog dan mungkin tukar menukar gagasan.
Tapi bila itu benar, maka saya diskusi dengan si Nyamuk; “Nyamuk bisakah kau cari makanan lain selain darah?,” kataku.
“Itu bisa saja. Tapi butuh proses panjang dan lama. Karena makanan yang paling instan adalah darah meskipun harus dengan resiko. Kami melahirkan banyak larva telur sekali. Yang mati sebenarnya lebih sedikit dibanding yang lolos dan kenyang,” jawab Nyamuk.
“Tapi itu tidak baik. Dan mengganggu lingkunganmu. Kita kan hidup di satu dunia. Saling hormatilah kita,”
“Itu betul juga akan saya pertimbangkan dan tanya kawankawan dulu.”
Dialog itu terputus. Saya dan Nyamuk berpisah. Lalu dilain kesempatan bertemu lagi.”Bagaimana pertemuan kalian. Apakah tawaran saya diterima,” kataku. “Maaf kawan. Presiden Nyamuk belum keluarkan maklumat untuk usulan itu,” jawabnya.
Kami terdiam samasama. Lama nian kami saling tatap. Tibatiba timbul perasaan dan kemauan untuk dampar si Nyamuk. Saya sudah jengkel lihat ulahnya. Masa hanya kesepakan demikian begitu sulit. “Saya tahu kawan ini risau. Tapi tenanglah. Usia kami hanya sebentar. Manusia itu lama, kami hanya butuh sedikit dari kalian. Ataukah memang manusia itu pelit dan tak pentingkan keadaan lingkungannya,” kata si Nyamuk.
Pertanyaan itu buat saya tersentak. Ada benarnya juga. Seharusnya manusia yang berahlak dan punya pikiran harus memutuskan. Nyamuk punya kepala kecil, tidak mungkin dan sanggup pikirkan sebanyak tawaran saya. “Tapi tolong lah ini harus diprioritaskan,” pintaku.
Nyamuk menaikkan sedikit sayapnya, lalu dengan tenang dia miringkan sedikit badannya ke belakang. Sayap jadi penopangnya seperti sandaran kursi. Tiga jarinya bergerak menjelaskan kemauan sesuai dengan katakata yang dikeluarkan. “Kalian tahu. Kami ini sebenarnya dipelihara oleh sebagian dari kalian. Membuatkan tempat bertelur disisi rumah. Kalau kami berhenti makan darah manusia, maka kehidupan akan tenang, dan bos pengusaha anti nyamuk akan bangkrut,” kata si Nyamuk.
“Sebenarnya banyak dari kami yang masih tinggal di hutam. Disana tak ada manusia, tapi saudarasaudara Nyamuk kami tumbuh lebih besar dari kami. Kami tidak tahu mencari makan dimana lagi, karena kalian sudah rusak kami punya rencana. Darah rusa, babi, kuda, burung sebenranya lebi nikmat dari kalian yang sudah kotor, yang rasanya sudah pekat dan pahit,” lanjutnya.
Nyamuk itu nyerocos tanpa henti. Dia sepertinya tak memberikan tandatanda untuk berhenti. Nafasnya tersengal dan mulai lemah. “Ingat kalian lebih rakus dari kami. Dan kalian lebih banyak punya mau,” katanya. Dan setelah kalimat itu selesai, Nyamuk itu langsung jatuh. Dia seperti tidur pulas habis minum obat penenang tidur. Nyamuk itu mati, nadinya sudah tak bergerak. Dia mati menahan lapar karena meladeni pertanyaanku. (Eko Rusdianto)
0 comments:
Posting Komentar