Selama di Sorowako saya punya tekad menulis catatan harian, sebanyak mungkin. Kontrak saya ada 15 bulan. Saya membayangkan cerita-cerita saya selama itu. Mungkin ada yang sedih, ada lucu dan ada yang bersifat perenungan. Namun menulis tidak segampang tekad itu. Menulis seperti sebuah misteri, terkadang bila dapat ide langsung nulis, cepat selesai. Biasanya tidak sampai 30 menit. Tapi kalau dapat susah dan pikiran mulai ngaco, menulisnya bisa mengeram hingga dua hari.
Bila tulisannya selesai dan membaca ulang, saya selalu terkaget-kaget. Ada kalimat-kalimat yang tak pernah terpikir. Seperti menyusuri sungai dan melihat pemandangan.
Pada Minggu, 16 Oktober 2011 bertemu kawan-kawan di redaksi Kabar Sorowako. Mereka adalah anak muda yang giat dan bergerak dengan semangat. Saya juga masih muda, usia baru 27 tahun. Di ruang redaksinya ada meja berbentuk oval, white board, dispenser, beberapa toples, ada yang isi gula.
Kami cerita hingga jauh malam. Saling ungkap pengalaman. Sepakat pada satu kesimpulan, bila menulis adalah cara seseorang membuat diri menjadi kekal dan abadi. Ingat beberapa novel-novel Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy. Atau catatan perjalanan Alfred Wallacea. Atau pikiran-pikiran Charles Darwin. Mereka semua sudah meninggal tapi namanya masih hidup, masih seperti tuan yang diperlakukan dengan hormat.
Orang-orang itu meninggalkan sejarahnya masing-masing. Membuat namanya menjadi hidup. Saya beberapa kali bercerita dengan beberapa orang. Saya perkenalkan diri sebagai wartawan - waktu masih jadi wartawan -, sekarang perkenalannya sebagai seorang yang senang menulis di blog dan facebook.
Banyak yang tanya, apa untungnya menulis. Memang bisa kaya, memang ada untungnya.
Suatu kali, saya menulis tentang Toraja di blog. Seseorang mengirim pesan ke email dan meminta izin meng-copy naskah itu. Katanya untuk bahan pelajaran dia di kampus, orang itu adalah dosen. Dia tanya berapa harga bayarannya. Tentu, jawabku singkat, tak perlu bayar silahkan digunakan dengan baik.
Email itu membuat saya terharu. Bagi saya tulisan akan membawa orang memahami dirinya dan lingkungannya. Banyak bertemu orang, bercerita dan mencatat apa yang dibicarakannya adalah tahap awal memulainya.
Sejarah kita adalah sejarah tulisan. Di Bugis dan Makassar dikenal lontara (daun lontar), sebuah media yang digunakan masyarakat secara umum untuk menuliskan kisah. Dari mulai cerita rakyat hingga laporan matanya sendiri. Tapi perkembangan ternyata membawa pengaruh. Cerita dari tulisan-tulisan itu menjadi semacam tradisi oral, orang-orang lebih senang bercakap. Catatan tak penting lagi.
Akhirnya pada tahun 1848 seorang bernama BF. Matthes, usianya 30 tahun, bergelar Doktor, mengunjungi tanah Bugis. Dari pemerintah Belanda diperintahkan untuk menterjemahkan Al Kitab ke bahasa Bugis. Dia mendengar kisah tentang I La Galigo.
Tertarik, tentunya. Tapi cerita itu sudah tersebar kemana-mana. Asal usulnya sulit ditelusuri. Dia minta bantuan pada putri Kerajaan Tanete Rilau di Barru, yakni Arung Pancana Toa atau Retna Kencana Colliq Pujie. Dan kini cerita itu menjadi besar.
Hingga ratusan tahun kemudian, cerita I La Galigo yang disusun Colliq Pujie dengan inisiatfi Matthes mulai dikenal lagi. Dia menjadi epos terpanjang ada 6000 halaman, 300.000 baris dan terbagi dalam 12 jilid penulisan. Naskah ini melebihi epos Mahabarata yang hanya 200.000 baris.
Dan disinilah kekuatan tulisan terlihat nyata. Tulisan adalah cerita dan semangat, bukan dunia rekaan. Menulis membutuhkan ketekunan, disiplin, kecerdasan, dan kemauan.
Tapi ada juga yang bilang, menulis itu adalah keterampilan. Saya benci ungkapan itu. Pengertian saya, keterampilan hanyalah teknik, atau alatnya. Bukan kekuatan pikiran. Menulis adalah buah pengendapan dari kepala dan kemampuan otak. Menulis membutuhkan referensi dan kemapanan membaca. Menulis bukan pekerjaan merangkai kata dan merajut kalimat.
Menulis membutuhkan pelajaran sepanjang masa. Sepanjang hayat. (Eko Rusdianto)
0 comments:
Posting Komentar