Ini adalah perjalanan saya yang paling menyenangkan menggunakan tansportasi mobil angkutan umum. Bertemu dengan Dede dan melaju dengan kencang. Dede adalah sopir mobil angkutan itu. Usianya menjelang 24 tahun.
Dede bertubuh kecil, kalau berjalan agak membungkuk. Rambutnya lurus dicukur pendek. Rokok yang dihisapnya Gudang Garam Mini. Dia membawa saya dari Kota Palopo menuju Sorowako, Kabupaten Luwu Timur.
Jarak tempuh Palopo ke Sorowako sekitar 4 jam. Dari Palopo hingga perbatasan Kecamatan Angkona, Luwu Timur jalannya datar. Setelah melewati Angkona hingga Sorowako, jalannya sempit dengan tikungan-tikungan tajam.
Saya adalah penumpang terakhir yang akan diantar Dede. Penumpang lainnya turun di daerah lebih awal, seperti Sabbang, Masamba di kabupaten Luwu Utara. Atau Burau dan Wotu di Kabupaten Luwu Timur. Dari Wotu, otomatis saya hanya berdua dengan Dede.Kami tiba di Wotu sekitar pukul 18.30. Lama perjalanan dari Wotu ke Sorowako ditempuh sekitar 2 jam dan kami banyak bercerita.
Ketika kendaraan memasuki daerah Kecamatan Angkona, hujan mengguyur jalan. Ruas jalan di daerah ini cukup sempit, kalau kendaraan Bus bertemu dengan mobil jenis Panther seperti yang kutumpangi, maka salah satunya harus menepi, turun ke jalan.
Permukaan jalan di Angkona hingga memasuki kota Malili, merupakan rute paling berat untuk setiap sopir angkutan saat hujan mengguyur. Dede menunjukkan pada saya bagaimana, susahnya. Dia meminta saya memperhatikan jalan di depan kami yang diterangi lampu mobil. “Hitam sekali toh. Nda tahu apa campurannya ini aspal, minyak tanah mungkin,” katanya.
Permukaan jalan juga tidak rata. Jika bertemu kendaraan cahaya lampunya akan memantul seperti cerrmin. “Liat maki, ini aspal memang seperti cermin,” ujarnya. “Nda tahu kenapa bisa begini, baru nda pernah diperbaiki,” lanjutnya.
Dede memperbaiki posisi duduknya. Dia memasang bantalan leher di kursi tempat duduknya, lehernya seperti tegak. Pandangan fokus ke depan. Pendingin udara dari mobil berhembus seperti embun di dalam ruangan mobil. Ini untuk membantu kaca mobil tidak buram.
Menurut dia, kecepatan 80 km per jam saat keadaan jalan basah, bisa membahayakan pengendara. Jika ada kendaraan dari arah depan yang tergelincir atau berputar arah dalam jarak 20 meter, mobil tak akan bisa direm. Jika pun pedal rem sudah terinjak penuh, ban sudah berhenti putar, itu akan membuat mobil terus melaju. “Jalanan ini licin. Mengerem tiba-tiba akan membuat mobil terputar, tergelincir, dan terus melaju,” kata Dede.
Menikah seperti Mimpi
Meski usia Dede terbilang muda, dia sudah memiliki seorang putri, usianya 2,5 tahun. Dede menikah di usia menjelang 20 tahun. 5 bulan kemudian, istrinya hamil. Masa inilah yang membuatnya sangat bahagia.
Waktu kendaraan kami melaju dan memasuki daerah Sabbang, Luwu Utara, Dede berhenti di salah satu warung yang berjejer. Istirahat sejenak. Meneguk sebotol minuman teh kemasan. Setelah itu membeli sekantong plastik jagung rebus. Jagung disimpannya di bawah tempat duduknya. Meletakkannya dengan baik. “Untuk istri?” kata saya. “Iya, untuk mamanya dan anak. Harus seperti itu,” katanya.
Dede membawa mobil jenis Izusu Panther berwarna hitam. Seluruh kacanya gelap. Mobil ini adalah milik mertuanya yang diperoleh dengan cara diangsur. Delapan bulan kemudian cicilan mobil ini akan lunas. “Semoga bisa. Itumi saya kerja keras ini.”
Dede mengakui dirinya bukan sebagai seorang pekerja. Kemampuannya hanya bisa mengemudi kendaraan. Dia berkenalan dengan kendaraan sejak kelas 2 SMP di Wasuponda. Awalnya dia tertarik dan ikut membantu. Bisa jalan-jalan ke kampung orang tanpa membayar.
Kemudian semakin lama semakin tertarik. Dia mulai mengakrabi bau solar, mulai tahu cara menyusun barang, kemudian belajar membongkar dan memperbaiki rem. “Sekolah mulai kacau tapi saya terus,” katanya.
Tamat SMP, dia melanjutkan SMU-nya di Makassar. Saat itu juga dia sudah tak cocok dengan ibu barunya. Mulai cekcok dan memilih Makassar sebagai pelarian. Setiap sekolah yang dimasukinya tak pernah bertahan lama, seiring pindah-pindah. Ketika sekolah di Daya dekat Gedung Olah Raga (GOR) Sudiang, pada enam bulan terakhir dia fokus mencari uang. Segala macam dilakukannya.
Dia lalu mempunyai beberapa kawan. Para kontraktor. Jasa Dede digunakan sebagai pengantar barang, untuk membawa kabel, mat alas, atau apapun ke Sorowako, untuk perusahaan tambang Nikel. “Saya kumpul banyak uang. Beli rumah ka di Wondula. Harganya waktu itu 60 juta,” katanya.
“Berapa umurmu waktu kau beli rumah,” tanya saya.
“Sekitar 19 tahun,” jawabnya.
Saya kira Dede adalah pria yang memiliki kemampuan besar dan kemauan besar.
Bagaimana Dede menjalani kehidupan berkeluarganya? Dia membicarakan triknya pada saya. “Sabar dan tahan diri,” katanya.
Menurutnya, punya istri dan anak harus mampu membuat rencana sendiri. Perhitungannya harus lebih jauh ke depan. Dia membuktikannya, dengan mendaftarkan anaknya pada sebuah asuransi pendidikan. Setorannya setiap bulan 150 ribu rupiah. “Saya tahu saya kerja begini kan ada resikonya. Kalau saya ada apa-apa kan dia sudah ada tabungan,” katanya.
Dede mengusap hampir seluruh tengkorak kepalanya dengan tangan kiri. Gerimis yang mengguyur kami di jalanan membuat kabut seperti awan tebal. Jarak pandang hanya sekian meter. Biasanya dalam keadaan seperti itu, Dede mengikuti mobil di depannya. Memperhatikan lampu dari belakang. Artinya, bila kendaraan di depan jatuh ke jurang, maka mobil belakang juga ikut terjatuh.
Telepon Genggam Disita Istri
Pada Sabtu, 26 November 2011, sebuah pesan singkat masuk di telepon genggam Dede. Tak ada nama yang tersimpan, hanya nomer. Pesan itu meminta Dede untuk ketemuan. Seorang perempuan.
Tapi pagi itu yang membaca adalah istrinya. Dede senyum-senyum saja. Dia yakin pesan itu dari teman-temannya yang iseng. “Oh nakal maki juga’e,” kata istrinya.
Sang istri membalas pesan itu. Ditulisnya dengan pesan singkat, bila Dede sudah punya istri dan anak. Tapi balasan pesan dari nomer misterius itu, malah lebih menantang. Menurut cerita Dede, isinya menginginkannya meskipun sudah punya keluarga. “Jadi mi HP disita,” kata Dede.
Tapi, Dede tak membantah. Menurut dia, tak ada waktu untuk berdebat. Dia menebak bila dengan menyita Hp itu, istrinya bisa lebih legah.
Namun tanpa Hp itu, Dede juga kebingungan. Pada Minggu, 27 November 2011, enam orang pelanggannya lari ke mobil angkutan lain. Di Luwu – mungkin seperti daerah lainnya, semenjak teknologi komunikasi seluler sudah bisa digunakan, layanan jasa dilakukan melalui telepon. Para calon penumpang, akan menelpon sopir-sopir langganan mereka, menyebutkan rumah, alamat, lalu sang sopir akan menjemput. Penumpang tak perlu lagi ke terminal.
“Saya kira besok na kasima itu Hp istriku. Kalau seperti ini, semua langgananku lari mi semua, karena nda bisa hubungika,” ujar Dede.
Titik-titik Angker
Menjelang pukul 20.00 kami sudah melewati kota Malili. Di sisi jalan yang terlihat hanya pohon, tebing, gunung dan sungai. Suasana sepi sekali. Tak ada lampu jalan. Kabut menutupi sebagian ruas jalan.
Sepanjang jalan dari Malili menuju Sorowako merupakan titik angker penuh misteri, itu kata Dede pada saya. Suatu kali, Dede mendapat muatan sewa dari Palopo sampai Malili. Dia tiba sekitar pukul 23.00. Dia tahu ini adalah perjalanan berat untuk pulang ke rumahnya dengan keluarga.
Lalu diputuskan meninggalkan mobil di Malili. Dede menunggu kendaraan yang bisa ditumpanginya ke Sorowako. Tapi malam Jumat itu mungkin hari sial baginya, tak ada satu pun kendaraan menuju Sorowako, hingga pukul 23.30. “Istriku menelpon, dia bilang pulang maki. Nda adaji itu apa-apa,” katanya.
Sepanjang jalan, Dede mengemudikan mobil dalam keadaan serba salah. Ingin melaju dengan kencang takut, ingin pelan juga salah. “Saya lihat ada bayangan putih di belakang mobil bergerak. Saya seperti tidak rapat di tempat duduk,” katanya.
Dede memantik rokoknya. Mengisapnya dalam lalu melanjutkan ceritanya pada saya. “Tapi waktu ternyata yang goyang berbayangan itu tisu ini,” ujarnya, seraya mencontohkan tissu dekat cermin ruangan.
Itu membuat dia tenang ketika sampai di rumah. Menurut dia, itu keberuntungan. Saya juga mulai merinding mendengar cerita Dede. Kami sudah melewati Karebbe, sebentar lagi akan menapaki jalan baru. Jalan yang dipindahkan untuk membuat aliran sungai tetap baik. “Di sini mi paling keramatnya,” katanya.
Bukan sekali bila dia melintas malam, di tugu batas Kecamatan Malili selalu muncul perempuan menggendong anak. Atau duduk-duduk di atas tugu batas kecamatan. “Saya kalau lewatka di sini nda mauma bale-bale’ lihat itu tugu,” katanya.
Tapi saat kami melintasinya malam itu, saya menengok tugu itu. Saya melihatnya seperti bentuk nisan. Mengerikan juga.
Cerita lain, ketika melewati jalan baru, dia pernah berhenti cukup lama. Kala itu penumpangnya masih sekitar lima orang di dalam mobil. Dede mengerem tiba-tiba saat pohon-pohon di pinggir jalan bergetar dan menunduk ke arah jalan. “Saya kira hanya saya yang lihat. Jadi saya diam-diam saja. Tapi ternyata semua penumpang lihat juga, adami itu baca-baca,” katanya.
Cerita kami dari Malili menuju Sorowako hanya soal makhluk halus. Kami seperti ibu-ibu cerewet yang bicara tanpa henti. Meski demikian Dede menceritakannya sembari tertawa. Dia juga menunjukkan pada saya tempat-tempat yang menurut dia keramat bila dilalui di malam hari. Selain jalan baru, tempat tugu perbatasan Kecamatan Malili, kemudian di Kampung Togo sebelum memasuki Wasuponda, ada tikungan yang mendaki dan kuburan berada di bawah tikungan itu.
Selain itu, di perempatan Wawondula. “Kalau di sini ada orang kecelakaan pasti mati. Baru selalu ki liat ramai,” kata Dede. “Tapi itu hanya beberapa. Pokoknya sepanjang ini jalan memang keramat memang.” (Eko Rusdianto)
Innalilahi.. Alm. Dede meninggl 800 M dari pertigaan wawondula mnuju soroako.. mohon didoakan..
BalasHapusIni adalah sebagian kcil dri kisah hidup alm.dede...
BalasHapus