"Generasi kami, termasuk saya, tak ada yang meneruskan tradisi pandai besi," kata Mahding, 72 tahun, warga Desa Matano. (Foto: Doni Setiadi) |
Di balik keindahan mata air dan danaunya, Desa Matano menyimpan kisah para pandai besi yang tersohor di Nusantara.
MATANO seperti terpencil dan sendiri. Jalanannya tak beraspal dan dipenuhi debu bila musim kemarau. Penduduknya berladang, menanam sayur dan kakao, serta bekerja sebagai nelayan. Desa ini jauh tertinggal dibandingkan Sorowako, kota yang tumbuh dengan pesat karena perekonomiannya ditopang oleh keberadaan perusahaan tambang PT Inco.
Pada abad ke-14 desa ini dikenal sebagai Rahampu’u –tanah untuk orang pertama yang mendiami negeri. Tanahnya merah dengan gunung dan bukit mengelilinginya –tanah merah secara geologi mengandung besi. Desa ini pula yang diperkirakan menjadi cikal-bakal kerajaan Luwu, yang dulu dikenal sebagai penghasil besi terbaik di Nusantara.
Saya mengunjungi desa Matano, yang berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Oktober silam. Letaknya berada di pesisir danau. Udaranya sejuk tapi mataharinya menyengat. Saya heran melihat tanah yang hitam di sepanjang jalan utama yang bersisian dengan garis pantai Danau Matano –danau terdalam di Asia Tenggar 509 diatas permukaan laut dan dasarnya berada 80 meter dibawah permukaan laut.
“Itu sisa pembakaran dan peleburan besi,” kata Mahding.
Mahding, berusia 72 tahun, penduduk asli Matano. Tak jauh dari rumahnya, terdapat benteng yang membentang sepanjang 300 meter. Benteng itu terlihat kokoh meski sudah dipenuhi tumbuhan liar. Menurut cerita masyarakat setempat, panjang benteng itu mencapai 500 meter, dibangun dari tumpukan tanah dengan bagian dalamnya diisi batu kapur. Tujuannya untuk menghalau suku-suku yang hendak menyerang Matano.
Menurut Mahding, benteng itu seharusnya mengelilingi kampung yang didiami para pandai besi. “Saya dengar cerita orangtua, ada 99 tempat pandai besi masa itu (di kampung ini). Jadi ramai sekali,” katanya.
Mahding memperlihatkan peninggalan para pandai pandai besi Matano. Ada palu, landasan pukul, tombak, parang, topi perang, piring, dan ceret. Sekarang tak satu pun generasi mereka melanjutkan keahlian mengolah besi. “Ini peninggalan yang lebih muda. Mungkin sebelum ada gerombolan (DI/TII tahun 1950),” katanya.
Pada masa awal, Matano diperintah oleh seseorang yang bergelar Mokole. Mokole Matano memerintah beberapa anak suku dan mendirikan kerajaan kecil. Tapi ketika kerajaan Luwu berkembang pesat pada abad ke-14, Matano menjadi bagian dari federasi. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam wilayah Luwu dinamakan palili –tugasnya membantu, menaati, dan mendukung penuh aturan dan keputusan-keputusan Luwu.
Matano memiliki sumber daya alamnya yang kaya besi dan nikel dan membuatnya menjadi rebutan. Adalah tetangganya sendiri di bagian timur, To Bungku atau orang Bungku, yang juga dikenal sebagai penambang dan pelebur biji besi kendati tak sebaik orang Matano. Mereka selalu terlibat perang dan keberadaan benteng itulah yang jadi penandanya.
Orang Matano mengolah besi dengan sederhana. Mereka memilah batu yang dianggap punya kandungan nikel yang baik, biasanya berwarna hitam pekat. Lalu diangkut ke tempat peleburan dan dibakar. Untuk meleburnya, mereka menggunakan tungku tanah dan bambu sebagai pengganti pipa. Mereka juga memakai bambu yang berfungsi sebagai tabung pompa untuk menghidupkan dan menjaga api tetap menyala dalam tungku. Bagian dalam bambu dihaluskan dengan cermat lalu dimasuki kayu sebagai tuas (mirip pompa zaman sekarang). Pada ujung kayu itu dibuat bulatan dan melapisinya dengan bulu ayam, agar dinding bambu bagian dalam rapat dan menghasilkan dorongan angin yang berhembus cepat.
Dari produksi itu, kerajaan Luwu menjadi penghasil besi dengan kualitas terbaik. Di Nusantara besi itu disebut Pamoro Luwu. Namun karena Matano tak memiliki teknologi, mereka hanya menyediakan bahan baku. Bahan-bahan itu dibawa ke Ussu, ibukota kerajaan Luwu, dan ditukarkan dengan kain dan barang kebutuhan lainnya. Orang-orang Ussu-lah yang menempa ulang besi itu menjadi parang, pedang, hingga badik dan keris. Kelak dalam sejarah panjang kerajaan Luwu hingga dalam teks I La Galigo, dikenallah istilah Bessi to Ussu –besi orang Ussu atau juga bessi Luwu.
Laporan arkeologis dari proyek OXIS yang dilakukan Iwan Sumantri (arkeolog Universitas Hasanuddin), David F Bullbeck (dari Australian National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional) tahun 1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu, menjelaskan bahwa Luwu menjadi populer karena memiliki akses besi yang mengandung nikel di Matano, biji besi di Bungku, dan emas di Sulawesi Tengah. Proyek OXIS, akronim dari Origin of Complex Society in South Sulawesi, menggabungkan metodologi dari bidang penelitian sejarah dan arkeologi (dan kemudian antropologi sosial) untuk mempelajari munculnya kerajaan agraris di semenanjung barat daya pulau Sulawesi.
Ussu, pada abad ke-14, merupakan pusat pemerintahan kerajaan Luwu. Dalam teks I La Galigo, Ussu menempati posisi istimewa karena magisnya dan merupakan “pusat nyata” Luwu. Ussu berada di kaki bukit, tempat Sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi Sungai Malili. Menelusuri Sungai Ussu di pesisir timurnya, Anda akan menemukan wilayah pandai besi Matano. Pada masa itu, jarak tempuh melalui darat dengan berjalan kaki hanya tiga hari. Penduduk Matano, selain menghasilkan besi dengan kandungan nikel terbaik, juga mengekspor tembaga dalam skala lebih kecil.
Menurut Iwan Sumantri, besi Luwu populer karena adanya kandungan nikel yang membuat kualitas besi lebih ringan dengan titik didih yang rendah. Pada abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-15, Luwu mengekspor besi itu ke Majapahit. Dalam teks Negarakertagama juga disebutkan demikian. Majapahit sedang gencar memperluas daerah kekuasannya, “Dan tentu di saat yang sama mereka membutuhkan besi secara besar-besaran untuk membuat peralatan senjata,” kata Iwan.
Ketika volume perdagangan semakin tinggi, Luwu memindahkan pusat kerajaan ke wilayah Malangke. Di sini perdagangan berkembang bukan hanya sebatas ekspor besi tapi merambah rotan, damar, dan hasil hutan lainnya. Namun, pada abad ke-16, perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur membuat pamor Luwu mulai menurun. Majapahit sebagai sekutu terbaik juga mulai redup.
“Rempah-rempah menjadi primadona. Tak ada lagi permintaan besi,” kata Edwar Poelinggomang, sejarawan Universitas Hasanudin.
Menurut Edwar, menghilangnya Luwu dalam percaturan perdagangan Nusantara dimulai pada 1559 saat VOC memusatkan perdagangan ke Indonesia Timur dan memilih Makassar sebagai pelabuhan utama. Luwu yang berlokasi di perairan Teluk Bone menjadi kesepian. Tak ada aktivitas. Warga pendatang seperti Bugis pun hengkang. Abad ke-16 pusat kerajaan Luwu pindah ke Palopo (sekarang Kotamadya Palopo) hingga akhirnya Luwu menghilang dan tak terdengar lagi.
Kini Luwu menjadi kerajaan paling misterius di Sulawesi Selatan. Tak ada peninggalan kerajaannya. Kebesarannya hanya bisa diraba-raba. Sementara Matano bahkan tak tercatat sebagai situs sejarah yang harus dilindungi pemerintah daerah. “Matano akan hilang seperti pandai besinya,” kata Iwan Sumantri. “Dan ini adalah kecelakaan besar bagi generasi kita.” [EKO RUSDIANTO. www.majalah-historia.com]
0 comments:
Posting Komentar