Di Lingkungan Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, saya tinggal bersama keluarga, ada mama, nenek, dan adik-adik. Udara kampung kami cukup sejuk, di depan dan belakang rumah dipenuhi kebun, dari kakao hingga sayur mayur.
Di depan rumah kami, ada sungai yang lebar. Airnya berarus cepat dan jernih. Tahun 1992 saya masuk sekolah dasar, untuk membolos sekolah sungai menjadi andalannya. Di sungai kami bermain lompatan, membuat bola-bola dari tanah, hingga saling kejaran.
Saya juga senang mencuri kesempatan minum air, ketika menyelam hingga dasar sungai saat bulan puasa. Tentu untuk membuat dahaga terobati, karena airnya sangat dingin seperti dari kulkas. Di sungai sepanjang hari aktifitas selalu ramai, ada ibu-ibu yang mencuci pakaian, cuci piring, membuat sumur-sumur kecil dari tumpukan kerikil yang terbawa arus, hingga tempat rekreasi.
Sumur-sumur kecil digali dengan tangan, sekira 30 sentimeter, airnya sangat jernih. Penduduk di tempat kami, menganggap saringan penjernihan kotoran sudah dibuat oleh lapisan pasir dan kerikil, hingga tak perlu memasak dan langsung bisa diminum.
Meneguk air sungai dari sumur kecil itu, rasanya sangat enak. Tak ada sedikitpun baunya. Padahal sungai kami itu juga menjadi toilet raksasa bagi setiap orang.
Sungai kami punya beragam fungsi, alirannya bahkan digunakan untuk mengairi ratusan hektare sawah. Ada bendungan besar dengan dua buah palang pintu. Setiap menjelang panen, para petani akan bergotong royong menggali mulut permukaan saluran untuk mengeruk lumpur yang sudah mengendap.
Di Kecamatan Suli, meski air sungainya melimpah, petani tak memiliki teknologi baik untuk mengalirkan airnya ke sawah. Setiap musim panen, pembagian air irigasi dari mandor sawah selalu menjadi masalah. Petani bahkan saling mencuri air, membuat lubang-lubang kecil dari pematang sawah. Tak jarang persoalan air menjadi keributan besar.
Di kampung saya, bila musim panen tiba, kalian akan mendapati beberapa petani yang pulang menjelang magrib dengan memacul alat semprot hama dan langsung ke sungai. Di aliran yang deras, sebelum mandi, para petani akan mencuci alat semprotnya. Sisa racunnya akan dibuang ke sungai.
Seperti biasa, kami bahkan mandi di sekitar alat semprot itu. Dan membantu petani.
TAHUN 2002, saya sudah menyelesaikan sekolah di tingkat menengah. Dan melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di Makassar, 340 kilometer dari desa kami.
Pada libur-libur semester saat pulang ke kampung, saya selalu menyempatkan diri mandi di sungai. Tapi airnya sudah mulai tak jernih dan banyak lumut di dasar sungai. Mama saya juga tak pernah lagi meminta saya memanggul jerigen ke sungai untuk mengangkat air. Air sungai diganti air mineral dari galon.
Saya pernah bertanya sama Mama, apakah air galon lebih enak dari air sungai? jawabnya air sungai masih tetap enak. Tapi sekarang orang-orang tak ada lagi yang manggunakan air sungai.
Pada suatu sore, diliburan semester itu, saya berendam dengan tenang. Airnya hangat. Tak ada lagi ibu-ibu yang mencuci pakaian atau piring di pinggiran sungai. Saya merasa kesepian, mandi seorang diri. Sungai menjadi tempat angker bagi saya.
Saya juga berjalan-jalan dialiran air yang dangkal, menjejak batu-batunya. Berulang-ulang saya lakukan, berharap menginjak ikan kanopu. Ikan ini adalah ikan batu yang punya sirip cantik, kalau menginjaknya, dia akan mengeluarkan duri dekat insangnya. Menyentuhnya akan membuat kaki seperti kena sengatan listrik dan sakitnya minta ampun. Untuk menyembuhkan tusukan ikan itu, kami selalu mengencinginya.
Tapi sudah lama saya berjalan ikan itu tak ada lagi. Dia seperti punah.
Perubahan air di sungai kecil saya itu cepat sekali. Hanya butuh waktu 10 tahun, airnya sudah keruh dan sangat kotor. Tak ada lagi udang, ikan, atau biawak yang berenang.
Pada November 2011, saya bertemu dengan Bryan Balebu. Dia direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Empati, yang bergerak di bidang kesehatan di Kecamatan Wasuponda Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Sejak 2010, Bryan melakukan upaya kegiatan pengenalan advokasi menjaga air bersih di Dusun Lasuwali dan Tabarano. Dia meminta pada masyarakat untuk tidak lagi membuang tinja ke sungai. Bayangkan 50 dan 67 kepala keluarga didua tempat itu, hanya 13 dan 20 diantara mereka yang memiliki jamban.
Bryan menjelaskan pada saya, membuang kotoran di sungai atau membersihkan alat pertanian yang mengandung bahan kimia akan merusak ekosistem sungai. Salah satunya, kata dia, adalah hilangnya beberapa biota air, seperti ikan dan udang.
Menurutnya, mengonsumsi air sungai yang tercemar sama saja memakan dan meminum kotoran orang. Dan penjelasan itu membuat saya jijik. Bryan menggunakan metode Community-Led Total Sanitation (CLTS) yang diadopsi dari India. Pendekatan ini dilakukan dengan menginisiasi masyarakat.
Bryan mengajak masyarakat bersama-sama menggambarkan denah rumah dan menandai tempat membuang tinja. Kemudian mereka mencium bau, berdiskusi di lokasi mereka membuang tinja, menghitung jumlah tinja yang dihasilkan, menganalisis siklus kontaminasi, dan memperkirakan jumlah makanan yang dicerna setiap orang per hari.
Dan sekarang, masyarakat menggali lubang-lubang dan membangun jamban sesuai rancangan mereka sendiri. “Dari beberapa titik tempat buang tinja di sungai itu, sekarang sudah steril,” kata Bryan.
SAYA menelepon beberapa anggota keluarga di Kecamatan Suli. Menceritakan kisah Bryan dan masyarakat yang diadvokasinya. Beberapa orang senang. Salah satunya adalah Om saya dan berjanji tak akan membuang tinja dan tak akan membersihkan tabung semprotnya di sungai lagi. “Itu bisa jadi akibatnya. Berapa tahun sungai bisa kembali baik,” katanya. “Perlu beberapa tahun, kan merusak memang gampang,” jawab saya.
“Benar juga itu. Nda pernahmi memang orang mancing dan cari udang di sungai, habismi semua,” lanjutnya. – Sudah tak pernah lagi orang melakukan kegiatan mancing di sungai karena ikan dan udang semua sudah tidak ada.
Dan dia berjanji akan melakukan diskusi dengan kelompok petani dan membawanya ke rapat jumat di masjid setelah salat jumat. (Eko Rusdianto)
Sungai kami punya beragam fungsi, alirannya bahkan digunakan untuk mengairi ratusan hektare sawah. Ada bendungan besar dengan dua buah palang pintu. Setiap menjelang panen, para petani akan bergotong royong menggali mulut permukaan saluran untuk mengeruk lumpur yang sudah mengendap.
Di Kecamatan Suli, meski air sungainya melimpah, petani tak memiliki teknologi baik untuk mengalirkan airnya ke sawah. Setiap musim panen, pembagian air irigasi dari mandor sawah selalu menjadi masalah. Petani bahkan saling mencuri air, membuat lubang-lubang kecil dari pematang sawah. Tak jarang persoalan air menjadi keributan besar.
Di kampung saya, bila musim panen tiba, kalian akan mendapati beberapa petani yang pulang menjelang magrib dengan memacul alat semprot hama dan langsung ke sungai. Di aliran yang deras, sebelum mandi, para petani akan mencuci alat semprotnya. Sisa racunnya akan dibuang ke sungai.
Seperti biasa, kami bahkan mandi di sekitar alat semprot itu. Dan membantu petani.
TAHUN 2002, saya sudah menyelesaikan sekolah di tingkat menengah. Dan melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di Makassar, 340 kilometer dari desa kami.
Pada libur-libur semester saat pulang ke kampung, saya selalu menyempatkan diri mandi di sungai. Tapi airnya sudah mulai tak jernih dan banyak lumut di dasar sungai. Mama saya juga tak pernah lagi meminta saya memanggul jerigen ke sungai untuk mengangkat air. Air sungai diganti air mineral dari galon.
Saya pernah bertanya sama Mama, apakah air galon lebih enak dari air sungai? jawabnya air sungai masih tetap enak. Tapi sekarang orang-orang tak ada lagi yang manggunakan air sungai.
Pada suatu sore, diliburan semester itu, saya berendam dengan tenang. Airnya hangat. Tak ada lagi ibu-ibu yang mencuci pakaian atau piring di pinggiran sungai. Saya merasa kesepian, mandi seorang diri. Sungai menjadi tempat angker bagi saya.
Saya juga berjalan-jalan dialiran air yang dangkal, menjejak batu-batunya. Berulang-ulang saya lakukan, berharap menginjak ikan kanopu. Ikan ini adalah ikan batu yang punya sirip cantik, kalau menginjaknya, dia akan mengeluarkan duri dekat insangnya. Menyentuhnya akan membuat kaki seperti kena sengatan listrik dan sakitnya minta ampun. Untuk menyembuhkan tusukan ikan itu, kami selalu mengencinginya.
Tapi sudah lama saya berjalan ikan itu tak ada lagi. Dia seperti punah.
Perubahan air di sungai kecil saya itu cepat sekali. Hanya butuh waktu 10 tahun, airnya sudah keruh dan sangat kotor. Tak ada lagi udang, ikan, atau biawak yang berenang.
Pada November 2011, saya bertemu dengan Bryan Balebu. Dia direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Empati, yang bergerak di bidang kesehatan di Kecamatan Wasuponda Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Sejak 2010, Bryan melakukan upaya kegiatan pengenalan advokasi menjaga air bersih di Dusun Lasuwali dan Tabarano. Dia meminta pada masyarakat untuk tidak lagi membuang tinja ke sungai. Bayangkan 50 dan 67 kepala keluarga didua tempat itu, hanya 13 dan 20 diantara mereka yang memiliki jamban.
Bryan menjelaskan pada saya, membuang kotoran di sungai atau membersihkan alat pertanian yang mengandung bahan kimia akan merusak ekosistem sungai. Salah satunya, kata dia, adalah hilangnya beberapa biota air, seperti ikan dan udang.
Menurutnya, mengonsumsi air sungai yang tercemar sama saja memakan dan meminum kotoran orang. Dan penjelasan itu membuat saya jijik. Bryan menggunakan metode Community-Led Total Sanitation (CLTS) yang diadopsi dari India. Pendekatan ini dilakukan dengan menginisiasi masyarakat.
Bryan mengajak masyarakat bersama-sama menggambarkan denah rumah dan menandai tempat membuang tinja. Kemudian mereka mencium bau, berdiskusi di lokasi mereka membuang tinja, menghitung jumlah tinja yang dihasilkan, menganalisis siklus kontaminasi, dan memperkirakan jumlah makanan yang dicerna setiap orang per hari.
Dan sekarang, masyarakat menggali lubang-lubang dan membangun jamban sesuai rancangan mereka sendiri. “Dari beberapa titik tempat buang tinja di sungai itu, sekarang sudah steril,” kata Bryan.
SAYA menelepon beberapa anggota keluarga di Kecamatan Suli. Menceritakan kisah Bryan dan masyarakat yang diadvokasinya. Beberapa orang senang. Salah satunya adalah Om saya dan berjanji tak akan membuang tinja dan tak akan membersihkan tabung semprotnya di sungai lagi. “Itu bisa jadi akibatnya. Berapa tahun sungai bisa kembali baik,” katanya. “Perlu beberapa tahun, kan merusak memang gampang,” jawab saya.
“Benar juga itu. Nda pernahmi memang orang mancing dan cari udang di sungai, habismi semua,” lanjutnya. – Sudah tak pernah lagi orang melakukan kegiatan mancing di sungai karena ikan dan udang semua sudah tidak ada.
Dan dia berjanji akan melakukan diskusi dengan kelompok petani dan membawanya ke rapat jumat di masjid setelah salat jumat. (Eko Rusdianto)
0 comments:
Posting Komentar