Saya hanya bisa
mengingat masa kecilku ketika bersekolah di taman kanak-kanak. Itu pun masih
samar-samar. Dan sebelum bersekolah kenangan itu tak ada sama sekali.
Waktu, sekolah di
taman kanak-kanak, saya selalu berangkat dengan seorang sepupu. Namanya Andi
Jauhan. Sekarang sudah bekerja sebagai pelaut dan mengelilingi beberapa negara.
Saya kelas nol besar, dia di nol kecil.
Untuk menjangkau sekolah, saya berjalan kaki sekitar 1 kil0meter. Memutar ke jalan utama Kecamatan Suli, melewati pasar tradisional, dan sebuah jembatan. Saya paling ingat, kalau berjalan dengan Andi selalu mengepakkan kaki hingga telapak menyentuh pantat. Kami selalu tertawa saat melakukannya.
Setiap pagi saya
berangkat sekolah, kadang diantar oleh keluarga dengan kendaraan roda dua, atau
menyewa becak, tapi kebanyakan berjalan. Sebelum berangkat pagi-pagi Mama sudah
menyiapkan kebutuhanku, dari mulai alat tulis, hingga bekal makanan. Saya punya
tempat makanan sendiri. Selalu menggantungnya di dada. Isinya kadang nasi
goreng, roti, atau kerupuk. Ada juga tempat air minumnya.
Teman-teman di
sekolah ada banyak orang. Sekolah kami tepat bersisihan dengan kantor Koramil
Suli. Selalu banyak bapak tentara, saya takut sekali dengan mereka.
Rumah orang tua saya
adalah rumah panggung. Dindingnya tidak begitu rapat. Sekat-sekat kamar
dipisahkan dinding tripleks. Sebagian lantainya dilapisi karpet plastik, sebagian
tidak. Di rumah itu ada dua kamar.
Satu kamar
diperuntukkan bagi keluarga yang datang menginap. Satu kamar lainnya untuk
orang tua saya. Ada juga sebuah ranjang di ruang tamu dan sebuah lagi di bagian
dapur.
Ranjang bagian dapur adalah tempat favorit Nenek, saya selalu tidur
dengannya.
Sumur untuk mandi ada
dibagian belakang rumah. Sementara toilet tak ada. Jadi ketika hendak buang air
besar, mau pagi atau tengah malam harus ke sungai.
Ranjang dapur
berhadapan dengan meja makan. Di sisi lainnya ada dapur masak, menggunakan kayu
bakar. Jika tidur di sore hari dan Mama memasak maka asapnya akan sangat
mengganggu.
SAAT bersekolah di
taman kanak-kanak, meski telah membawa makanan saya juga selalu dibekali uang
jajan. Biasanya Mama memberikan Rp25,-, dan kalau Nenek lagi baik hati bisa
ditambahkan Rp50,-.
Sekolah selalu
membuat saya bahagia. Selalu punya cerita banyak. Ada mainan kayu, ada
perosotan, ada juga ayunan. Waktu sekolah di Taman Kanak-kanak, saya sudah
memiliki dua orang adik. Namanya Iwan, lengkapnya Erwan Suseno dan Tina, nama
lengkapnya Etri Rustina.
Kalau pulang sekolah
dan sudah berganti pakaian, lalu makan, saya suka main di dengan teman-teman.
Biasanya ke sungai, mandi dan berenang. Tapi saya paling benci kalau Mama
meminta saya mengajak adik.
Iwan selalu minta
diajak main. Tapi dia nakal sekali. Selalu mengikuti. Kalau mau berenang, atau
main sembunyi-sembunyi dia selalu mau ikut bergabung. Padahal dia belum bisa
apa-apa. Kalau saya marah, dia menangis. Kalau sudah demikian, dia akan pulang
melapor ke Mama. Saya tentu akan kena marah.
Iwan waktu itu adalah
punya badan kurus. Beda dengan saya. Menurut cerita keluarga, badan saya waktu
kecil itu gendut. Mata Iwan juga besar, kalau marah minta ampun meredamnya.
Tapi dia selalu rapi, mau pakai pakaian apapun, bajunya akan selalu dimasukkan
ke dalam celanan.
Sementara Tina adalah
perempuan. Saya juga tidak senang ketika hendak main, tiba-tiba dia menangis,
lalu Mama meminta saya mengayunnya. Biasanya dengan keadaan begitu, Mama lagi
melakukan sesuatu, memasak atau menucuci.
Kalau tidak salah
ingat, disuatu siang Tina lahir. Waktu itu saya sedang tidur siang di ranjang
kamar depan. Dan tiba-tiba mendengar suara anak kecil. Ketika melahirkan, Mama
saya dibantu seorang dukun. Namanya Nenek Rippung. Dukun ini juga lah yang
membantu proses kelahiran saya dan Iwan.
KINI kami mulai
tumbuh dewasa. Adik saya bertambah. Bukan hanya Iwan dan Tina, tapi ada juga
Eva Astuti, Mahdian Auliana dan Asti Adelia.
Ketika pada 2007
akhir, saya menyelesaikan kuliah, dan bekerja sebagai jurnalis cetak. Ini
membuat orang tua bangga. Tulisan pertama saya dibaca mereka. Mama dan Bapak
menelpon saya, mereka memberi semangat. “Kau sudah seperti pengarang hebat
sekarang,” katanya.
Dan saya senang
dengan pekerjaan itu. Bertemu banyak orang dan menuliskan kisahnya. Dan untuk
juga ingin menulis kisah keluarga saya. Ingin sekali menjadikannya sebuah
catatan sejarah keluarga.
Mama saya, namanya
Tumini seorang dari Baron, Jawa Timur. Sementara Bapak orang Suli, Luwu.
Menulis pertemuan mereka saja, sampai kami lahir adalah hal luar biasa, dan
perjalanan yang panjang. Tentu ada banyak kisah.
Lalu pada 2008, Iwan
juga sudah menyelasaikan pendidikannya. Dia tak ingin kuliah, memilih Balai
Taihan Kerja Indonesia (BLKI) Makassar, kemudian mengikuti jejak Bapak,
bekerja sebagai pelaut di kapal-kapal besar luar negeri. Pekerjaan utamanya
juga sama dengan Bapak, tukang las. Kami sekeluarga senang mendengar ceritanya
jika pulang kampung. Masa kerjanya 9 hingga 15 bulan. Isitrahat di darat selama
3-5 bulan. Kemudian berlayar lagi.
Kemudian beberapa
tahun kemudian, Tina juga menyelesaikan kuliahnya. Saat ini menjadi tenaga
medis di Puskesmas Wasuponda, Luwu Timur. Kemudian Eva masih kuliah di
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Medi masih menempuh pendidikannya
di Sekolah Menengah Umum (SMU) Belopa, dan Asti masih kelas lima Sekolah
Dasar di Suli.
Iwan lebih cepat bekerja dibanding saya. Dia lah yang membantu keuangan keluarga, membiayai sekolah aik-adiknya, termasuk saya yang masih kuliah pada masa itu. Tapi perlahan-lahan saya, Iwan, dan Tina pun bekerja. Kini saya senang melihat keadaan itu. Saling membantu dan mengingatkan.
Dan cerita kami akan
terus melaju, terus tumbuh, sampai kami saling terpisah. Dan sampai saya
bertahan menulisnya.
0 comments:
Posting Komentar