Usia Sabaruddin lebih dari 70 tahun. Kepastiannya dia tak bisa menentukan. Tak ada catatan mengenai kelahirannya. Tapi penggalan kisahnya terekam cukup baik di kepalanya.
Sabaruddin tinggal di daerah Patea –sekarang kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur. Patea oleh warga Sorowako dikenal sebagai perlintasan menuju tempat pemakaman umum. Patea berdekatan dengan lapangan tempat perkemahan, lapangan belajar mengemudi dan lapangan Golf perusahaan PT Vale Indonesia.
Saya bertemu dengannya ketika mengunjungi Patea, pada sebuah sore Minggu 11 Maret 2012. Dia memakai kaos pembagian kampanye yang jelek bertulis PKS (Partai Keadilan Sejahtera). “Kenapa pakai baju partai,” kata saya. “Ini kan waktu ada pemilihan itu, waktu pemilu. Jadi orang bagi-bagikan jadi saya ambil, kan tidak apa-apa,” jawabnya.
Sabaruddin bermukim di Patea bersama sejumlah warga lainnya. Nama suku mereka adalah Dongi. Dalam bahasa mereka Dongi adalah sebuah tanaman liar yang banyak tumbuh di hutan-hutan Sulawesi Selatan, khususnya wilayah Luwu.
Buah Dongi, ketika matang bentuknya sangat menggoda. Warnanya orange, seperti buah jeruk. Sungguh menggugah selera. Tapi rasa buah Dongi sedikit asam. Pada masa lalu, kebiasaan masyarakat menggunakan buah Dongi untuk pengasam makanan.
Seiring perkembangan oleh seorang anak muda, buah ini diubah menjadi minuman yang memikat. Jus Dengen. Dengen adalah bahasa lain dari buah Dongi. Dengen dilafaskan oleh orang Bugis dan Toraja.
Sabaruddin pada tahun 1950-an sudah mulai besar. Dia sudah mampu bermain-main, mengingat nama orang dan kejadian. Pada 1950 hingga 1965 di Sulawesi Selatan, situasi ini merupakan masa suram karena ada pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Beberapa daerah mendapat tekanan, khususnya penganut kepercayaan selain Islam.
Dongi termasuk yang mendapat tekanan. Sabaruddin termasuk orang yang merasakannya. Pada masa itu keluarganya harus mengungsi ke daerah pedalaman di pesisir danau Touwuti. Menjelang tahun 1970 baru kemudian kembali ke tanah Dongi. Tanah kelahiran yang dicintainya.
Pada masa pengungsian, penduduk penganut kepercayaan selain muslim dipaksakan memeluk agama yang dibawa pergerakan DI/TII. Pada 1958, Sabaruddin pertama kali belajar membaca al-quran. Dia menamatkan baca al-quran tiga kali.
Sabaruddin seorang nasrani. Leluhurnya menganut kepercayaan Melahomoa. Dia dan keluarganya tak pernah sedikit pun tergerak hatinya untuk berpindah kepercayaan. Tapi situasi masa itu membuatnya mengambil sikap, bukan untuk menjadi muslim tapi untuk menyelamatkan jiwa.
Di depan rumahnya yang kecil, dia melafaskan surah Al-Fil. Dia membaca dengan begitu baik hingga aturan-aturannya. Setelah Al-Fil, lafas lainnya adalah Al-Quraish. “Seperti itu, kalau mau diartikan La Qum Dinukul Wal Yadin. Itu kan bagiku agamaku, bagimu agamaku,” katanya.
“Jadi seharusnya harus saling menghargai. Bukan saling memaksakan seperti masa itu,” kata Sabaruddin.
“Jangankan surah pendek, ayat-ayat dalam Al-Baqarah itu beberapa masih saya tahu,” katanya.
Dia menjelaskan sama saya, bila Al-Baqarah itu mengenai cerita dan sejarah ke-Islaman yang baik. Dia bilang banyak cerita dan toleransi didalamnya.
Thomas Gibson, dalam Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara, juga menjelaskan peranan pemimpin-pemimpin yang menggunakan kekuatan islam. Penggambaran pergolakan DI/TII pun tak luput dari bidikannya. Dia merekam penyerangan bagi komunitas adat Kajang di Bulukumba hingga pelarangan aktifitas para Bissu.
Tapi disisi lain, komunitas adat Cerekang tak tersentuh oleh pasukan Kahar Muzakkar. Menurut Gibson, ini salah satu hal yang aneh. Atau karena masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kahar dan pasukannya.
Tapi apapun itu, menurut saya pemaksaan bukan lah jalan tepat. “Kalau melihat di lapangan dan yang terjadi itu, tidak sesuai dengan yang kami pelajari di Al-quran,” kata Sabaruddin.
Husen termasuk keluarga Sabaruddin. Husen lebih mudah dari Sabaruddin. Pada masa pergolakan usianya sekitar 12 tahun. “Kalau tidak salah kami tinggalkan kampung Dongi ini, pada saat padi akan panen. Kami mengungsi ke Malili, setelah itu ke Wotu,” katanya.
Menurut Husen, keluarga mereka harus terpaksa meninggalkan semua hasil ladang. Namun ketika berada di Malili, tak ada persiapan makanan, karena semua ditinggal di Dongi. Untuk itu, orang tuanya pada sebuah malam, melakukan perjalanan dengan jalan kaki, sembunyi-sembunyi dan mengendap-ngendap kembali ke Dongi, memanen padi. “Kalau ketahuan, orang tua saya mengambil jalur pegunungan yang panjang, untuk menghindari pasukan DI/TII,” ujarnya.
Pada satu hari, ketika keluarga Husen sedang makan bersama, adiknya yang bungsu menyusu pada Ibunya. Saat itu, tiba-tiba Ibunya meninggal dunia. “Itu tidak tahu apa sebabnya. Adik saya itu masih digendongan. Mungkin karena stres dan trauma. Kami menangis semua itu,” lanjutnya. “Kuburan ibu saya itu ada di Malili, namanya daerah Malaulu.” (Eko Rusdianto)
Sabaruddin bermukim di Patea bersama sejumlah warga lainnya. Nama suku mereka adalah Dongi. Dalam bahasa mereka Dongi adalah sebuah tanaman liar yang banyak tumbuh di hutan-hutan Sulawesi Selatan, khususnya wilayah Luwu.
Buah Dongi, ketika matang bentuknya sangat menggoda. Warnanya orange, seperti buah jeruk. Sungguh menggugah selera. Tapi rasa buah Dongi sedikit asam. Pada masa lalu, kebiasaan masyarakat menggunakan buah Dongi untuk pengasam makanan.
Seiring perkembangan oleh seorang anak muda, buah ini diubah menjadi minuman yang memikat. Jus Dengen. Dengen adalah bahasa lain dari buah Dongi. Dengen dilafaskan oleh orang Bugis dan Toraja.
Sabaruddin pada tahun 1950-an sudah mulai besar. Dia sudah mampu bermain-main, mengingat nama orang dan kejadian. Pada 1950 hingga 1965 di Sulawesi Selatan, situasi ini merupakan masa suram karena ada pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Beberapa daerah mendapat tekanan, khususnya penganut kepercayaan selain Islam.
Dongi termasuk yang mendapat tekanan. Sabaruddin termasuk orang yang merasakannya. Pada masa itu keluarganya harus mengungsi ke daerah pedalaman di pesisir danau Touwuti. Menjelang tahun 1970 baru kemudian kembali ke tanah Dongi. Tanah kelahiran yang dicintainya.
Pada masa pengungsian, penduduk penganut kepercayaan selain muslim dipaksakan memeluk agama yang dibawa pergerakan DI/TII. Pada 1958, Sabaruddin pertama kali belajar membaca al-quran. Dia menamatkan baca al-quran tiga kali.
Sabaruddin seorang nasrani. Leluhurnya menganut kepercayaan Melahomoa. Dia dan keluarganya tak pernah sedikit pun tergerak hatinya untuk berpindah kepercayaan. Tapi situasi masa itu membuatnya mengambil sikap, bukan untuk menjadi muslim tapi untuk menyelamatkan jiwa.
Di depan rumahnya yang kecil, dia melafaskan surah Al-Fil. Dia membaca dengan begitu baik hingga aturan-aturannya. Setelah Al-Fil, lafas lainnya adalah Al-Quraish. “Seperti itu, kalau mau diartikan La Qum Dinukul Wal Yadin. Itu kan bagiku agamaku, bagimu agamaku,” katanya.
“Jadi seharusnya harus saling menghargai. Bukan saling memaksakan seperti masa itu,” kata Sabaruddin.
“Jangankan surah pendek, ayat-ayat dalam Al-Baqarah itu beberapa masih saya tahu,” katanya.
Dia menjelaskan sama saya, bila Al-Baqarah itu mengenai cerita dan sejarah ke-Islaman yang baik. Dia bilang banyak cerita dan toleransi didalamnya.
Thomas Gibson, dalam Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara, juga menjelaskan peranan pemimpin-pemimpin yang menggunakan kekuatan islam. Penggambaran pergolakan DI/TII pun tak luput dari bidikannya. Dia merekam penyerangan bagi komunitas adat Kajang di Bulukumba hingga pelarangan aktifitas para Bissu.
Tapi disisi lain, komunitas adat Cerekang tak tersentuh oleh pasukan Kahar Muzakkar. Menurut Gibson, ini salah satu hal yang aneh. Atau karena masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kahar dan pasukannya.
Tapi apapun itu, menurut saya pemaksaan bukan lah jalan tepat. “Kalau melihat di lapangan dan yang terjadi itu, tidak sesuai dengan yang kami pelajari di Al-quran,” kata Sabaruddin.
Husen termasuk keluarga Sabaruddin. Husen lebih mudah dari Sabaruddin. Pada masa pergolakan usianya sekitar 12 tahun. “Kalau tidak salah kami tinggalkan kampung Dongi ini, pada saat padi akan panen. Kami mengungsi ke Malili, setelah itu ke Wotu,” katanya.
Menurut Husen, keluarga mereka harus terpaksa meninggalkan semua hasil ladang. Namun ketika berada di Malili, tak ada persiapan makanan, karena semua ditinggal di Dongi. Untuk itu, orang tuanya pada sebuah malam, melakukan perjalanan dengan jalan kaki, sembunyi-sembunyi dan mengendap-ngendap kembali ke Dongi, memanen padi. “Kalau ketahuan, orang tua saya mengambil jalur pegunungan yang panjang, untuk menghindari pasukan DI/TII,” ujarnya.
Pada satu hari, ketika keluarga Husen sedang makan bersama, adiknya yang bungsu menyusu pada Ibunya. Saat itu, tiba-tiba Ibunya meninggal dunia. “Itu tidak tahu apa sebabnya. Adik saya itu masih digendongan. Mungkin karena stres dan trauma. Kami menangis semua itu,” lanjutnya. “Kuburan ibu saya itu ada di Malili, namanya daerah Malaulu.” (Eko Rusdianto)
Masih banyak Sabaruddin lain yang bisa didengar kisahnya, dan untuk itu pak Eko bisa jadi Doktor........
BalasHapus