Kapan produk
kebudayaan itu mulai kehilangan nilai? Saya kira, ketika sudah mengikuti agenda
pariwisata yang disusun pemerintah.
Pada 10 Oktober 2010, ketika warga Makassar disibukkan untuk
menyambut ulang tahun kota Anging Mamiri yang ke 403 tahun, di anjungan pantai
losari ada peragaan tarian kolosal. Dilakukan oleh ratusan perempuan, bergerak
gemulai di atas perahu bercadik kecil.
Tari Pakkarena dilakukan di atas perahu itu.
Orang-orang melihatnya dengan antusias. Ada yang berdecak
kagum, ada juga yang mencibir. Saya termasuk yang kurang puas. Bukan karena
apa, tarian yang seharusnya menjadi identitas masyarakat Makassar dilakukan
seadanya. Nilai sakralnya seperti ditelan gelombang Losari. Tak ada yang
menawan.
Pakkarena adalah tarian spiritual. Menyimbolkan beragam
tafsir. Gerakannya gemulai dan begitu halus. Saya ingat almarhum Mak Coppong menjadi
buah bibir karena kekuatan geraknya saat memainkan Pakkarena. Tarian itu,
menjadi perwujudan kesabaran perempuan di masyarakat Bugis dan Makassar. Ketika
hentakan gendang dan pui-pui bermain dengan
tempo cepat, gerakan Pakkarena malah semakin lembut. Tarian itu penuh kesajahan
dan kesederhanaan. Dia membutuhkan kekuatan, daya magic penari dan kerendahan hati.
Gerakkan Pakkarena dilakukan dengan otot-otot yang kencang,
kuat, tapi lembut. Setiap jengkal tubuh si penari tak boleh ada yang lurus. Semua
dibengkokan. Berdiri pun penari tak tegak. Pakkarena pun bisa digelar tanpa
batas waktu. Dia bisa sejam, sehari, semalam, atau semampu penarinya. Dia seperti
Tari Saman di Aceh yang bisa dilakukan semampu penarinya.
Di anjungan Losari itu, saya melihat gerak yang asal. Tak
teratur, penarinya beberapa tertawa. Beberapa saling tegur. Ada juga yang kipasnya
membengkok kiri kanan. Bahkan lentikan tangannya melewati kepala sebagai simbol
martabatnya.
Dahulu kala, Pakkarena tak dilakukan di panggung. Apa lagi
di atas perahu. Pakkarena digelar di atas tanah, di atas pijakan bumi. Pergerakan
setiap penari harus berpindah dengan cara menggeser kaki, telapak kaki tidak
boleh terangkat. Penari dan bumi tak boleh terpisah, harus tetap menyatu.
Setelah pertunjukan tari itu selesai, Walikota Makassar,
Ilham Arief Sirajuddin memberikan sambutannya dengan semangat. Dia bertekat membuat
agenda wisata untuk perhelatan Pakkarena semacam itu. Dia bangga dengan
kebudayaan dan tradisi yang dimiliki Makassar.
Rambu Solo di Siguntu, Toraja Desember 2011. |
Tak hanya Walikota Makassar, Gubernur Sulawesi Selatan
Syahrul yasin Limpo, lebih dahulu membuat agenda wisata Lovely December di Tana Toraja. Pemerintah Sulawesi Selatan, seolah
menjadi Event Organizer, dan mengatur
semua acara adat di Tana Toraja. Alasannya, untuk menyelamatkan pariwisata di
Sulsel, karena beberapa tahun belakangan kunjungan wisata ke Tana Toraja mulai
turun.
Jadilah kembali Toraja bergeliat ketika Desember tiba. Hotel-hotel
dan penginapan menjadi ramai. Untuk itu pengunjung akan mencari tempat penginapan
jauh hari sebelum memasuki Desember. Saya sudah dua tahun berturut-turut
mengunjungi Lovely December itu. Acaranya
tak ubah seremonial belaka, kontingen-kontingen desa memamerkan kesenian yang
mereka senangi, lalu berjalan melewati panggung kehormatan Gubernur.
Acara-acara kematian – rambu
solo – yang menjadi ciri khas Toraja, digelar pada Desember. Cara pikir beberapa
orang Toraja pun mulai berubah. Ketika di daerah Rante Pao, saya bertemu dengan
seorang tua yang melakukan hajatan Rambu
Solo, menghabiskan duit miliyaran rupiah dan menyembelih ratusan binatang. Mereka
berasal dari keluarga yang mampu.
Seharusnya pesta Rambu
Solo mereka digelar jauh sebelum Desember tiba. Tapi beberapa keluarga dan aparat
pemerintah meminta pesta itu digelar pada Desember. Selain meramaikan agenda
pemerintah, keluarga itu juga diiming-iming akan diliput media. Ajang pamer pun
tak dapat terhindarkan.
DI TEMPAT terpisah, pada April 2012, ketika pemerintah Kabupaten
Luwu Utara, menggelar hajatan festival Internasional I La Galigo, mengundang
beberapa raja se-nusantara dan kalangan pejabat, desa kecil Pattimang dirias sedemikian
rupa.
Sisi jalannya, dihias walasuji
– dari ayaman bambu – berdiri berjejer seperti menyerupai pagar pembatas. Walasuji di cat dengan warna kuning, saya
tahu hal itu untuk menunaikan tradisi yang salah. Pada masa kejayaan kerajaan
Luwu di Pattimang, untuk perhelatan kerajaan, walasuji menggunakan bambu kuning yang kokoh, sementara pada masyarakat
biasa menggunakan bambu hijau. Kuning melambangkan keturunan dewata’e.
Tapi apa yang dipertontonkan di Pattimang itu, hanya untuk
mengelabui orang. Bambunya menggunakan yang hijau. Saya bertanya, pada seorang
budayawan Luwu, Anthon Andi Pangeran, tentang kejadian kecil semacam itu. Dia hanya
tersenyum, lalu mengatakan bila hal tersebut memang sangat keliru.
Bukan hanya itu, kejadian semacam itu ada begitu banyak. Hampir
terjadi setiap saat. Produk kebudayaan yang seharusnya dilakukan saat tertentu,
dikarbit untuk digelar tidak pada saatnya.
Memang ada juga keuntungan dari praktek semacam itu. Misalnya
di Toraja, pengrajin kain, pengrajin pernik-pernik etnik bergeliat. Tapi itu
hanya bagian kecil, tetap saja yang meraup keuntungan selangit adalah orang-orang
tertentu. Hotel-hotel dibangun, tapi merupakan jaringan nasional bahkan
internasional. Penginapan-penginapan kecil tak akan berkembang menjadi raksasa
seperti hotel Sahid, Marannu, atau pun Hiltra.
Sekarang marilah berpikir, tentang nilai tradisi kita. Apakah
dengan pariwisata semua menjadi lebih baik. Apakah dengan agenda pariwisata
yang mengiklankan identitas kita, sebagai sebuah masyarakat yang unik dan
tradisional dapat diterima?
Apakah benar masyarakat Toraja yang menganut kepercayaan
Aluk Todolo (Aluk Toyolo), atau masyarakat Kajang yang tidak menggunakan alas
kaki, masyarakat Cerekang dengan kepercayaan I La Galigo, Masyarakat Tolotang, atau
juga To Balo adalah primitif?
Saya kira, setiap masyarakat memiliki tradisi masing-masing.
Tak ada yang berhak mengatakan mereka primitif dan tradisional layaknya
iklan-iklan pariwisata yang hanya berfokus pada bisnis keuntungan.
Biarlah produk kebudayaan kita melakukannya sesuai nilai dan
tadisi masyarakatnya. Biarlah mereka tetap lestari dengan keadaan sebenarnya. Biarlah
para wisatawan dan pelancong itu yang mengikuti agenda kebudayaan, bukan
masyarakat kita yang mengikuti kemauan para wisatawan.
hemm dari dulu memang pariwisata terutama wisata budaya pasti tidak lagi original kalau sudan dimasuki yang namanya komersialisasi pariwisata, btw tulisannya menarik, salam kenal :)
BalasHapus