Ini seperti pergumulan pemikiran saya. Diantara
sekian banyak orang, pertanyaan ini mungkin pernah hinggap, atau bahkan
menempel berhari-hari hingga berlama-lama. Tapi saya membawanya hingga sekarang.
Siapakah Saya?
Siapakah Saya?
Pada sebuah perjumpaan, saya menemukan cerita
tentang Ahmad Wahib sementara jauh sebelumnya sudah berkenalan dengan Soe Hok Gie. Mereka
berdua membuat saya cemburu, anak muda yang menelorkan pemikiran-pemikirannya dan
gagasan-gagasannya dengan begitu manis melalui tulisan. Sayangnya mereka
meninggal begitu cepat.
Saya membaca Gie dan Wahib begitu pelan-pelan. Mencermati kisah
dan ulasan-ulasannya. Mereka benar-benar menjadi peristiwa dan cerdik pandai
untuk dirinya sendiri. Kemudian dengan malu-malu saya melihat ke diri saya
sendiri. Ada banyak pertanyaan, lalu membuat kritik pada diri saya dan terasa
lampau benar ketinggalan.
foto oleh; Paulus Tandi Bone |
PERTENGAHAN tahun 2008 saya belajar menjadi seorang wartawan.
Liputan pertama saya adalah rombongan kepala desa dari Aceh yang menuntut
pemekaran provinsi ALA-ABAS di Jakarta. Ada ratusan kepala desa yang datang,
nginap di asrama haji Jakarta. Saya menemui mereka di tempat itu, memperkenalkan
diri dan menjelaskan kedatangan.
Beberapa diantara mereka menanyakan identitas lengkap. Saya mejelaskannya
dengan baik. Mereka juga menanyakan kepercayaan yang saya anut. Saya bilang
apakah itu perlu, dan beberapa diantara mereka terdiam dan mulai ragu bercerita.
Saya mafhum, lalu pada sebuah sore saya ikut mereka
menunaikan salat magrib. Dan ajaib, beberapa kepala desa yang tadinya enggan
bercerita, kembali akrab. Menawarkan saya kopi bahkan rokok.
Adegan itu begitu membekas di kepala, bahkan ketika mereka tahu
saya berdarah Bugis, mereka langsung punya cerita lebih. Hal ini tentu
memuluskan jalan saya mewawancara dan menuliskan kisah-kisah mereka.
Tapi lama berselang, pertanyaan-pertanyaan seperti menjadi
menggelikan lagi. Pertengahan tahun 2009 saya kembali ke Makassar. Menjadi wartawan
dan mulai lebih banyak melakukan perjalanan. Saya menemukan cerita dan kisah
yang berlainan. Ada yang sedih dan ada yang menyenangkan.
Hingga pada akhirnya, saya tertarik menulis kisah tentang
Kahar Muzakkar (pergolakan DI/TII) yang hingga sekarang belum kelar-kelar. Saya
menelusuri orang-orang yang masih hidup dan dengan sabar mendengar ceritanya.
Lalu tiba-tiba saya merinding mendengar penggalan peristiwa-peristiwa
masa itu. Ada banyak nyawa yang hilang saat pergolakan terjadi. Membunuh orang menjadi
tidak begitu sulit dan bahkan menjadi hal lumrah. Banyak yang bilang pada saya,
bila menghabisi orang yang berhaluan komunis itu sah, karena termasuk kafir.
Lalu apakah saya komunis? Apakah muslim yang baik adalah
yang melawan segala macam aliran yang dianggap kafir? Siapakah yang menentukan
kafirnya seseorang? Dibenarkan kah seseorang membunuh dengan alasan karena
perbedaan keyakinan?
Dan sejak pertanyaan-pertanyaan itu muncul, saya katakan,
bila saya bukanlah bagian dari mereka. Bukan seperti mereka dan tidak akan
seperti mereka.
Saya sudah menjadi reporter “kacangan” di sindikasi berita
PANTAU, saat Ahmadiyah dinyatakan sesat oleh beberapa orang. Yang sebelumnya ada
aliran Lia Eden dan beberapa lainnya. Ramai benar orang mengempurnya, bahkan
ada yang masjidnya dibakar. Mereka dihina seperti budak-budak yang tak memiliki
majikan. Di buru, dan bahkan dilempari. Orang-orang menjadi trauma dan
anak-anak menjadi ketakutan. Organisasi-organisasi
masyarakat yang membawa nama agama muncul bagai pahlawan.
Masing-masing organisasi itu mensahikan kebenaran yang
mereka bawa. Mereka menggombor-gomborkan di media dan jalanan. Bagi saya mereka
tak ubahnya seorang pengamen, dengan lagu-lagu, nada dan syair yang tak beres.
Saya lalu merasa beruntung saat kuliah tak masuk
organisasi-organisasi yang memiliki haluan tertentu, seperti HMI, PMII, GMNI,
dan bahkan organisasi kedaerahan. Saya hanya bergabung dengan unit kegiatan
mahasiswa untuk teater. Bagi saya, bergabung dengan organiasi-organisasi
tertentu hanya akan membatasi ruang gerak kelak kemudian hari.
Dan jika seandainya Wahib masih hidup sekarang, saya akan menanyakan
padangannya tentang organisasi HMI yang pernah dibelanya masa itu. Bagaimana dia
melihat adik-adiknya saat ini. Di Makassar, saya punya bayak teman dari HMI, mereka
cakap-cakap tapi sayang begitu prgamatis.
Baru-baru ini, seorang kader HMI akan mencalonkan diri
sebagai kandidat kepala daerah. Kawan saya sebenarnya tak menyenanginya, dia
tak sepaham dan menilai pemikirannya sangat dangkal. Tapi kawan saya tetap
membantunya. “Bagaimana pun dia adalah senior saya di HMI,” katanya.
DAN terlepas dari itu, saya saya kemudian menemukan jalan lain,
lalu tertarik dengan dunia sejarah. Di Majalah GATRA liputan-liputan saya lebih
banyak mengenai sejarah dan budaya. Saya menyenangi kajian ilmu ini dan merasa
menemukan kehangatan disetiap rincinya.
Lepas dari GATRA akhirnya, saya menulis untuk Majalah
Historia. Saya benar-benar menulis persoalan-persoalan sejarah. Saya bertemu
orang-orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan leluhur. Menemui komunitas yang
masih melakukan ritual-ritual yang dianggap kolot sebagian orang. Saya juga
belajar melihat gerakan-gerakan tari tradisional sebagai sebuah ritual.
Karena keseringan hilir mudik menemui beberapa penutur dan
penjaga tradisi-tradisi itu, seorang kawan tiba-tiba bilang pada saya: kau
harus hati-hati, menulis budaya memang penting. Tapi jangan sampai masuk
kedalamnya karena itu mendekati kafir dan syirik.
Saya tertegun lama mendengar ucapan itu. Saya juga tak
mendebat kawan itu karena hanya akan membuat semua jadi rumit. Saya hanya
mengasihani jalan pikirannya yang sempit, kaku dan seperti itulah yang seharusnya
dinamakan kolot.
koreksi, kak.. itu PMI atau PMII yah?
BalasHapussenang membaca tulisan anda. saya mengagumi orang2 yang menghargai sejarah dan tradisi :)
Terima kasi Novi: Benar bukan PMI tapi PMII..
BalasHapusbagusss :)
BalasHapusUlasan yang sungguh luar biasa, sejarah dan kebudayaan begitu penting ketika kita melihat dua hal terebut merupakan salah satu bentuk ciri khas sekaligus identitas dari sebuah komunitas tertentu yang kemudian kita sebut sebagai Indonesia.
BalasHapusyah, tak dapat dipungkiri ketika kebudyaan dan sejarah menjadi suatu hal yang sangat penting karena seiring dengan berjalannya waktu sejarah hanya tinggal sejarah yang hanya tertulis dalam buku sejarah tanpa dipahami apa maknanya, kebudayaan hanya dianggap sebagai cara-cara kuno yang sudah ketinggalan zaman. itulah hal yang sangat memperihatinkan. mudah-mudahan kita bisa menjadi generasi yang selalu melihat sejarah dan bangga akan budaya kita.
Hi Aspirasi: Terima kasih sudah menjenguk bilik kecil ini. Semoga bermanfaat..
BalasHapus