Lukisan Opu Daeng Risaju oleh Musly Anwar |
Aku mengenal namamu pertama
kali sebagai nama sebuah lapangan sepakbola di Belopa, Kabupaten Luwu.
Opu Daeng Risaju begitulah engkau disapa. Meskipun kau punya nama asli
Famajjah. Aku tentu tak pernah melihatmu, karena kau lahir tahun 1880, sementara
aku jauh sekali dibawahmu tahun 1984. Tak ada catatan mengenai bulan dan hari
kelahiranmu. Orang-orang di daerah kelahiranmu pun tak pernah membicarakanmu. Siapa
kau sebenarnya?
Sejarawan Universitas Hasanuddin Makassar, Edwar Poelinggomang, bilang kau adalah perempuan pejuang. Kau adalah seorang cendekiawan dari tanah Luwu. Kau melebihi kebiasaan perempuan-perempuan pada umumnya. Mungkinkah kau adalah titisan Colliq Pujie, seorang cendekia dari Barru yang membantu Matthes menuliskan epik I La Galigo.
Sejarawan Universitas Hasanuddin Makassar, Edwar Poelinggomang, bilang kau adalah perempuan pejuang. Kau adalah seorang cendekiawan dari tanah Luwu. Kau melebihi kebiasaan perempuan-perempuan pada umumnya. Mungkinkah kau adalah titisan Colliq Pujie, seorang cendekia dari Barru yang membantu Matthes menuliskan epik I La Galigo.
Kau lahir dari kalangan bangsawan Luwu. Hari-harimu kau habiskan belajar membaca alquran dan belajar menari untuk menyambut tamu-tamu yang berkunjung ke istana. Kau juga sudah berusia 25 tahun ketika Belanda memasuki Palopo dan membuat sekolah formal. Kau tak bisa baca dan tulis.
Sementara kau hanya dimanjakan melalui ajaran-ajaran agama dari ayahmu
Muhammad Abdullah yang juga seorang ulama. Ibumu, Opu Daeng Mawalle bangsawan
istana yang mengisahkanmu kisah-kisah dan petuah.
Kau kemudian menikah dengan Muhammad Daud dari Bone, pemuda yang
pernah bermukim di Mekkah dan seorang penyebar islam. Kemudian Daud memboyongmu
ke Parepare, kota perdagangan terbesar kedua setelah Makassar di Sulawesi
Selatan. Di tempat itu kau menjadi guru ngaji.
Parepare dibuat oleh kerajaan Sidenreng, yang kemudian hari dikontrak
oleh Inggris dan Belanda. Sebagai kota pelabuhan kedua, Parepare tak begitu
dikontrol, maka bergerombollah orang-orang yang hilir mudik memasukinya.
DAN di kota inilah kau mulai menjelma. Sebab diantara gelombang
orang-orang muncullah Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Kau bersama
suamimu tertarik dan melebur. Aku tahu kau adalah seorang perempuan keras dan
memiliki kemauan yang kuat. Di PSII, kau belajar banyak.
Pengetahuan baru tentang kepartaian dan arah perjuangannya membuatmu
seperti mendapat semangat baru atau pun pamase
yang turun dari dewata’e seperti kisah-kisah dalam epik I La Galgigo. Kau mulai
bergairah.
Pada 14 Januari 1930 kau kembali ke kota kelahiranmu di Palopo, lalu mendirikan Cabang PSII sekaligus menjadi
ketuanya. Dan inilah yang membuatmu mencatatkan sejarah, bila kaulah perempuan pertama
di Nusantara ini yang menjadi pemimpin partai.
Hanya beberapa waktu ketika kau resmi menjadi ketua partai, rencanamu
kau jalankan. Visi dan misi partaimu yang memegang haluan non-koperatif yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari gerakan
rakyat, bukan dari belas kasih pemerintah Belanda.
Pada kongres PSII di tahun yang sama kau juga bertemu seorang tokoh
nasional H. Agus Salim dan A.M. Sangaji. Dari hasil pertemuan itu, kau seperti
mendapatkan suntikan kekuatan. Kau bentuk lagi cabang-cabang PSII, di berbagai
daerah.
Belanda akhirnya gusar juga. Kau kena damprat, dijebloskan ke penjara
Masamba selama 13 bulan. Tapi kau tak gentar. Aku tak tahu apa yang menimbulkan
kekuatanmu hingga memuncak seperti itu.
Sekeluarnya dari penjara, kau mengunjungi Malili dan menuju Sulawesi
Tenggara. Lagi-lagi Belanda mengikutimu, kau tertangkap lagi. Di Kolaka, kau dijebloskan
ke penjara. Lalu dipindahkan ke Palopo dengan tangan diikat dan kaki dirantai.
Seorang panglima perang kerajaan, yang tak lain adalah keluargamu
mengutuk perlakuan orang-orang Belanda. Dia mengancam untuk melepaskan jabatannya
dari istana jika ikatanmu tak dilepas karena dianggapnya sebagai penghinaan dan
aib untuk kalangan bangsawan. Tapi dasar Belanda, selalu punya seribu akal. Konsekuensinya
kau harus menghentikan segala aktifitas kepartaianmu.
Andi Kambo, yang menjabat sebagai Datu Luwu memanggilmu melalui sidang
adat. Dan benar dalam sidang itu, kau diminta menghentikan segala macam aktifitasmu.
Alasannya kau bisa mencederai derajat kaum kebangsawanan kerajan Luwu. Apa kau
tertunduk waktu itu? Aku tak yakin. Aku bisa merasakan bagaimana otot-ototmu
menegang.
“Keluarkanlah darah bangsawan dalam tubuh saya ini sehingga saya dapat
bebas melakukan perjuangan saya,” katamu.
Kau memang perempuan pemberani. Sidang adat itu bubar tak menghasilkan
kesepakatan. Tapi tekanan datang lagi, kini giliran suamimu yang diancam.
Suamimu yang telah melunak pada Belanda, mengancam akan menceraikanmu.
Dan kau masih dengan kepala tegak, menyetujui perceraian itu. Kerajaan
juga bahkan mencabut gelar kebangsawananmu. Tahun 1935 dari Palopo kota
kelahiranmu, kau meninggalkannya menuju Belopa.
Bangunan kerajaan Luwu di kota Palopo. Foto: Eko Rusdianto |
TAHUN 1942 pendudukan fasis Jepang memasuki wilayah Luwu. Pengawasan
terhadapmu semakin ketat. Semua pergerakan dan kegiatanmu dihentikan secara
total. Dan tentu itu membuatmu sangat tersiksa.
Tahun 1945, Jepang menyerah, Belanda melalui sekutunya NICA kembali
menemuimu. Tapi kini kau tak sendirian, bersama Pemuda Republik Indonesia (PRI)
di Belopa, kau melakukan perlawanan, dan mengorganisasi massa. Dua anakmu Abdul
Kadir Daud dan Quraisy Daud ikut pula. Bahkan Quraisy Daud, membacakan teks
proklamasi di sebuah lapangan di Palopo dan mengibarkan bendera Indonesia.
Terang saja, itu menyulut kemarahan pihak NICA. Pada 31 Januari 1946, satu
peleton pasukan menggempur Belopa. Dan pada Februari 1946, kau bersama para
pemuda ditaklukan oleh NICA. Setiap rumah digeledah dan akhirnya menemukanmu. Di
daerah Bajo, kau mengalami penyiksaan dan interogasi yang melelahkan. Kau dipopor
senapan hingga tak bisa lagi mendengar. Kau tuli.
AKHIRNYA 18 tahun kemudian, di bulan yang sama kau ditaklukkan NICA, kau menghembuskan nafas terakhirmu pada 10 Februari 1964 di Palopo. Dan aku hanya mampu
mengenangmu dan membayangkanmu. Meski tak lagi kutahu, dengan cara apa lagi saya
menemukannmu.
Aku menempuh pendidikan SMA di dekat lapangan yang mengabadikan namamu. Sekolah
yang tak pernah kutemui namamu dalam lembaran-lemabaran buku pelajaran. Sekolah
yang tak kutemui menceritakan kisahmu.
Damailah Opu Daeng Risaju, damailah Famajjah. Kau telah menunjukkan
bagaimana seharusnya perempuan bersikap. Kau telah memberiku kisah tentang
ketekunan dan ketabahan.
*catatan ini pernah diikutkan pada lomba blog paling Indonesia, tapi tak juara.
*catatan ini pernah diikutkan pada lomba blog paling Indonesia, tapi tak juara.