Gambar cap tangan di Leang Camming Kanang, Pangkep. |
Gua-gua
di sepanjang Maros dan Pangkep merupakan bukti nyata perdaban manusia di
Sulawesi.
GUGUSAN punggung
pegunungan cadas (karst) di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan,
berderet seperti sebuah permainan puzzle. Letaknya beraturan, membentuk
ceruk, lembah, dan tebing yang curam. Di sana terdapat ratusan gua yang penuh
dengan lukisan cap tangan, lukisan manusia, tinggalan tembikar, alat-alat batu,
kerang-kerang laut, hingga tulang-tulang hewan.
Jumlah gua yang memiliki tinggalan arkeologi
di karst Maros dan Pangkep mencapai ratusan. Gua-gua itu seperti
gua pada umumnya. Ada mulut, ada
dinding, ada langit-langit. Ragam gua pun bervariasi. Ada yang memiliki
kedalaman ratusan meter, ada pula yang menjulang vertikal. Namun gua-gua ini
memiliki daya pikat tersendiri. Ia menjadi gudang ilmu pengetahuan untuk
menentukan perjalanan panjang manusia di Sulawesi dan Nusantara.
Pertengahan Mei lalu, Muhammad Nur, peneliti
prasejarah Universitas Hasanuddin Makassar, mendampingi sekitar 15 mahasiswa
arkeologi Universitas Hasanuddin untuk melakukan ekskavasi di kompleks gua prasejarah
Bellae, yang berada di kecamatan Kecamatan Minasa Te’ne, Pangkep. Setelah
melakukan ekskavasi, mereka berkumpul di salah satu rumah penduduk.
Muhammad Nur tiba-tiba terkesima dengan
sebuah batu yang ukurannya lebih kecil dari bola kasti tapi berbentuk oval.
“Ini batu sungai. Jelas ini bukan bagian dari batu kapur seperti bahan batuan
dari karst,” katanya.
Dia membolak-balikkan dan mengamatinya dengan
tekun. “Ini ditemukan pada spit berapa
dan kedalaman berapa?” lanjutnya.
Para mahasiswa saling berpandangan. “Di Leang Lompoa, spit 11, kedalaman 140 sentimeter,” kata Erwin. Leang adalah sebutan masyarakat setempat
untuk gua. Sementara spit adalah
salah satu teknik dalam peggalian arkeologi yang relatif mudah, meski mesti
telaten dan hati-hati.
Menurut Muhammad Nur, batu sungai kemungkinan
diangkut manusia di masa lalu ke gua, dan digunakan sebagai penumbuk kerang
atau alat lain bagi keperluan sehari-hari.
Keesokan
harinya, tiga tim ekskavasi mahasiswa itu bergegas menuju gua.
Di dinding Lompoa, saat memasuki mulutnya,
pada sisi kanan terdapat beberapa jenis kerang, siput dan batu sungai yang
menempel di tebing karst. Jika tak jeli, sisa-sisa makanan itu tak ubahnya
ornamen gua. “Ini adalah konsumsi manusia pada masa itu. Dulu
kerang-kerang ini terkubur di bawah tanah. Tapi tanah gua ini masih aktif dan
selalu longsor, jadinya sisa makanan ini tersingkap naik,” kata Muhammad Nur.
Mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin melakukan penggalian di Leang Lompoa, Pangkep. |
Manusia
Penghuni Gua
Publikasi
mengenai gua-gua itu kali pertama dilakukan naturalis dan etnolog asal Swiss,
Paul dan Fritz Sarasin, tahun 1902. Tiga tahun kemudian, mereka menerbitkan hasil petualangan mereka dalam
buku dua jilid Reisen in Celebes: Ausgefhrt in Den Jahren 1893-1896 Und
1902-1903. Di buku itulah ada penyebutan manusia penghuni gua itu
sebagai To Ala. Orang-orang ini memiliki ciri-ciri fisik seperti orang
Wedda yang tinggal di Sailon, selatan India –sekarang Srilanka. Mereka menggunakan
peralatan dari logam dan menghias dinding-dinding gua dengan lukisan cap
tangan.
Namun
arkeolog Australia David Bullbeck, mengatakan Sarasin bersaudara melakukan bias
yang sangat besar. Menurut dia, To Ala bukanlah bagian atau orang-orang
yang memiliki lukisan dalam gua-gua. “Ciri-ciri orang To Ala yang
digambarkan Sarasin (Paul dan Fritz) itu sama seperti orang sekarang,” kata
Muhammad Nur.
Muhammad
Nur juga mengutip Mattulada, sejarawan Universitas Hasanuddin. Menurut dia, ada
kebiasaan masyarakat di Bugis dan Makassar untuk memberikan hukuman adat bagi
orang yang melakukan kejahatan. Misalnya,
tradisi dipaoppangi tana (orang harus meninggalkan kampung halaman atau
diasingkan). Orang-orang dengan hukuman itulah yang kemudian menjadi penghuni
gua. “Sebutan To Ala menjadi kata
bagi orang-orang yang tinggal di perkampungan dan orang yang berada dalam
hutan,” lanjut Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan gua yang berada di karst
Maros-Pangkep memiliki dua warna, merah dan hitam. Kesimpulan sementara
beberapa peneliti, lukisan merah lebih tua dari hitam karena warna hitam di
beberapa gua selalu menimpa merah. Namun usia lukisan belum dapat diketahui,
sekalipun ada yang memperkirakannya pada fase Austronesia sekitar 4.000 tahun
lalu.
Namun menurut Truman Simanjuntak, peneliti
dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslip) Arkeologi Nasional, seni cadas
(rock art) atau lukisan gua bukanlah budaya penutur Austronesia. Budaya
seni cadas berkembang di Eropa sejak 30 ribu tahun lalu, sementara di Indonesia
atau Asia Tenggara berkembang pada masa awal Holosen sekitar 10.000 sampai
130.000 tahun lalu dan kemungkinan berasal dari Australia.
Jumlah
manusia penghuni gua diperkirakan 10-40 orang. Mereka berinteraksi satu sama
lain dan mengembangkan pola hidup mengumpulkan makanan. Tapi pada masa
kedatangan penutur Austronesia, orang-orang ini mulai meninggalkan gua.
Menurut
Truman Simanjuntak, penutur Austronesia mulai menempati bentang alam terbuka untuk
hidup menetap dan mempraktikan proses domestifikasi. “Tentu pada awalnya masih
setingkat gubuk, tapi sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan di-support dengan teknologi, rumah mereka
berkembang lebih kompleks,” ujarnya.
Awal
Manusia Sulawesi
Menjelajah
kepulauan Sulawesi seperti memasuki jalur misteri. Penuh tanda tanya dan masih
berdasar pada kemungkinan-kemungkinan. Ketika beberapa pulau di Nusantara
mengalami tingkat penurunan permukaan air laut dan mulai bersambungan, Sulawesi
tetap berdiri sendiri.
Menurut
Harry Widianto, peneliti Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sekitar
18 ribu tahun lalu terjadi perubahan iklim di Eropa dan Amerika. Air laut menjadi es dan permukaan air turun. Efeknya
mencapai garis khatulistiwa. Terjadi penurunan permukaan air laut hingga 120
meter yang mengakibatkan laut di sekitar Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa
mengering (Paparan Sunda). Tapi Sulawesi tak mengalami pendangkalan.
A.M.
Imran, geolog Universitas Hasanuddin Makassar, mengatakan itu disebabkan
Sulawesi memiliki palung laut di setiap sisinya. Namun bukan berarti permukaan air lautnya tak pernah surut. Berdasarkan
penelitian Imran tahun 1983 di kabupaten Bulukumba, terjadi tiga kali penurunan
permukaan air laut, sekalipun tak signifikan. “Saya kira batuan karst di kawasan
karst Maros-Pangkep merupakan paleo beach
atau bekas pantai,” katanya.
Perubahan
iklim yang berlangsung lama itu mendorong persebaran manusia. Harry memperkirakan
persebaran awal manusia (Homo erectus) dari Afrika terjadi pada 1,8 juta tahun
lalu. Mereka berjalan ke Asia bagian Tengah, Timur, dan Tenggara, dan menjadi
spesies pertama yang bisa beradaptasi dengan iklim, yang dinamakan masa
plestosen.
Spesies ini kemudian menyebar ke beberapa
wilayah di Asia Tenggara. Peneliti Puslip Arkeologi Nasional Truman
Simanjuntak, mengatakan persebaran itu pun sampai ke pulau Sulawesi. Salah
salah satu bukti yang menguatkan hal itu adalah ditemukannya peralatan batu (litik)
di lembah Wallanae, Cabbenge, Kabupaten Soppeng. “Kemungkinan manusia
penghuninya adalah Homo Erectus atau paling tidak Homo Sapiens itu,” kata Simanjuntak dalam
emailnya.
“Jadi manusia tertua yang diperkirakan hidup
di lembah Wallanae adalah leluhur jauh (tidak langsung) dari manusia Indonesia
sekarang, termasuk Sulawesi,” lanjut Simanjuntak.
Sementara melihat situs pra sejarah lainnya,
di gua-gua Maros dan Pangkep hanya ada dua buah gua yang berada pada masa
plestosen, yakni Leang Sakapao dan Leang Burung. Sementara ratusan gua lainnya,
temuan arkeloginya berada jauh setelah itu, yakni masa Holosen awal 10.000
tahun yang lalu.
Kemudian gelombang migrasi kedua datang, yang
merupakan leluhur langsung manusia Indonesia, sekitar 4000 tahun yang lalu, melalui
teori Out of Taiwan. Migrasi ini adalah
para penutur Austronesia atau ras Mongolid.
Perjalanan migrasi
Out of Taiwan dipilih karena jalur melalui Taiwan lebih muda diakses. Dimulai
dari China, kemudian menuju
Taiwan, dari Taiwan menuju Filipina, lalu turun ke Kalimantan dan Sulawesi. Dari
Sulawesi, mereka menuju Kepulauan Polonesia. “Migrasi ini juga dikenal sebagai
‘migrasi kereta cepat’,” kata Harry.
“Mereka datang dari Taiwan dengan sistem
teknologi pelayaran sehingga mampu memasuki sungai-sungai,” ujar Truman
Simanjuntak.
Dan tinggalan pada gua-gua di Maros dan
Pangkep, termasuk lukisan cap tangan, binatang dan beberapa lainnya, bukanlah budaya
dari para penutur Austronesia, karena sudah mulai meninggalkan gua.
Jadi setelah kedatangan para penutur
Austronesia, kemana kah manusia sebelumnya? “Kemungkinan mereka punah, atau
bisa jadi mereka berpindah tempat,” kata Muhammad Nur.
“Yang jelas, dengan temuan-temuan dan
tinggalan pada gua Maros dan Pangkep, ini memberi petunjuk, bila Sulawesi sudah
dihuni jauh sebelum kedatangan leluhur manusia sekarang,” lanjut Muhammad Nur.
Selain itu, Muhammad Nur mengatakan
pentingnya Sulawesi karena merupakan zona percabangan (junction zone).
“Jika Sulawesi hilang, urutan-urutan migrasi terutama di kawasan Pasifik dan
Asia Tenggara hingga kepulauan akan ikut hilang,”
katanya.
Suasana di Leang Lompoa, Pangkep. |
Restorasi
Hingga saat ini, Balai Arkeologi (Balar)
Makassar dan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi
Selatan, Barat, dan Tenggara masih mencari cara merestorasi lukisan itu. Kepala
BP3 Muhammad Said mengatakan, kondisi lukisan gua saat ini memprihatinkan. Ada
banyak yang rusak karena kelakuan pengunjung, masyarakat, lingkungan, hingga
aktivitas tambang.
Menurut Said, ada beberapa gua yang
berdekatan langsung dengan area penambangan. Misalnya di gua Lambatorang,
Kamase, dan Bulu Tengae ada tambang marmer yang hanya berjarak 100 meter. Padahal
dalam regulasi sonasi situs, jarak amannya adalah 300 meter, artinya bila
menarik garis lurus diameternya mencapai 600 meter.
Aktivitas tambang di sekitar situs akan
menerbangkan debu dan mengubah suhu dengan cepat. Putaran angin yang tak
menentu akan membawa benda seperti debu dan partikel kecil lainnya, yang bisa
menutupi lukisan gua. Sebab, menurut Said, tak mungkin membuat jaring di semua
gua untuk menyaring debu.
Pada 2007,
BP3 bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin dan Balar Makassar melakukan
restorasi lukisan di beberapa gua. Namun ternyata tak mudah. Mereka kesulitan
mendapatkan bahan-bahan yang sama atau mirip. Dari identifikasi atas lukisan
cap tangan di gua-gua Maros-Pangkep dan juga di Bone dan Bantaeng, diyakini
bahan yang digunakan berasal dari hematite atau bahan mineral batuan
gesper. Namun bahan pelarut dan campurannya masih tanda tanya.
“Kita
berharap ada bahan organik dalam campuran hematite itu agar usia lukisan
bisa ditentukan,” kata Muhammad Nur.
Lukisan-lukisan
gua di Maros-Pangkep memiliki beberapa variasi, selain cap tangan, ada juga
gambar binatang, perahu, manusia, ikan, ayam, ular, dan beberapa garis yang
bentuknya tak ketahuan. Arkeolog Universitas Hasanuddin Iwan Sumantri
mengatakan lukisan itu memberikan gambaran umum kondisi lingkungan pada
masanya. “Kalau gambar cap tangan saya kira itu menunjukkan tradisi ritual,”
katanya beberapa waktu lalu.
Namun beberapa kondisi lukisan itu mulai memudar. Ada yang
terkelupas ada yang sudah tertutupi lumut, atau debu. “Jika dibiarkan berlarut, lukisan gua akan
hilang,” kata Budianto Hakim, peneliti Balar Makassar.
Menurut dia, lukisan-lukisan gua rentan rusak
bila tak ada cara yang tepat menanganinya. “Dengan kondisi lingkungan dan
aktivitas di sekitaran gua, dalam waktu hanya dua tahun lukisan bisa terkelupas,
dan itu sudah terjadi,” katanya.
Bila lukisan-lukisan gua tersebut hilang,
periode babakan sejarah manusia di Sulawesi atau di Indonesia akan hilang. *
Catatan: Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Historia, volume III, Juli 2012.