Penghancuran rumah warga muslim Syiah di Sampang, Madura. |
Tahu kau saudara apa yang kupikirkan ketika membaca dan
menonton berita mengenai orang-orang pemeluk muslim Syiah di Sampang, Madura. Dimana
kulihat ada anak-anak ketakutan, suaranya seperti tersedak, tempat tidur mereka
lenyap, mainan mereka meleleh jadi abu, hitam. Anak-anak itu menyaksikannya
dengan tangan gemetar, didekap orang tuanya. Anak-anak itu juga melihat kawannya, mungkin kakaknya, atau
mungkin abangnya, ayahnya, omnya, tetangganya. Mati terbunuh.
Tahu kau saudara, siapa yang membuat tangis anak-anak itu
menggema, terdengar memilukan, adalah kawan-kawannya sendiri, mungkin
tetangganya juga. Tahu kau saudara, karena beda keyakinan tempat dan tanah yang
kita cintai ini sudah menakutkan. Seperti tempat asing lagi.
Dengarlah saya saudara, sekali ini saja. Tolong berhentilah
makan, hentikanlah kunyahanmu sekejap saja. Di Sampang itu saudara, ada sekitar
80 rumah yang rusak dan terbakar. Menjadi arang. Itu kau tahu, terjadi kapan,
itu pada 26 Agustus 2012, beberapa hari setelah kita merayakan kemenangan dan
berjamaah salat Idul Fitri, lalu kita saling maaf. Kita berangkul, ada ribuan
toh, pesan pendek yang terkirim, ada ribuan kartu ucapan lebaran dengan
kata-kata yang manis, tapi apakah ucapan-ucapan itu tak sampai ke Sampang?
Tahu kau saudara, ada sekitar 170an warga terpaksa
dievakuasi dan mengungsi ke tempat tinggal. Apakah itu menurutmu jumlah yang
sedikit. Saudara, cobalah bayangkan, bila ada diantara mereka yang anaknya
hendak kuliah, hendak makan, hendak menikah, bagaimana mereka melakukannya
lagi. Harta mereka saudara, duit mereka sudah hangus, kartu tabungan mereka
sudah jadi arang. Atau biarkan saja mereka tak melanjutkan kuliah, biarkan saja
mereka mati, siapa suruh memilih menjadi minoritas. Itu kah yang kau harapkan.
Tahu kau saudara, ucapan duka cita yang kau kirim tempo hari
itu, hanya mampu menjadi peredam sakit beberapa jam. Bukan itu saudara, bukan
itu, mereka membutuhkan semangat, perlindungan, sebagai sesama seperti kita.
Saudara, kita menghianati pelajaran di sekolah dulu, yang bilamana ada dua
aliran besar di islam, Syiah dan Sunni, dan kita selalu tutup mata bila soal
itu keluar di ulangan harian. Tapi kita jelas menghianatinya saudara, berhianat
pada guru-guru kita, pada pendidikan, pada apa yang membuat kita jadi manusia.
Tolong ingat saudara, kita pernah tertidur bersama ragam
manusia. Ada yang percaya diri mereka nabi, ada yang percaya tiang listrik
tuhan mereka, ada yang percaya I La Galigo, ada penyembah duit, ada penyembah
perempuan, sudah kau ingat? Apakah kita terganggu, apakah itu bisa merusak
akidah kita, tidak kan saudara. Jadi mengapa kekacauan ini terjadi.
Tolong berhentilah mengunyah, bukalah jas mu itu. Kau
telihat tak berdaya ketika mengenakan pakaian itu, pakaian kesepakatan untuk
menyatakan kerapian dan kehormatan. Atau kah kau tak ingin mendengarku lagi
saudara, karena hingga saat ini saya masih menggunakan kaos oblong, celana
jins, sepatu murahan atau sandal gunung.
Jas itu membelenggumu, bakar lah. Turunlah kembali seperti
dahulu kala, dahulu seperti saat kita bermain teater di pinggir jalan, di atas
panggung, atau di teras kampus. Masa itu sungguh bahagia, merasakan suasana di
sekitar kita, dan kita bebas bergerak, bebas berteman dengan siapa pun.
“Tapi ini hanya masalah keluarga.”
Saudara, apakah benar itu pendapatmu. Saya tak menyangkanya.
Bukan itu yang membuat kita berpikir besar. Bukan itu yang kupertanyakan, tapi
seberapa menurun derajat pendidikan kita sekarang. Titik kekerasan tumbuh subur di sekitar kita, tak kah kau
lihat itu. Jika aku punya kuasa, maka itulah yang menjadi pokok intinya. Lakukan lah, peringati mereka.
Saudara sepertinya, semakin saya melihatmu muncul di depan televisi,
semakin khawatir lah saudaramu ini. Semakin merinding lah saya. Kau mulai
terlihat renta, tak bugar lagi. Jika kau kelelahan, mundurlah.
Tahu kau saudara, hal lain yang merisaukan. Kita sebagai
orang Indonesia, orang Indonesia, orang yang besar dan bangga dengan ragam
budaya, ragam pikiran, tiba-tiba harus dipaksa menjadi satu paham keyakinan.
Padahal sejak nenek moyang kita, sejak ribuan tahun lalu,
ada paham yang melekat di setiap daerah. Rela kah kau melihat saudara-saudara
kita diseret dan dimasukkan pada apa yang mereka tak senangi. Saudara, sudah
cukuplah orang-orang tua kita mengalami masa trauma pada tahun 1950-1965 itu,
orang-orang saling bunuh. Marilah kita berangkul, marilah menjadikan pengertian
akan bagimu agamaku, dan bagimu agamamu itu benar-benar terjadi.
Saudara, hubungan seseorang dengan tuhannya adalah hubungan
kejiwaan, hubungan ketenangan yang tak mampu orang lain jangkau. Ingat kah kau
saudara, saat kita bertemu dengan seorang sufi, bila surga itu bukanlah sebuah
tempat, melainkan sebuah ketentraman jiwa, sebuah kondisi kebahagiaan.
Tapi sekarang, kita seakan berada di tepi neraka bukan?
pepatah bilang, menang jadi arang, kalah jadi abu.
BalasHapushanya kesedihan yang tersisa dari perdebatan tidak sehat. hanya trauma yang tersisa dari keyakinan yang dipaksakan dan dipertahankan dengan kebencian.
awal september lalu, saya ke sampang. menjenguk anak-anak yang kadang takut melihat wajah baru. remaja berwajah pucat yang tak bisa makan, pun mendengar suara gaduh anak-anak yang selalu mengingatkannya pada kobaran api yang melahap habis rumahnya, celurit yang merobek tubuh ayahnya, juga suara tangis si adik menangis kelaparan di tempat persembunyian....
sumpah, apatah tuhan dan nabinya mengajarkan kita untuk menukar kebenaran dengan penderitaan orang lain...
Novi: Saya kira Tuhan ada karena manusia. Keberagaman yang lahir di dunia tidak satupun mengharapkan peperangan dan perselisihan. Mari menulis, memulai dari bawah, pasti akan banyak cerita dari Sampang sana.
BalasHapusnice share gan...
BalasHapus