Saya belum sempat menghitung berapa serdadu yang hadir di
lapangan itu, ketika kulihat kepala seorang lelaki tertembus peluru. Darahya mengalir
seperti keluar dari hidung, lalu merembes ke tanah. Badannya tertelungkup. Hanya
menggunakan celana kolor.
Di dekat tempat penembakan itu, ada ratusan perempuan dan
puluhan anak kecil tertunduk lesu di bawah kolong rumah, mereka hanya bisa
menangis. Sesekali menjerit, tapi seketika dibentak serdadu lainnya. Dan suara
kembali diam. Saya masih mengawasi wajah-wajah para perempuan, mencari rupa
istri, adik, atau anak-anak dari laki-laki yang tertembak itu. Tapi tiba-tiba suara
pistol kembali meletus, lelaki lainnya kembali terjungkal, rebah ke tanah.
Suara azan subuh dari surau-surau belum berkumandang, ketika
rombongan serdadu Belanda itu menyambangi rumah-rumah penduduk. Mereka berteriak,
menghentakkan kaki menapaki anak-anak tangga. Anak-anak, orang tua, orang
jompo, semua bergegas terbangun. Senapan lars panjang, menjadi pengganti
telunjuk. Bepuluh-puluh kilometer, orang-orang kampung itu dihalau seperti
ternak, tak ada langkah yang boleh mengendur. Semua bergegas. Sarung-sarung yang digunakan terlelap menempel seadanya di
badan.
Rumah-rumah yang ditinggal penghuni lenyap menjadi arang. Serdadu
Belanda itu menggantinya menjadi bara api. Ada ratusan rumah yang terlalap, langit
subuh hari itu seperti terbakar. Dari kejauhan saya melihatnya seperti cahaya
jingga, persis fenomena matahari tenggelam.
Saya berada di antara mereka. Berjalan dengan pikiran meraba-raba.
Di samping saya Juleha, menggendong seorang bayi yang masih belajar merangkak. Sementara
anak pertamanya Juwita, di gandengnya di salah satu lengan. Sesekali puting susunya
berhasil mendiamkan si bayi. Tapi hanya sesaat.
Juleha tinggal di kampung Malengo-lengo, Kabupaten Pinrang. Dia
bersama suaminya berdagang, menyuplai kebutuhan warga sekitar. Dia menikah
dengan Sabaruddin ketika usianya mencapai 19 tahun. Juleha sangat senang
menceritakan keuletan dan ketabahan suaminya. Menurutnya, tak ada lagi
laki-laki yang menandinginya. “Saya tak pernah dibiarkan bekerja keras. Dia memperhatikan
saya melebihi dirinya sendiri,” katanya.
Suaminya tak ikut menemani kami berjalan dengan ratusan
penduduk kampung, pada subuh itu. Lima hari lalu, serdadu Belanda sudah
menjemputnya terlebih dahulu menggunakan jip Willis. Tangannya diikat
kebelakang, mulutnya di sumbat, dan hanya menggunakan celana kolor. Juleha tak
tahu hendak kemana sang suami digelandang.
Sabaruddin ditangkap karena dianggap sebagai kawan “perampok”
– julukan pada para pribumi yang menentang Belanda dan pro kemerdekaan RI. Pada
masa itu,ketika di Jakarta Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, berduyun-duyun masyarakat se nusantara menerimanya dengan seruan dan
pekik merdeka. Kelompok-kelompok pemuda
di pesisir terutama kampung Suppa sekitar 5 kilometer dari desa Juleha, salah satu
yang bersuara lantang.
DI TAHUN yang sama pembacaan proklamasi itu, Datu Suppa Andi
Makkasau, menyatakan diri bergabung dengan pemerintahan Soekarno-Hatta. Padahal
Belanda belum sepenuhnya meninggalkan nusantara. Di Makassar dan Pare-pare serdadu Belanda
masih bebas berkeliaran. Dalam keadaan yang belum pasti itu, Makkassau menjalin
hubungan dagang dengan Jawa, mengirimkan penduduk untuk berlatih militer dan
mendatangkan senjata.
Pemerintah Belanda semakin gusar, pada Juli 1946 diadakan
konferensi di Malino namun gagal, konferensi itu dimaksudkan untuk membentuk Timur
Besar. Dan pada 11 Desember 1946,
konferensi itu dipindahkan ke Denpasar. Lalu melahirkan perintah Staat Van Orlog en Beleg (SOB) atau
hukum darurat perang sebab Negara dinyatakan dalam keadaan genting. Hukum di
tempat. Mendaratlah Raymond Westerling di Sulawesi Selatan.
Raymond ditemani 127 pasukan khususnya menyisir empat
wilayah afdeling yakni, Makassar,
Parepare, Bantaeng dan Mandar. Tugas utama Raymond adalah melakukan pembersihan
para bende – kelompok liar.
Andi Makkasau dianggap sebagai bende. Dia kemudian ditangkap dan ditenggelamkan di laut. Tapi, serdadu Belanda tak berhenti dengan hanya kematian raja Suppa itu. “Sama seperti kehilangan bapak, orang tua,” kata Juleha, mewakili perasaan penduduk Suppa yang ditinggalkan rajanya.
Sabaruddin karena berprofesi sebagai pedagang dianggap penyuplai
bahan makanan untuk para bende. “Padahal
dia tidak tahu apa-apa,” kata Juleha seperti berbisik saat kami sebentar lagi
tiba di lapangan.
Matahari sudah mulai terang ketika kami tiba di lapangan
Suppa. Di bawah kolong rumah Datu Suppa sudah berkumpul anak-anak dan perempuan.
Mereka duduk bersila tanpa alas. Kepala mereka tak dibiarkan mendongak. Juleha
digiring ke tempat itu bersama anaknya. Saya menepi di bagian luar lapangan, menggunakan
ilmu menghilang yang diwariskan Andi Makassau.
Namun sebelum memakai azimat menghilang, Juleha bertitip
pesan. Suaranya serak dan hampir tak terdengar. Saya hanya menangkap satu kata lakkaiku – suamiku.
Tepat ketika, peluru menembus kepala lelaki itu, saya sedang
mencari suami Juleha. Diantara orang-orang yang duduk bersila, bertelanjang
dada, dan bercelana kolor. Seorang serdadu Belanda berjalan mendekati seraya
mengacung-acungkan pistol pada setiap orang. Serdadu-serdadu itu mengumpat
dalam bahasa Belanda, sesekali menggunakan bahasa Indonesia dengan sangat
terbata-bata. “Tunjukkan mana perampok itu,” katanya.
Dalam keadaan terdesak, berniat membela diri, beberapa
laki-laki menunjuk seseorang. Dan pangggg…,
peluru menembus kepala. Orang-orang yang meregang nyawa dengan sangat cepat
itu, diangkut kawannya sendiri ke liang. Setiap jenasah diangkut dua orang dan
orang-orang yang kembali berpeluh keringat dengan wajah pucat, juga mendapat
giliran.
Saya mulai menghitung, dimulai dari angka 1 dan berhenti
pada angka 100, saat melihat suami Juleha. Tapi belum sempat kuhembuskan nafas
untuk menenangkan diri, kepalanya sudah tertembus. Saya mencari Juleha diantara
kerumunan perempuan di bawah kolong rumah itu. Dia berada di deretan paling
belakang. Sekuat apapun wajahnya mendongak, penglihatannya tetap terhalang rambut
orang lain. Saya berjalan menghampirinya. Menyentuhnya dengan pelan dan
menuliskan nama saya di tanah tepat dihadapanya. “Bagaimana suami saya,”
tanyanya. Saya hanya memegangi pundak dan mengelus rambutnya. Lalu dengan
terisak dia menjerit. Anaknya yang masih bayi, yang terlelap karena kelelahan ikut
tersentak. Juleha dan dua anaknya bersama-sama menangis.
Seorang serdadu Belanda menghampirinya. Dia menghardik
dengan keras, lalu memberikan sepotong roti tawar pada anak Juleha. Serdadu itu
khawatir, suara histeris akan merusak konsentrasi tuan Raymond.
Pukul 18.00 perempuan-perempuan itu dihalau kembali ke rumah
masing-masing. Tak ada waktu menoleh melihat suami. Seorang lelaki yang selamat
menghitung jumlah korban, ada 200 orang lebih. Tiga liang kemudian ditutup lalu
ditancapkan sebuah batang pohon tua yang sudah mati.
SUDAH 63 tahun berlalu, ketika kami berpisah di lapangan
penembakan itu. Saya menemui Juleha. Wajah dan lehernya sudah memperlihatkan
keriput. Dua anaknya sudah berkeluarga dan bahkan sudah punya cucu. “Dari
mereka saya dihadiahkan cucu dan cicit yang lucu-lucu,” katanya. ()
kasihan sekali si bayi, belum sempat kenal siapa bapaknya... :)
BalasHapus