Waktu itu, saya
masih duduk di sekolah dasar. Kampung saya bernama Suli (sekarang Kabupaten
Luwu). Setiap liburan sekolah, nenek saya mengajak ke kebunnya di desa Pabeta dan
Malaulu (sekarang Kabupaten Luwu Timur). Jarak tempuh menggunakan kendaraan
umum sekitar lima jam. Berangkat pagi dan tiba sore.
Kebun pertama
yang selalu disambangi adalah Pabeta. Kebun kakao yang luasnya sekitar 1,5 ha.
Biasanya kami akan bermalam selama dua malam, kemudian mengunjungi kebun di
Malaulu selama dua hari juga. Saya selalu senang ketika mengunjungi kebun di
Malaulu. Nenek adalah seorang yang suka bercerita, menjelaskan banyak hal yang
saat itu masih kuanggap rumit.
Salah satu yang
paling membekas ketika mikrolet yang kami tumpangi menapaki jembatan kayu di
desa Cerekang. Dia selalu menunjuk aliran sungai yang jernih dan ditumbuhi
rumput – seperti padang lamun. Menurut dia, rumput-rumput itu adalah jelmaan
dari rambut We Cudai,
seorang perempuan cantik nan jelita, ketika mandi. “Jadi tae na wa’ding dikittai sola dikittemei te salu,” katanya.
Artinya; untuk itu sungai ini tak boleh menjadi tempat membuang air kecil dan
air besar.
Nenek juga
menunjuk bukit yang berada di samping sungai (yang kelak kuketahui namanya
Pensimoni). Dia bilang, gunung itu pun tak boleh dimasuki, sama sakralnya
dengan sungai. Sebenarnya saya selalu penasaran dengan cerita itu, pernah suatu
waktu meminta nenek berhenti, sekedar untuk memegang air atau berenang di
pinggiran sungai. Tapi ternyata tak pernah dipenuhi. Kecewa.
LAMA NIAN cerita-cerrita
itu mengendap di kepala hingga lulus SMU. Dan ketika kuliah saya masuk Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni. Saya belajar membaca buku seni, perbincangan
budaya dan akhirnya jatuh hati pada sejarah.
Pada 2008, saya
memulai karir jurnalistik. Saya menulis banyak hal dan yang paling membuat saya
terpikat adalah isu sejarah, budaya dan kesenian. Lalu pada 2010, saya bertemu, wawancara dan menulis pendeta bugis
kuno atau yang lebih dikenal dengan Bissu.
Saya menemukan banyak kebahagiaan, dan akhirnya jatuh cinta dengan Bugis dan
secara luas Sulawesi Selatan.
Bissu
Saidi, pada pertemuan saya yang kesekian kali bertutur, selain dirinya ada juga
beberapa komunitas di beberapa daerah Sulawesi Selatan yang masih memelihara
tradisi, seperti komunitas Kajang di Bulukumba, To Lotang di Sidrap, Karampuang
di Sinjai, dan Cerekang di Luwu Timur. Komunitas-komunitas ini seperti oase
bagi saya di tengah dunia modern. Dia seperti penanda peradaban kampung halaman
saya, Sulawesi Selatan.
Tapi pada
tulisan ini saya hanya menulis mengenai Cerekang. Dan perjalanan pun dimulai.
Pemimpin adat dan
spiritual masyarakat Cerekang bergelar pua’.
Pua’ dalam pengertian bebasnya adalah
penjelmaan dari orang-orang yang bersih dan terpilih. Pemilihannya tidak
dilakukan dengan musyarawah melainkan melalui penunjukan langsung dari sang
pencipta.
Pada Minggu, 2
Desember 2012, pada sebuah siang di Cerekang, saya bertemu Muchsind Daeng
Manakka (60 tahun), seorang tokoh masyarakat. Menggunakan batik sederhana,
songkok dan sarung, dia menemui saya di ruang tamunya yang sederhana. Rumahnya
tepat di ujung jembatan Cerekang. Rumah itulah yang selalu saya saksikan
puluhan tahun lalu ketika melintasi jembatan itu bersama nenek.
Muchsind Daeng
Manakka adalah seorang dengan pembawaan yang ceria. Jika bercerita, gigi
ompongnya dibagian bawah akan terlihat. Dikatakannya, untuk menjadi pua’ pada awalnya seseorang akan
mendapatkan pammase atau wangsit dari
dalam mimpi. Kemudian tokoh-tokoh masyarakat juga akan mendapatkan petunjuk
yang sama. “Di Cerekang, jika petunjuk itu datang, kita tak dapat menolaknya,”
katanya. “Bila menolak akan pendek umur.”
Di Cerekang, ada
dua orang pua’, laki-laki dan
perempuan. Pua’ laki-laki mengurusi mengenai hubungan manusia dengan pencipta.
Sementara pua’ perempuan mengurus
masalah adat yang berhubungan dengan bumi.
Arkeolog
Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri, mengatakan Cerekang pada masa
lalu merupakan hidden centre atau
pusat tersembunyi yang mengatur kerajaan dari sisi spiritual dan masalah
internal atau bahkan penjaga kerajaan. Sementara untuk pusat yang berkuasa
keluar adalah wilayah Ussu.
Beberapa literatur menuliskan, berkembangnya Ussu dimulai pada abad ke 14, karena menjadi “pusat nyata” kerajaan Luwu. Salah satunya adalah laporan OXIS yang dilakukan Iwan Sumantri (Unhas Makassar), David Bullbeck (Australia National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) tahun 1998, yang kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu, menjelaskan Ussu pada masa itu, menjadi pusat teknologi sebagai ibukota kerajaan Luwu. Memproduksi parang, tombak, keris dan lain-lain, yang kemudian terkenal sebagai pamoro Luwu atau bessi to Ussu.
Beberapa literatur menuliskan, berkembangnya Ussu dimulai pada abad ke 14, karena menjadi “pusat nyata” kerajaan Luwu. Salah satunya adalah laporan OXIS yang dilakukan Iwan Sumantri (Unhas Makassar), David Bullbeck (Australia National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) tahun 1998, yang kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu, menjelaskan Ussu pada masa itu, menjadi pusat teknologi sebagai ibukota kerajaan Luwu. Memproduksi parang, tombak, keris dan lain-lain, yang kemudian terkenal sebagai pamoro Luwu atau bessi to Ussu.
Sementara
Cerekang yang hanya berjarak sekian ratus meter dari Ussu, tetap berdiam diri.
Tetap menjadi pusat mistis kerajaan Luwu. Dalam epik I La Galigo yang jumlah
halamannya mencapai 6000, 300.000 baris
dan terbagi dalam 12 jilid penulisan dan konon naskah ini satu setengah kali
lebih panjang dari epos Mahabarata
yang hanya memiliki panjang 200.000 baris, menjelaskan posisi Cerekang.
Dikisahkan
turunnya manusia pertama (to manurung)
di dunia bermula di sekitaran bukit Pensimoni wilayah Cerekang. Manusia itu
bernama Batara Guru, anak dari dewa penentu takdir Patotoe dari negeri atas. Batara
Guru kemudian menikah dengan We Nyili Timong,
putri dari dunia bawah. Dan kelak keturunan inilah yang melahirkan Sawerigading
dan kemudian mempersunting We Cudai, lalu melahirkan I La Galigo.
Representasi Buah Khuldi
Pada sebuah
malam di Februari 2012, saat kunjungan kedua saya ke Cerekang, saya beruntung bisa
bertemu langsung Pua’ Cerekang
perempuan. Dia menghuni sebuah rumah panggung di dekat sungai Cerekang.
Ketika saya
hendak memasuki rumah itu, seorang anggota keluarga lainnya memberikan sarung
sebagai salah satu syarat bertemu Pua’
Cerekang. Kesehatan Pua’ rupanya
kurang baik. Dia terserang stroke, tak mampu lagi berdiri hanya beringsut.
Nama aslinya
adalah Sahe, usianya
terkaku belum mencapai 50 tahun. Dia berbicara dalam dialeg bahasa Bugis kuno.
Dan dalam setiap akhir pernyataannya yang memerlukan pengakuan dari saya, dia
selalu menambahkan kata ‘nak’ di belakangnya.
Saat ini, pua’ Cerekang hanya ada perempuan. Pada
2010, pua’ laki-laki meninggal dunia
dan hingga sekarang belum ada penggantinya. “Kenapa tidak memilih saja lagi,”
tanya saya. “Tidak segampang itu nak. Harus benar-benar baik, harus benar-benar
bersih,” kata pua’ perempuan.
“Jadi sampai
kapan akan menunggu. Bagaimana kalau tak ada yang terpilih melalui pammase itu,” kata saya.
“Pasti ada.
Dewata e tidak akan melihat dunia rusak. Cerekang ini nak menjadi pusat dunia, pusatnyami ini nak, tidak ada lagi yang
lain,” ujar Pua’ perempuan itu.
Repsentasi
Batara Guru dalam epik I La Galigo, bagi masyarakat Cerekang seperti Nabi Adam.
Hanya nama dan wujud yang berbeda. “Siapa pun yang menjadi pua’ nantinya, itulah sebenarnya to manurung. Karena bila pua’ satu meninggal, maka rohnya tetap
abadi dan berpindah ke orang lain yang terpilih,” kata Muchsind.
Representasi
lainnya, adalah masyarakat Cerekang tak dibolehkan memakan loka manurung (pisang kepok). “Kalau kau tahu nak, itu mi pisang manurung adalah buah khuldi yang
mengusir Adam dari surga,” kata Pua’ perempuan.
Pohon Kehidupan
Sejak pertama
kali mengunjunginya pada Oktober 2011, Cerekang membuat saya jatuh cinta.
Orang-orang yang bertutur halus dan ramah. Menyuguhkan penganan dan kopi yang
nikmat. “Di depan bukit ini, kami tak akan berani berucap takabur atau
bertingkah diluar batas,” kata salah seorang warga.
Saya penasaran.
Ketika saya mengandai-ngandai meminta dia menunjukkan bukit yang dimaksud, dia
malah mengangkat tangan dengan jari telunjuk yang tak tegak, melainkan
dibengkokan. “Kenapa tak menunjuk dengan jari tegak,” tanya saya. “Kami tak
berani, ini pesan orang tua. Dan itu dianggap sombong,” katanya.
Bukit dan sungai
merupakan kekayaan utama masyarakat Cerekang. Muchsind Daeng Manakka,
mengatakan apapun isi alam yang ada disekitar kita tak boleh dikotori. “Kenapa
kami tak membuang hajat di sungai, karena kami meminum airnya,” katanya.
“Kenapa kami tak
ingin merusak bukit, menebang pohon sembarangan, karena kami percaya mereka
menjaga air,” lanjut Muchsind.
Sebelumnya, pada
masa Sawerigading memimpin penduduk bumi, dia menebang pohon Walenrenge untuk
berlayar ke negeri Cina menjemput calon istrinya We Cudai. Ketika pohon itu
tumbang, semua mahluk bersedih. Tempat perlindungan tak ada lagi. Bahkan,
peristiwa itu membuat banjir bah melanda, hingga gunung terbelah ketika batangnya
menghantam. “Ya mungkin itu pelajarannya,” kata Muchsind.
Tak hanya itu, laporan
OXIS juga menuliskan, salah satu tempat habitat buaya secara alami berkembang
dengan baik berada di sungai Cerekang. Namun, bukan mustahil bila keberadaan
buaya tak terusik, sebab masyarakat pun mempunyai panggilan khusus untuk buaya,
yakni nenek.
Muchsind
menjelaskan, nama buaya adalah bahasa Indonesia yang muncul belakangan. Sebab
orang-orang percaya, bila buaya merupakan jelmaan dari leluhur mereka di negeri
bawah. “Buaya adalah salah satu penghuni dari dunia bawah. Saya bahkan mandi di
sungai ini, kadang-kadang berpapasan dengan nenek.
Kami saling menghargai, jadi tak ada saling ganggu,” ujarnya.
Untuk itulah,
hingga saat ini masyarakat Cerekang masih mengamalkan nilai-nilai leluhur,
meskipun diterpa budaya luar. “Jika kami menghargai alam, itu berarti sama saja
kami merawat jiwa kami,” kata Muchsind.
0 comments:
Posting Komentar