Kabir Ahmad memperlihatkan foto anak-anaknya.Eko Rusdianto |
Apa
yang dilakukan seorang ayah yang terpisah dengan anak dan istrinya di tempat
pengungsian?
SENIN
27 April 2015, di sebuah wisma penampungan imigran di ujung jalan Mallombasang,
Makassar, seorang warga dari Thailand duduk mengawasi anak perempuannya yang
bermain. Memanjat terali pagar dan sesekali menengadahkan tangannya untuk
menadah tetesan air hujan dari atap seng.
Kemudian
hujan turun menderas dan membuat suara yang ribut. Anak perempuan itu menutup
dua telinganya dengan tangan, lalu ayahnya mendekati, bercakap-cakap dengan
bahasa Thailand. Lantas sebelum mereka meninggalkan saya, si ayah—bernama
Muhammad—berkata dalam Melayu yang masih terbata-bata, “Tunggu saja. Sepertinya
dia ada pergi sembahyang ke masjid. Kalau hujan reda, pasti pulang.”
Jelang
pukul 5 sore ketika hujan mereda, seorang pria berbadan tegap berkulit coklat
gelap berjalan menuju teras halaman wisma. Ia adalah Kabir Ahmad, imigran yang
telah saya tunggu itu.
Orangnya
ramah. Saat kami berjabat tangan, ia menggenggam kuat dan mengusap lengan saya.
“Mari … Mari … Apa yang saya bisa bantu?” Ia mengajak saya menuju kamarnya.
Di
dalam kamarnya: satu kursi plastik, satu meja, kasur ukuran satu orang,
pendingin udara, lemari pakaian, televisi 14 inci, kamar mandi, tali gantungan
yang menempel tembok, sebuah galon air tanpa disepenser, dan meja kayu yang di
atasnya berjejer beberapa panci dan karung beras.
Kabir
Ahmad duduk di kasur. Kami saling berhadapan. Lutut kami sesekali saling
bersentuhan. Kemudian ia memperlihatkan sebuah album foto ukuran 3R. Empat
bocah berdiri di depan sebuah kios di Thailand.
Itu
foto anak-anaknya. Ia menunjuk satu demi satu. Anak pertamanya, berdiri di sisi
belakang, adalah si sulung, laki-laki kelahiran 2003; anak kedua dan ketiganya
yang mengapit si sulung adalah anak kembarnya, laki-laki dan perempuan, lahir
tahun 2007. Dan anak keempatnya adalah perempuan kelahiran 2010.
Terakhir
kali Ahmad melihat anak-anaknya lima tahun lalu. “Sudah rindu sekali. Kalau
malam susah tidur. Tak bisa tidur. Tak bisa tidur. Baring saja, duduk, merokok.
Nanti jam 2 dinihari baru bisa tidur.”
“Orang
tak tahu rasanya itu. Kalau menelepon, pasti menangis. Anak sudah panggil saya
pulang, tapi kita tidak tahu nasib,” ia berkata.
Saat
ini, istri Ahmad dan keempat anaknya di satu wilayah di Thailand. Ada ribuan
kilometer jarak yang merentangkan mereka dan sambungan telepon internasional
yang memakan banyak biaya.
“Satu
atau dua bulan sekali menelepon. Yang penting dengar suara anak dan istri. Tidak
bisa menelepon sering-sering, tak ada uang.”
KABIR
AHMAD lahir 1 Januari 1971 di Burma. Dokumen penanda dari badan PBB untuk
urusan pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/ UNHCR) tak
mencantumkan kampung kelahirannya. Namun, ia adalah etnis Rohingya, dan
kemungkinan sekali lahir di negara bagian utara Rakhine/ Arakan, tempat tinggal
mayoritas Muslim Rohingya di Burma.
Etnis
Rohingya adalah salah satu minoritas paling menderita di dunia karena persekusi
dan diskriminasi oleh pemerintahan Burma, negara mayoritas pemeluk Buddha.
Sejak 1982 mereka dicabut hak kewarganegaraannya, dan pada Sensus Penduduk
tahun 2014, pemerintah Myanmar mengabaikan lebih dari 1 juta orang (termasuk
800.000 etnis Rohingya) untuk mendapatkan status warganegara. Propaganda
pemerintah junta militer Burma lewat pembersihan etnis telah mengusir ratusan
ribu Muslim Rohingya.
Selama
kekerasan mutakhir pada 2012 misalnya, sekira 280 orang Rohingya terbunuh dan
mendorong sedikitnya 140.000 orang mengungsi di kamp-kamp penuh sesak di
pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine, yang dijaga ketat pasukan
bersenjata. Sekira 70 persen dari para pengungsi internal ini sulit mendapatkan
akses secara layak atas makanan, air, sanitasi, dan layanan kesehatan.
Aparat-aparat negara Burma mengambil keuntungan dari situasi tersebut dengan
memperdagangkan orang Rohingya yang berusaha kabur lewat laut, yang
keuntungannya bisa sampai 7.000 dolar AS untuk setiap muatan.
Mereka
inilah, disebut pula ‘manusia perahu’, mencari negara-negara suaka, sebagian
darinya menuju Australia yang terdampar di kawasan pantai Indonesia,
menciptakan krisis kemanusian di kawasan Asia Tenggara.
Kabir
Ahmad, yang saya temui di rumah pengungsi, mengisahkan bahwa ia meninggalkan
kampung kelahirannya pada 1989 sewaktu berusia 18 tahun. Ia bosan dengan
pertikaian etnis dan agama di Arakan.
“Saya
juga ikut perang. Tembak-tembak,” katanya, sembari memperlihatkan bekas luka di
kepalanya.
Akhirnya
bersama rombongan lain, ia menyeberang dan mencoba peruntungan ke India, yang
tak seberapa lama, lalu membuatnya pindah ke Thailand, dan kemudian Malaysia.
Di
Malaysia, ia bertahan menurut ingatannya sekitar 15 tahun, dan belajar bahasa
Melayu. Selama di sana, ia bekerja di beberapa tempat termasuk di restauran. Ia
bilang, penghasilannya “cukup bagus” dan dari sana merencanakan pernikahan.
Dengan bantuan satu lembaga, seorang perempuan Burma yang dikenalnya sejak jadi
imigran di Thailand didatangkan. “Istri saya cantik dan sabar,” katanya.
Keempat
anaknya lahir di Malaysia. Namun ironis, ketika anak pertamanya berumur 7 tahun
hendak sekolah pada 2010, otoritas Malaysia tak mengizinkan. Dokumen suaka bagi
istrinya pun ditolak dan dikembalikan ke Thailand.
Pada
tahun itu, akhirnya, Ahmad bersama delapan rekannya menyewa mobil dan melarikan
diri menuju Bandar Lampung, Sumatra. Tujuan utama mereka negara Australia. Tapi
mereka keburu ditangkap. Berturut-turut, mereka dipindahkan ke Pekanbaru,
Medan, Sukabumi, Tanjungpinang (Kepulauan Riau), lalu Makassar.
“Tak
tahulah. Dibawa kemana lagi,” kata Ahmad, yang bertemu Muhammad, imigran dari
Thailand, saat di Makassar.
Namun,
ia berharap UNHCR bisa memberikannya kesempatan bertemu istri dan anaknya.
Kenapa
para pengungsi ini, termasuk Ahmad, tak bisa langsung dikembalikan ke negara
asalnya?
Muhammad
Bakri, yang bekerja di kantor imigrasi Makassar, berkata kepada saya bahwa
departemennya telah “beberapa kali” menyurati Kedutaan Myanmar. “Tapi, orang Rohingya
tak diakui (di sana),” ujarnya.
Di
Sulawesi Selatan, jumlah imigran yang tercatat per 28 April 2015 sebanyak 1.768
orang dari pelbagai negara. Sementara perkiraan jumlah imigran dari Myanmar
mencapai 300-an orang.
Para
pencari suaka ini tinggal di sejumlah tempat yang telah disediakan UNHCR dan
kementerian hukum dan HAM. Di Makassar, ada rumah detensi di wilayah Bolangi.
Tapi kapasitasnya hanya dapat menampung 89 orang, sementara saat ini jumlah
pengungsi mencapai 500 orang.
Untuk
itulah, rumah singgah sementara dibangun di beberapa tempat, salah satunya yang
ditempati Ahmad dan puluhan imigran lain. Di tempat-tempat inilah para imigran
menunggu hasil dari UNHCR yang bertugas mencarikan dunia ketiga buat mereka.
“Jika
lolos dalam tahap seleksi wawancara dan beberapa persyaratan, maka imigran akan
langsung ditempatkan ke negara tujuan. Kalau tidak, akan dikembalikan ke negara
asal,” kata Bakri.
Di
Indonesia, jumlah imigran yang terdata di 14 provinsi mencapai 12 ribu orang.
Kebanyakan hendak menuju Australia dan Indonesia sekadar tempat “transit
utama.” Tetapi, justru di negara transit macam Indonesia ini mereka tinggal
lebih lama.
“Anda
bayangkan, di Makassar sudah ada imigran yang tinggal sampai 3 tahun, dan belum
mendapatkan kepastian,” kata Bakri.
SELAMA IMIGRAN
ini manjalani masa transit, organisasi internasional antarpemerintah untuk
migrasi (International Organization for Migration) menyediakan akomodasi dan
segala macam kebutuhan. Setiap imigran mendapatkan uang bulanan sekitar
Rp1.250.000, jumlah yang menurut beberapa orang dinilai cukup tinggi.
“Kalau
ada satu keluarga, ayah, ibu dan anak—katakanlah tiga orang, maka satu bulan
itu Rp 3.750.000,” kata Muhammad Bakri.
Tapi
Bakri lupa, bagaimana dengan kondisi Kabir Ahmad yang hanya tinggal sendiri?
Apakah uang bulanan itu cukup?
“Tidak.
Untuk tambah-tambah, saya ikut bantu-bantu tetangga memperbaiki apapun. Jadi
bisa ada beli lauk dan makan lainnya,” kata Ahmad.
Saya
meminta Ahmad membuka lemari pakaian. Ada empat potong kemeja dan beberapa
celana panjang. Ada sajadah digantung di samping handuk yang sudah kumal.
“Kamar
bapak nyaman dan sejuk ada AC-nya,” kata saya.
“Iya,
ini bantuan PBB. Tapi sempit. Karena saya selalu ingat anak. Selalu menangis,”
katanya.
Pada
Januari 2015, Ahmad berusia 44 tahun. Ia menghela nafas dan menatap saya dengan
tajam.
“Saya
sudah tanya orang PBB untuk datangkan istri dan anak saya. Supaya bisa kumpul
lagi. Tapi belum ada jawaban,” katanya.
“PBB
kasih bantuan itu sangat baik. Tapi tidak hidup dengan keluarga … itu menyiksa
dan itu orang PBB tidak tahu rasanya. Mau kembali ke negara saya pun tidak
bisa. Bakal mati.”
Saya
mencoba mencari gambaran bagaimana rasanya terpisah dengan keluarga?
“Seperti
kamu teriris pisau. Dokter hanya mengobati, tapi sakitnya hanya kamu yang tahu
dan rasa,” kata Muhammad, imigran Thailand yang menjadi tetangga kamar Ahmad
dan bersimpati akan nasib para imigran Rohingya.*
* Tulisan ini juga di publikasikan oleh Pindai: http://pindai.org/2015/05/16/imigran-rohingya/
0 comments:
Posting Komentar