Bagaimana rasanya bekerja sebagai buruh di tanah sendiri. Orang-orang di Takalar punya jawabannya, tanah mereka "dirampas" paksa oleh PTPN sejak awal tahun 1970-an.
SABTU 25 Oktober 2014, sejak
pukul 11.00hingga jelang petang, bersama seratusan warga yag tergabung dalam
Serikat Tani Polongbangkeng berkumpul di bawah pohon beringin di
tengah lahan pertanian di Desa Barugaya, Takalar. Mereka duduk
beralaskan tanah dan rumput yang mengering karena kemarau panjang guna mencari
langkah tepat untuk tetap mempertahankan tanah pertanian, yang bersengketa
dengan PT Perkebunan Nusantara XIV Takalar sejak 2008.
Di bawah pohon itu, warga berbagi tempat
dengan puluhan ternak sapi dan kuda yang ikut mengaso.Sebelumnya beberapa
orang membunuh waktu dengan bermain domino, atau
tebak-tebakkan.Beberapa lainnya, membaringkan badan diantara akar
pohon, lalu memejamkan mata.
Hasnawati Daeng So’na tiba-tiba berkeliling,
meminta setiap orang menyumbang Rp2.000 untuk urunan membeli air minum.“Tak ada
terkecuali,” katanya.
Daeng So’na adalah perempuan tangguh. Sekali
waktu saya melihatnya mengurus makanan, atau berdiri di baris paling depan saat
melakukan demonstrasi. Dan beberapa menit setelah uang terkumpul,
diantara kepulan debu di belakang sepeda motornya, dia mengapit
dua kardus air mineral diantara pahanya.“Bagi mi ntu air,” katanya.
Semua orang mengangguk setuju.Mereka
mengepalkan tangan.“Hidup petani.”Anggota Serikat ini mencapai
802 orang dan tersebar di Sembilan desa. Disekeliling mereka terhampar lahan-lahan kering
karena kemarau. Beberapa milik
warga namun sebagaian besar dimiliki PTPN XIV untuk kebutuhan pabrik gula
Takalarberoperasi sejak 1980, mengandalkan lahan warga dalam bentuk Hak Guna
Usaha seluas7.970 hektar.
Jarak Kecamatan Polongbangkeng Utara dari Kota
Makassar, ibukota Sulawesi Selatan, sekitar 50
km atau satu jam melalui perjalanan darat.Dalam
beberapa literatur, pembentukan administratif Polongbangkeng sekira tahun 1816 saat pemerintahan Kerajaan Inggris
meninggalkan Hindia Belanda. Wilayah agraris ini dibelah
bukit dan gunung relatif rendah, diselingi tanah datar yang luas. Ia terhubung
dengan Kabupaten Gowa yang memiliki bendungan terbesar Bilibili, sumber air
minum untuk kebutuhan warga Gowa dan Makassar, beroperasi pada 1999 dari dana
pinjaman Japan International Cooperation Agency.
Sebagian warga Polongbangkeng mengolah lahan itu menjadi ladang
sawah dengan sistem
irigasidan bisa panen dua kali dalam setahun. Sebagian
lainnya bertani dengan mengandalkan curah
hujan, hanya panen sekali setahun. Pada musim sela petani menanam umbi,
sayuran, kedelai, kacang panjang,buah dan tebu.
Kondisi tanah yang subur ini, menarik sebuah perusahaan swasta untuk
mengembangkan tanaman tebu sebagai bahan baku utama produksi gula. Puncaknya
pada 1978, PT Madu Baru yang didirikan dan dimiliki keluarga keraton Yogyakarta
membebaskan beberapa hektar lahan warga. Namun pada 1980, perusahaan yang
dikenal juga dengan nama PT Madukismo tiba-tiba mundur dan membatalkan semua
rencananya. Namun di tahun yang sama, PTPN XIV mengajukan diri sebagai
pengganti melalui SK Bupati Takalar 1980.
Sebagai salah satu perusahaan pelat merah yang beroperasi di Sulawesi
Selatan, PTPN XIV mengelola tiga buah pabrik gula, masing-masing Pabrik Gula Camming
di Jeneponto, Pabrik Gula Araso di kabupaten Bone dan
Pabrik Gula Takalar di Takalar. Total areanya mencapai 14.312 ha.
Setiap ketiga pabrik ini diperkirakan memproduksi gula sebanyak 36.000 ton atau memasok 1,33% komsumsi gula nasional yang
mencapai 2, 7 juta ton.
Pada masa awal, beroperasinya pabrik
gula di Takalar merupakan
salah satu kebanggaan
masyarakat sekitar. Pasalnya, ketika hendak dibangun, masyarakat
dijanjikan akan mendapat pekerjaan yang layak. Prioritas tenaga kerja pun dari
penduduk lokal.Iming-iming itu membuahkan hasil. Masyarakat dengan rela
menyerahkan lahan pertanian mereka
dengan ketentuan sewa selama 25 tahun.
Tahun 1980-1982 dilakukan pengukuran tanah.
Lahan-lahan warga yang memiliki surat P2 – sertifikat dan rincik – dihargai
Rp236.000 dan tanah yang tak memilki surat-surat sah dihargai Rp125.000 setiap
hektar.
Saat pengukuran tanah dilaksanakan Basir Daeng
Toro menjabat sebagai kepala desa di wilayah Ko’mara.Dia ikut mengukur dan
turun langsung ke lapangan.“Pada masa itu semua orang gembira.Kehidupan akan
berjalan lebih baik, karena tanah kami di sewa perusahaan, kami atau palig
tidak anak-anak kami akan bekerja di perusahaan,” katanya.
Namun, harapan tinggallah kenangan.Akhir tahun
1983 masa jabatan Daeng Toro sebagai kepala desa berakhir.Ingin kembali
bertani, namun lahan sudah raib.Akhirnya, dia memilih meninggalkan kampung
menuju Makassar, bekerja sebagai satuan pengamanan (Satpam) di Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo.
Dalam kurun waktu 1982-2004 praktis membuat
warga melupakan lahan mereka untuk dikelola. Setiap hari mereka hanya melintasinya, atau memandanginya dari kejauhan. “Tak ada
yang dapat kami lakukan, kami hanya menunggu hingga waktu sewa itu berakhir,”
kata Daeng Toro.
Membentuk Organisasi
Dua puluh lima tahun berlalu.. Warga pun mulai saling
mengingatkan akan berakhirnya sewa lahan oleh PT Perkebunan Nusantara. Tahun
2006, puluhan warga kemudian membentuk forum tani dan melayangkan surat ke
perusahaan, menggelar dialog dan perundingan, namun tak membuahkan hasil.
Tahun 2008 aksi pertama secara besar pun dimulai. Dari
sinilah warga terus memperjuangkan hak kepemilikan tanahnya, meskipun selalu
saja diwarnai berbagai macam aksi kekerasan oleh polisi dan tentara yang melindungi
perusahaan.
Aksi
demi aksi, yang dilakukan sepanjang tahun
pun, paling tidak telah membuahkan hasil.Akhir tahun 2013, sekitar
800 hektar lahan yang berada di Desa Barugaya berhasil direbut.Warga terlihat
begitu antusias.Tanaman padi sebagai makanan utama, ditanam dan dirawat dengan
baik.Ketika bulir-bulir padi mulai muncul, semua orang berucap syukur.Tak
jarang tanaman itu menjadi tontonan dan buah bibir sepanjang hari.
Saya
kemudian menonton video perayaan pesta panen warga yang dilaksanakan pada Maret
2014.Warga berbondong-bondong menuju lahan.Menggelar tarian syukur, melakukan
pagelaran teater, membakar piong
(lemang), makan bersama, dan bersorak kegirangan.
Ratusan
petani terlihat riang.Beberapa lainnya berlinang air mata karena suka cita.Daeng
So’na misalnya, mengangkut 50 karung beras ke atas rumahnya.Menatap bulir padi
seperti mimpi yang berwujud nyata.“Akhirnya kami benar-benar jadi petani,
karena sudah ada lahan. Namun, ratusan keluarga yang lain belum memiliki. Maka
kami akan terus berjuang,” katanya.
Kegigihan
memperjuangkan lahan mereka, tak lepas dari pendampingan beberapa lembaga non
pemerintah, seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Makassar, perkumpulan mahasiswa, dan Aliansi Gerakan Reformasi Agraria
(AGRA), Lembaga Bantuan Hukum Makassar, KontraS dan beberapa organisasi
lainnya. Mereka mendidik petani yang tak pernah tau berserikat, memberi
pemahaman, menciptakan kesadaran bersama untuk mengerti hukum. “Saya membekali
diri bersama petani lain. Dan kini saya dan teman-teman tahu, jika setiap orang
berhak berkumpul bersama,” kata Daeng Toro.
Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar secara resmi
dibentuk pada November 2009 di Benteng Somba Opu. Dan
hasilnya, pada Rabu 17 September 2014, saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan
di bawah tenda terpal, semua orang terlihat haru.Ada yang berdiri, ada yang
terlihat tertunduk, ada pula menengadahkan kepala, atau juga menutup mata,
Beberapa memegang dada.Saat bait terakhir lagu kebangsaan itu berkumandang, hampir
serentak seperti teriak terdengar suara yang diikuti kepalan tangan; Hidup
Petani.
Saya
berada diantara mereka dan benar-benar menghirup aroma perjuangan.Sekitar 700
orang yang berkumpul.Dari anak muda, orang tua, hingga kaum perempuan.Mereka
datang dari berbagai sudut desa dalam wilayah Kecamatan Polongbangkeng Utara.
Sejak hari itu, selama tiga hari hingga 19 September 2014, organisasi yang
mereka bentuk sejak tahun 2009 bernama Serikat Tani Polongbangkeng (STP)
menggelar Musyawarah Besar ke III di desa Ko’mara.
Rapat
besar itu digelar di halaman dan di bawah kolong rumah.Tiang tenda dari bambu,
kursi plastik dan kopi dalam termos-termos berjejer.Semua terlihat bahagia.Dari
hasil Musayawarah itu mereka memilih 13 orang pimpinan kolektif dengan masa
jabatan 2014 – 2017. Diantara pimpinan kolektifnya tercantum nama Daeng So’na.
Dan yang terpilih menjadi ketua yakni Abdul Hamid Daeng Mone.
Pimpinan
AGRA Sulawesi Selatan, Ismar mengatakan, pembentukan organisasi tani dilakukan
untuk melindungi hak-hak para para petani. Iming-iming tentang keberlanjutan
dan bantuan dari perusahaan harus benar-benar dikawal.“Organisasi tidak untuk
menentang perusahaan.Kami tahu, PTPN adalah adalah aset Negara, namun jika
tidak memihak petani, tentu kita perlu mengingatkannya secara bersama,”
katanya.
Sejak
tahun 2008, Ismar sudah mendatangi Polongbangkeng sebagai pendamping lapangan.
Dia bersama beberapa rekannya dari lembaga lain, melakukan sosialisasi dan
pendekatan. Dia percaya petani yang berdaulat adalah mereka yang bersatu, bukan
bercerai berai.
Ratusan petani, baik yang tua dan kaum perempuan mempertahankan tanah mereka yang akan digarap PTPN IV pada aksi 27 Oktober 2014. @2014 / Eko Rusdianto |
SETELAH LAHAN RAIB,Hasnawati
DaengSo’na akhirnya tak punya pilihan dan meninggalkan kampung. Memilih menjadi
buruh tani dengan upah harian di beberapa
tempat di wilayah Sulawesi Selatan. Upahnya sesuai jumlah panen.Berapa penghasilannya?“Janganmi dihitung yang penting anak bisa
makan,” katanya.
Bagi Daeng So’na kerjaaan menjadi buruh tani
bukanlah hal baru. Di Takalar, kampungnya sendiri, sejak tanah orang tuanya di
ambil alih pabrik gula, dia menjadi buruh di perusahaan. “Sejak SD sampai SMA,
setiap pulang sekolah saya menjadi buruh harian. Menanam dan memotong tebu”.
Upahnya Rp250 per 100 meter untuk menanam dan
Rp2.500 per ton untuk upah menebang. “Kalau saya menanam, sebulan saya dapat Rp20 ribu,” katanya.
Saya pertama kali bertemu dengan Daeng So’na
pada September 2014 saat pembukaan Musyawarah Besar STP yang dilaksanakan di
desa Ko’mara.Ketika hendak mewawancarainya, dia terlihat enggan dan
malu.Alasannya, bahasa Indoensia dia
tak terlalu lancar.
Diantara sesama warga, Daeng So’na dijuluki
sebagai “wanita pejuang” - tentu bersama puluhan perempuan lainnya.“Saya itu
tidak tau berjuang.Saya hanya minta dan mau tanah saya kembali, agar saya dan
teman-teman lain dapat mengolah kembali lahan,” katanya.
Saat itu, Daeng So’na di Kabupaten Bone “Saya
dengar warga di Polongbangkeng mulai bertanya soal sewa lahan yang
jatuh tempo.Saya pikir, kenapa saya mau panen di sawah orang, padahal di
kampung saya punya tanah, jadi saya pulang,” katanya.
Tahun 2009, gelombang masyarakat semakin besar. Warga mulai
melakukan aksi, menahan traktor pengolahan perusahaan.Aktivitas terhenti.Pada
Agustus 2009, konflik pertama pecah. PTPN XIV yang dibantu aparat Kepolisian
dan TNI membubarkan warga dengan pentungan, tembakan gas air mata, dan tembakan
peluru kea rah kerumunan. Sebanyak delapan warga tertembak.Dan tujuh orang
lainnya di tangkap.
Saat aksi itu terjadi, Daeng So’na berada
diantara kerumunan petani.Dia merasakan ototnya mengencang ketika melihat
beberapa kerabatnya terluka, tertembak, lebam karena pukulan, atau melihat
darah mengucur.“Saya marah sekali, saya menangis lihat itu kejadian,” katanya.
Ternyata teror tak hanya berhenti di lapangan
saat aksi terjadi.Pada malam harinya, aparat kepolisian dan TNI melakukan
penyisiran di kampung dan rumah-rumah warga.Nama Daeng So’na masuk dalam daftar
pencarian.Bersama suaminya, Daeng
bantang, mereka menghindar.
Menempuh perjalanan 15 kilometer menuju rumah saudara di kampung lain. “Kalau
siang, saya pulang lihat anak saya.Menjelang magrib saya tinggalkan rumah
setelah saya memasak,” katanya.
“Pernah itu anak saya tanya, nda usahmi lari-lari terus. Tapi saya bilang, inimi resikonya kalau orang mau
benar.Lama-lama anak saya mengerti,” jelasnya.
Di tempat
terpisah, Daeng Sijayaseorang petani lain di Polongbangkeng duduk di
balai-balai bambu di bawah kolong rumahnya. Dia mengurai
ingatannya dengan suara yang
pelan. “Tahun 2009, itu teror paling menakutkan di
Polongbangkeng.Saya tidur di dalam kandang ayam.Tak menggunakan penerangan dan
tidur seperti ayam.Selalu terjaga,” katanya.
“Jika ada cahaya senter, atau cahaya
motor.Atau melihat orang berjalan menuju halaman rumah, maka saya cepat-cepat
berdiri kemudian lari ke belakang rumah,” lanjutnya.
Sepanjang Agustus hingga Oktober 2009, suasana
kampung benar-benar suram.Siang hari tak ada laki-laki yang berani lalu lalang
sendiri.Di malam hari semua lampu rumah cepat padam.Sejak itu, kekerasan akibat
sengketa lahan terus terjadi.Tak terhitung jumlah warga yang mengalami
kekerasan fisik, puluhan terkena tembak, dan intimidasi yang berlangsung tiada
henti.
Duaharisetelah
pertemuan di bawah rindang pohon itu, sekira pukul 09.00 sebanyak 800 orang
anggota Serikat Tani Polongbangkeng, berkumpul di sebuah lahan di kelurahaan
Parang Luara’. Mereka terlihat penuh semangat, berjalan meniti pematang dan menenteng botol-botol air minum.
Tujuan mereka satu, menghentikan proses
pengolahan lahan yang dilakukan PTPN XIV. Namun aparat keamanan dari Polisi Pamong Praja, kepolisian
dan TNI telah bersiap dan menunggu mereka di lokasi.Mereka terihat dengan
santai menikmati bebepa kudapan, meneguk air mineral di bawah tenda besi
berterpal biru.
Ketika warga yang
beranggotakan para petani tua, muda, dan perempuan berdiri di depan traktor,
seluruh orang yang mengasoh di bawah tenda biru itu berhamburan keluar. Aparat
keamanan menenteng senjata, para pegawai PTPN membawa beberapa potongan tongkat
kayu.Mereka berhadap-hadapan. Daeng So’na berada di garis depan, berteriak dan
memberi semangat warga lain. Saya memilih berdiri diantara dua kubu.“Kami ingin dialog,
namun pengolahan lahan harus berhenti dulu,” kata warga.
“Oh tidak bisa,” kata
suara muncul dari kubu perusahaan.
“Enak saja.Mana bisa
begitu.Kalian itu seperti negara saja.Ini tanah negara.”
Beberapa menit
kemudian, di tengah kerumunan massa, Nirwan, sekretaris daerah Takalar, Ketua
DPRD Takalar Muhammad Jabir Bonto, dan Dandim 1426 Takalar Letkol Inf Wirawan
Eko Prasetyo. Mereka mencoba menawarkan solusi.“Sudahlah, program saat ini
setiap keluarga tergabung dalam serikat tani memperoleh lahan dua hektar.Lahan
ini bukan hak milik, tetap dimiliki perusahaan.Harus menanam tebu bukan tanaman
lain,” kata Nirwan.
“Tebu ini pasar
jelas.Negara memerlukan produksi gula tebu 3 juta ton per tahun.Kita hanya
mampu sebagian.Hasil tebu inilah, ibu-ibu dan bapak-bapak beli beras.”
Nirwan melanjutkan
pidato.Dia memgang microphone.“Setelah
ada lahan kerjasama, dibentuklah koperasi. Jadi perusahan akan membeli dengan
harga baik. Pabrik gula ada untuk mensejahterakan rakyat, tidak mungkin
merugikan masyarakat,” kata Nirwan.
“Bagaimana dengan
lahan kami.Kami ingin keluar dari HGU. Sebesar apapun tanah kami, akan kami
garap. Jangan dikuasai PTPN.Kami minta hanya 2.000 hektar itu,” kata warga.
“Itu sulit.Soal tanah
itu berurusan dengan pengadilan.Harap ibu-ibu dan bapak-bapak tahu.Lahan dalam
HGU ini inventaris negara, jangankan 2.000 hektar, puluhan meter tak boleh.Saya
(pemerintah daerah) pernah meminta 30 hektar untuk dikeluarkan dari HGU tapi di
pusat (Jakarta) tak mengizinkan.”
Dandim 1426 Takalar
Letkol Inf Wirawan Eko Prasetyo juga ambil bagian. Dia memgang microphone dan berbicara lantang.Dia
menunjuk-nunjuk warga khususnya laki-laki.“Kalau laki-laki jangan di belakang,
hayo sini bicara.Jangan jadi pengecut,” katanya.
Dia juga mengingatkan
agar sebaiknya warga menerima tawaran dari pemerintah daerah dan perusahaan.Menurutnya,
sistem tersebut memberikan keuntungan kedua belah pihak.“Jika setuju saya kira
ibu-ibu dan bapak-bapak akan hidup baik, perusahaan juga tentu baik.Jadi saling
membantu,” tambahnya.
Menurut dia, adanya
aksi penghalangan untuk menggarap lahan perusahaan memberikan dampak
buruk.“Perusahaan ini adalah aset negara, dan itu sama saja dengan melawan negara,” tegasnya.
Namun warga tak bergeming.
Jelang pukul 12.00
pertemuan tak menghasilkan kesepakatan.Orang-orang berada di kubu perusahaan
memilih istirahat di bawah tenda dan warga di sela-sela pematang, atau
berlindung di bawah pohon.Matahari siang itu begitu menyengat.Beberapa warga
berbagi air minum dan buras untuk penganjal perut.“Sampai kapan kita
menunggu.Kenapa tidak pulang saja,” kata saya di sela-sela istirahat.
“Sampai orang-orang
PTPN itu pulang juga. Kalau kita pulang, mereka akan menggarap lahan. Itu kan
lahannya kita,” kata beberapa orang.
“Kami harap kalian
(para wartawan) jangan pulang dulu. Kalau kalian pulang, saya khawatir aparat
akan semakin beringas, karena sudah tak ada lihat,” jelas warga lain.
Saya memilih
beristirahat di pinggiran sungai yang hampir kering.Empat orang warga laki-laki
memilih turun ke dasar sungai yang berpasir.Menggalinya dengan tangan
telanjang, untuk mencari kerang.“Itu kerang enak di makan.Kalau hari biasa, mana bisa
kita datang mencarinya.Orang PTPN selalu curiga dan banyak pertanyaan,” jawab
seorang warga.
Setelah kami
bersendagurau di pinggiran sungai, seorang warga berteriak memberi arahan untuk
berkumpul.Warga dengan sigap menapaki tebing sungai. Beberapa orang yang
menggunakan kaos PTPN XIV– menurut warga adalah orang luar alias preman
bayaran–, pegawai perusahaan, bersama aparat bergerak bersama. Gelombang ini
dipimpin ketua DPRD Takalar.
Jabir menggunakan
safari hitam dan kopiah hitam.Dia meminta karyawan PTPN menjalankan traktor
pembajak.“Jalankan.Gas-gas biar suara keluar.Satu dua tiga.Hei karyawan PTPN
kesini, halangi warga,” katanya memberi instruksi.
Jabir bergerak dengan
lincah.Tangan menunjuk-nunjuk.
“Mana Pol PP, ambil
barisan.”
Warga tak tinggal
diam. Beberapa kaum perempuan berdiri kembali di depan ban traktor, yang
tingginya mencapai dua meter.
“Allahu Akbar,” seru
beberapa warga.
AKSI INIdipicu
dari peristiwa, pada Sabtu 14
Oktober 2014 di lahan yang sama. Ketika empat orang Karyawan PTPN
mengoperasikan empat unit mobil traktor, mengolah lahan milik Dg. Tarring –
yang masih kosong. Pengolahan itu dikawal 13 orang aparat kepolisian dari kesatuan Brimob yang bersenjata laras panjang.
Setelah lahan Daeng Tarring tergarap, pihak perusahaan kemudian
mengolah lahan milik Rahman Daeng Rani yang telah berisi tanaman ubi jalar.
Padahal sejak tahun 2013 sejumlah lembaga non pemerintah di Makassar dan
Serikat Tani Polongbangkeng pun pernah mengajukan protes atas keberadaan Brimob
di PTPN XIV kepada Kompolnas, atas keberadaan Brimob. Rekomendasi pun
dikeluarkan, sesuai tuntutan warga.
Pertengahan 2013, kondisi memanas lagi. Perusahaan tetap saja
menempatkan Brimob untuk mengamankan proses pengolahan lahan sengketa. Warga
pun protes.Perjanjian lainya yang telah dilakukan bersama Kapolres Takalar,
menyebutkan, PTPN XIV dilarang mengelola lahan yang diklaim milik warga sampai ada
penyelesaian kasus.
Namun
apa daya, sekitar 40 orang petani yang telah berkumpul dipaksa mundur oleh
Brimob. Bahkan ironisnya, Bripka Rahman Santawi malah mengambil alih kerja
pengolahan.Menjadi operator dan menjalankan traktor.“Kami ingin hidup, ini
lahan kami,” kata beberapa petani.
Situasi
semakin memanas dan warga semakin bertambah.Sekitar 100 petani melakukan
perlawanan yang lebih keras.Bripka Rahman meninggalkan kemudi, namun bersama
anggota 12 brimob lainnya mendatangi kerumunan warga dan menodongkan senjata.
“Apa hak mu di sini,” kata Bripka Rahman Santawi dengan nada membentak,
“Tanah
ku ini kodong” kata Daeng Rani.
“Na
rampaski (tanah
kami dirampas) PTPN, mau tongki
hidup. Dan tanah ini masih dalam proses penyelesaian pak,” kata petani yang
lain.
“Pihak
Pemda (Pemerintah Daerah Takalar) sudah menginstruksikan untuk mengolah semua
lahan tanpa terkecuali” kata Bripka Rahman Santawi.
Dan
pengelohan pun tetap dilaksanakan.
Para petani bertahan di depan kendaraan alat berat PTPN IV yang akan menggarap lahan. @2014 / Eko rusdianto |
DAENG SARROmelayangkan senyum pada saya ketika mengaso bersama di
pinggiran sungai yang kering. Wajahnya yang penuh keriput seperti menutupi
rautnya yang lelah. Saat meneguk air dari botol, dia melayangkan kembali pandangannya
ke arah tenda biru milik PT Perkebunan Nusantara XIV.
Dan saat Muhammad Jabir Bonto terlihat berjalan cepat,
diikuti puluhan pegawai PTPN XIV berserta polisi dan tentara, Daeng Sarro
berdiri sigap. Sarung yang memilit badannya, digulungnya hingga setinggi betis.
Orang-orang mulai berseru dan berkkumpul. Tepat di sisi kanan depan ban traktor
pembajak, dia berdiri. Seakan hendak memeluknya.
Beberapa orang terlihat menarik Daeng Sarro dengan kuat,
tapi tak berhasil. Dan seperti sebelumnya diahanya tersenyum, tak berkata
sepatah kata pun. Kakinya yang tak menggunakan alas sudah tertutup debu. “To matoa apa e (orang tua apa ini),”
kata seorang dari pihak PTPN XIV.
“Jammaki disitu
(janganlah ditempat itu - janganlah ikut-ikutan),” lanjutnya.
Saat dialog itu selesai, Daeng Sarro pun telah tercerabut
dari pegangannya. Orang yang menariknya lebih kuat. Dia terus ditarik hingga ke
belakang traktor pembajak. Dan entah mengapa dan dengan cepat dia berdiri
kembali di depan ban traktor di sisi kiri.
Adu mulut antara warga dan pihak PTPN XIV belum berhenti.
Beberapa orang saling dorong. Dan tiba-tiba Daeng Sarro terhempas ke tanah. Tiga
orang mengerubuninya termasuk Jabir Bonto yang memegangi bajunya dan terus
menariknya.Kancing baju kemeja terlepas. Badan pun penuh debu.
Seorang perempuan yang melihat kejadian itu, berteriak
histeris. Dia berlari dan menyingkirkan orang-orang yang mengerubuni Daeng
Sarro, lalu dengan sigap memeluknya. Beberapa kali dia mengucapkan kata orang
tua untuk mengingatkan beberapa orang perusahaan. “Ka loyomi itu. Tarikmi
semua,” kata seorang polisi yang berdiri sekitar lima meter dari kejadian.
Jabir semakin kalut.Dia berjalan
atau berlari dan tak berhenti bicara.Dia ikut memburu warga dan berusaha
menangkap.
“Mana polisi, tangkap
saja mereka.Cari yang provokator,” teriak Jabir.
“Apa lagi, hayo
bergerak.Ini kita sudah dengan ketua Dewan,” kata tentara yang memegang
tongkat.
“Kasih jalan saja itu
traktor, tidak mungkin mereka bertahan,” teriak yang lain.
Situasi tak
terkendali.Warga yangmelintas “di garis” pembatas berusaha ditangkap polisi, tentara, dan pegawai
PTPN.Saya melihat beberapa kali terjadi pemukulan, tak terkecuali perempuan
didorong keras hingga terhempas.Saya terkejut ketika tentara mengeluarkan
pistol dan mengancam warga.“Ayo tembak saja,Pak. Tembak itu.!”
Jelang pukul 15.00
kondisi mulai tenang.Warga kelelahan. Puluhan pasukan Brimob yang membawa
senapan lars panjang, membuat formasi mengelilingi warga.
“Lihat, takut itu mereka.Hayo
jalankan traktor.Mana orang PTPN,” perintah Jabir.
“Jika traktor sudah
bekerja dan ada yang menghalagi, itu artinya melawan negara dan merugikan
perusahaan,” lanjutnya.
Sebelum aksi ini
menjadi ricuh, saya sempat menemui Jabir. “Mengapa permintaan warga untuk lahan
tak dikeluarkan saja dari HGU,” tanya saya. “Oh itu tidak bisa. Tadi kan sudah
dijelaskan. Ingat, hari ini kita tidak bicara soal itu, karena itu urusan
hukum. Warga juga tak punya sertifikat kan. Sekarang kita bicara tentang lahan
kerjasama.Itu saja.Jangan bicara yang lain,” kata Jabir.
Akhirnya Jabir benar-benar
melaksanakan apa yang dikatakannya. Dua orang petani, Daeng Mangun dan Daeng
Aming ditangkap dengan tuduhan menghalang-langi pengelolaan lahan yang akan
dilaksanakan oleh PTPN XIV.
Empat hari
setelah aksi itu, dua warga Polongbangkeng pun masih dalam tahanan. Dan PTPN
XIV yang dikawal aparat gabungan dari polisi dan tentara yang berjumlah sekitar
200 orang, dengan tenang melakukan pengolahan lahan.
Sampai kapan
konflik ini akan berakhir? Daeng So’na hanya tersenyum dan menerawang. “Nda taumi itu. Tapi kami mau tanah kami
kembali. Biar kami olah sendiri. Kalau itu besok-besok ada kerjasama dengan
PTPN biarmi, tapi biar kami yang
menentukan mau tanam apa, jadi tanah bukan punya PTPN lagi,” katanya.
“Itue, sekarang
saja ada yang tanam tebu. Tebunya sudah di PTPN tapi belumpi dibayar-bayar.
Adami satu tahun lebih kayaknya,” lanjutnya.
Yang jelas, kata
Daeng So’na, petani di Polongbangkeng Utara tak menginginkan konflik. Hanya menyita
waktu dan tenaga. Dia lalu merentangkan sekian banyak aksi yang dilalui, dan
semua diwarnai kekerasan. “Bayangkanmiitu.
Kita itu nda mau berkelahi. Kami ini
(petani) hanya mau tanahnya kembali yang sudah di sewa PTPN.”
* Tulisan ini juga dipublikasikan oleh Pindai : http://pindai.org/2014/11/11/kami-hanya-mau-tanah-kami-kembali/
* Tulisan ini juga dipublikasikan oleh Pindai : http://pindai.org/2014/11/11/kami-hanya-mau-tanah-kami-kembali/
0 comments:
Posting Komentar