Yolan, memeriksa biji kopi di penjemurannya di wilayah Kotu, Enrekang. |
Kopi menciptakan kemakmuran dan perang kekuasaan.
Jabier Amin selalu bahagia dan
senang ketika melihat hamparan kebun, memeriksa pohon-pohon, menelisik buah,
mengawasi pemetik hingga proses pemilahan biji kopi. Ia kini berusia 61 tahun, dan
mulai bertanya-tanya pada diri sendiri tentang pesona kopi, yang membuatnya
selalu lupa, jika pagi bisa beranjak sore.
Ia alumni Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan bekerja di PT Toarco Jaya, anak perusahaan Key Coffee yang berasal dari Jepang.
Perusahaan ini berdiri sejak tahun 1976 di Toraja. Jabier mencintai
pekerjaannya dan tak sedikitpun terpercik dalam hati untuk mencari penghasilan lain.
Bekerja sebagai seorang ahli tanaman kopi di atas puncak pegunungan Padamaran,
Kabupaten Toraja Utara. Menurutnya, kebun kopi ibarat lahan praktek yang
menggiurkan. “Saya bersentuhan langsung dengan tanah. Teori-teori yang saya
dapatkan di kampus saya praktekkan,” katanya. “Apakah ada kebahagiaan lain
ketika bekerja sesuai dengan jurusan dan kemauan. Saya kira tidak.”
Pada Rabu
sore, 18 Juni 2014, Jabier berada di ruang kerjanya di Rantepao. Saya
menemuinya saat ia baru saja kembali menemani beberapa orang Jepang berkeliling
kebun. Saya tak melihat raut kelelahan di wajahnya, bahkan dengan penuh
semangat dia berkisah.
Jabier Amin
adalah seorang teman ngobrol yang
asyik. Tak butuh waktu lama bagi setiap orang akan dengan cepatnya jatuh cinta
pada kopi. “Coba kau hirup dulu, kemudian cicipi. Bagaimana rasanya?,” katanya.
“Ada asam, sedikit pahit, tapi tak membuat tenggorokan gatal,” kata saya.
“Sekarang kau campurkan gula dan rasakan perubahan rasanya,” lanjutnya.
Saya menolak
dengan halus, bagi saya mencicipi kopi yang enak tak harus menggunakan gula.
“Apakah ini Arabica?,” tanya saya. “Ya ini Arabica. Disini kita tak bicara
tentang Robusta. Kamu tahu, orang Jepang dan beberapa penikmat (bukan peminum)
kopi di negara mana pun, saat mencicipi kopi memang tak menggunakan gula.
Karena dapat merusak citarasa. Dan inilah yang membuat Kopi Toraja terkenal,”
kata Jabier Amin.
Saya
tertegun agak lama, dan dengan alasan itulah mengapa saya mengunjungi Toraja
untuk melihat langsung rupa dan wujud kopi yang sejak berabad-abad lalu
telahmenjadi buah bibir masyarakat di Nusantara. “Om tahu (saya menyapa Jabier
Amin dengan kata Om), di Makassar warung kopi menjamur dengan hebat. Dan setiap
warung kopi mengatakan kopi mereka berasal dari Toraja,” kata saya.
Jabier Amin
tersenyum. Apakah itu jawaban yang sinis, atau jawaban gembira. Tak ada yang
pasti.
Di Makassar,
booming warung kopi terjadi tahun 2005.
Menggunakan bangunan ruko atau pun rumah-rumah sederhana. Tampilan dan desain seadanya,
meja ditata berhadap-hadapan dengan kursi plastik, dengan pelanggan yang
berjubel dari semua kalangan usia dan pekerjaan. Namun, tak ada yang dapat
menghitung jumlah pasti warkop yang tumbuh di Makassar. Beberapa orang hanya
bisa memperkirakan; mencapai ratusan bahkan menghampiri seribu kedai.
Dari puluhan
warkop yang saya datangi, si pemilik selalu punya jawaban seragam; bahan baku
kopi berasal dari Toraja. Ironisnya saya tak menemukan satu pun dari mereka
yang mampu menjelaskan, mengapa kopi Toraja begitu populer?
PADA JUNI 2014,
saya mengunjungi Toraja, sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bus dari
Makassar. Toraja adalah wilayah yang cantik, dikelilingi pegunungan yang
menjulang tinggi. Rumah-rumah panggung yang bersahaja, dengan atap menyerupai
perahu.
Saya meliuk-liuk
memasuki jalan desa yang berangkal batu dan tanah merah yang lengket. Saya
ingin melihat kebun-kebun kopi masyarakat yang terkenal itu. Dan saya sedikit
kecewa, sebab tanaman kopi di Toraja bukanlah hamparan, melainkan diselipkan di
antara tanaman lain, di halaman depan atau belakang rumah, bahkan dijadikan pembatas
kebun.
Sejak abad
16 para ahli sejarah menyepakati Toraja merupakan wilayah pertama yang menanam tanaman
kopi di Sulawesi Selatan, diperkenalkan melalui orang-orang dari Kerajaan Gowa.
Salah satu referensi yang menguatkannya adalah Lontaraq Bilang – catatan harian kerajaan Gowa – dalam literasi itu
dilukiskan bahwa orang-orang Gowa berlayar membawa kopi menuju Toraja. “Jadi
orang Gowa berlayar menuju pelabuhan Suppa (sekarang wilayah Parepare),
kemudian berjalan kaki melewati pegunungan Enrekang menuju Toraja,” kata
sejarawan Universitas Hasanuddin, Edwar Poelinggomang.
Tanaman kopi,
kata Edwar, dibawa pertama kali oleh para saudagar Arab yang mendatangi
Makassar. Diperkenalkan sebagai sebuah minuman kekuatan dan penambah vitalitas,
membuat mata terjaga dan bahkan tak tidur. Dengan cepat, kabar mengenai khasiat
kopi pun tersebar. Namun untuk
membiakkannya, dibutuhkan tempat tinggi dan bersuhu dingin. Dan Toraja memenuhi
kriteria itu.
Pada masa
itu, Gowa dan Toraja memiliki hubungan yang harmonis. Dalam pelantikan
raja-raja Gowa, selain menggunakan pakaian kebesaran dan sebuh badik, maka seorang
raja harus memiliki parang Sudanga’
yakni pusaka peninggalan Lakipadada – seorang yang dianggap To Manurung (manusia pertama) dari
Toraja. “Saya kira pembentukan pemerintahan di kerajaan Gowa pada masa-masa
awal ada hubungannya dengan Toraja. Dan bahkan sangat dekat, seperti hubungan
kekeluargaan yang jauh,” Kata Edwar.
Abad 18, kopi
menjadi komuditas yang sangat penting untuk masyarakat Sulawesi Selatan.
Dikonsumsi oleh semua kalangan tanpa membedakan kelas sosial. Kopi pun menjadi
minuman penambah kekuatan untuk pasukan kerajaan dalam menghadapi peperangan. “Jadi
di Sulsel, dalam catatan kerajaan, kopi ditanam dan dikonsumsi untuk masyarakat
dan perdagangan bukan sebagai minuman kelas bangsawan,” kata Edwar.
Menjelang
abad 19 kopi mencapai masa puncak. Dias Paradadimara, sejarawan Universitas
Hasanuddin yang pernah meneliti tentang tata niaga kopi di Sulsel, mengatakan
jika “mutiara hitam” itu adalah penyelamat utama perdagangan Indonesia sepanjang
abad 19, jauh sebelum perkebunan gula dikembangkan pemerintah Hindia Belanda. “Suplai
terbesar kopi masa itu adalah Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi,” kata Dias.
Di Sulawesi
Selatan, kata Dias, trend kopi yang
meningkat membuat persaingan perdagangan, antara kopi di wilayah Selatan di
sekitaran Wajo, Sidenreng, Camba, dan sebagian Sinjai. Sementara wilayah Utara
adalah Toraja dan Enrekang.
Kerajaan
Sidenreng yang memiliki pelabuhan Bungin, memasarkan kopi dengan nama Kopi
Bungin. Sementara pesaing lainnya yakni kerajaan Bone bersama pedagang Arab,
berusaha merebut pasar kopi melalui pelabuhan Palopo.
Secara geografis,
Toraja sebagai penghasil kopi utama dan terbaik sangat dekat dengan Palopo
(kerajaan Luwu), namun mereka memilih membawa kopi menuju pelabuhan Bungin. Menurut
Edwar Poelinggomang, pada abad 19 kerajaan Luwu tak lagi diperhitungkan dalam
kancah perdagangan,karena letaknya yang kurang strategis di teluk Bone.
Karena itu, persaingan
untuk menguasai perdagangan kopi membuat Kerajaan Luwu bekerjasama dengan
Kerajaan Bone melancarkan serangan ke Toraja. Perang kopi ini kemudian dikenal dengan
nama penyerbuan Songko Barong.
Namun,
Toraja melalui kerajaan Sangalla yang menjadi wilayah utama perkebunan kopi memberikan
perlawanan terhadap Bone dan Luwu. Ketidakpatuhan itu pun semakin ditunjukkan
dengan tetap menjual kopi melalui kerajaan Sidenreng dan Wajo. “Jadi masa itu,
kopi ditanam sebagai sebuah alat barter, untuk persenjataan. Bukan untuk konsumsi
sebab tradisi meminum kopi muncul diera belakangan,” kata Dias Paradadimara.
Sidenreng
dan Wajo pada awal abad 19 merupakan pasar potensial dalam perdagangan senjata
secara bebas. Pengaruh ini muncul saat Pulau Penang tahun 1776 dibuka menjadi
pelabuhan bebas dan akhir abad 18 Inggris membuka Singapura. Karena pengaruh
itulah, maka Sidenreng melalui Pelabuhan Bungin memiliki akses langsung pasar.
“Masa itu Makassar menjadi pelabuhan yang sangat penting dan kuat, seluruh
tanaman kopi dari wilayah timur Indonesia, dan beberapa dari Sinjai dan Gowa dikapalkan menuju Batavia
kemudian ke Singapura. Namun untuk kopi melalui
Pelabuhan Bungin, saya kira tidak melalui Makassar,” kata Dias.
Meredupnya Pasar Kopi
Tahun 1882, pasokan
kopi secara internasional tiba-tiba berkurang. Harga kopi jatuh pada titik
terendah karena serangan penyakit, yang menyebar melalui Srilanka. Semua
tanaman kopi yang berada di daratan rendah mati, termasuk semua titik
perkebunan kopi di wilayah Selatan Sulawesi Selatan. “Dan kopi yang bertahan
adalah yang berada di daerah ketinggian, termasuk Toraja dan Enrekang,” kata
Dias Paradadimara.
“Saya kira
dari sini awalnya beberapa petani mengganti tanaman kopi menjadi cengkeh atau
komuditas lain yang lebih menjanjikan,” lanjut Dias.
Di Sulawesi
Selatan, tanaman kopi tumbuh atas inisiatif dan kemauan masyarakat sendiri,
berbeda dengan Jawa, dimana mayoritas komuditas yang ditanam melalui sistem dan
program pemerintah atau yang lebih dikenal dengan sistem tanam paksa.
Melihat
kemunduran komuditas kopi, pemerintah Belanda mengenalkan kopi varian baru
bernama Robusta. Jenis kopi yang tahan hama dan penyakit, dan mampu tumbuh dengan
baik, di wilayah daratan rendah dan tinggi. Tanaman kopi inilah yang dengan
cepat kembali menyebar di Indonesia termasuk Sulawesi Selatan.
Robusta yang
kemudian menjadi bahan dasar utama pembuatan kopi dalam skala besar untuk
supermarket dengan beragam campuran, sesuai citarasa daerah masing-masing,
seperti kopi Americano, Italiano, dan
beberapa lainnya. Namun, demikian harga kopi Robusta yang tetap rendah mengakibatkan
beberapa kebun kopi di Sulawesi Selatan terbengkalai.
Tingginya
pasokan Robusta masa itu, kata Edwar, membuat pemerintah Belanda menjalankan
politik komuditas, yang mengatakan kopi jenis Arabica adalah tanaman imperior alias kopi kelas rendahan. Tidak
seperti Robusta yang merupakan kopi kelas superior.
Namun secara
diam-diam, kerajaan Gowa yang telah memiliki hubungan dagang dengan Singapura
sebagai wilayah pendudukan Inggris, dapat menjual langsung kopi Arabica dari
Toraja dan Enrekang sebagai kelas superior.
“Belanda itu kan, memang punya kecenderungan membeli harga dengan murah dan
menjualnya dengan harga tinggi. Jadi dikatakannya Arabica itu tidak
berkualitas,” katanya.
Di kalangan
bangsawan di wilayah kerajaan Bone, karena gagal menguasai pasar kopi Toraja,
meminta penduduk lokal menanam kopi dan kerajaan menjadi pembeli utama, namun dengan
harga yang sangat murah, yakni 27 gulden per pikul atau sekitar sekitar 17 kg. Dan
akhirnya sekitar tahun 1847 kebun-kebun kopi di Sulawesi Selatan benar-benar
terlantar.
Periode
kemunduran kopi kedua, terjadi ketika di Indonesia khususnya Batavia (sekarang
Jakarta) merebak penyakit sampar – yakni semacam penyakit muntaber - dan kemudian dikaitkan dengan kebiasaan
meminum kopi. Bahkan dalam sebuah penelitian, ditemukan beberapa masyarakat
Tionghoa yang mengkonsumsi teh tak tertular penyakit sampar. “Dengan alasan itulah
teh kemudian menjadi komuditas unggulan mengalahkan kopi dan rempah-rempah,
bahkan Inggris yang paling utama berjuang merebut pasar teh, dan membuat perang
candu,” kata Edwar.
Buntutnya teh, yang telah dikuasai oleh Inggris melalui
beberapa daerah jajahannya, memunculkan revolusi Amerika dengan membuang
kotak-kotak teh Inggris. “Sejak saat itu, Amerika mendeklarasikan menolak
meminum teh, melainkan kopi,” kata Dias Paradadimara.
Pada dekade
tahun 1880-1990 perubahan permintaan komuditas dari hasil alam membuat posisi
kopi semakin tertekan. Kopi yang hanya dikonsumsi masyarakat tertentu
menjadikannya semakin langka. Di Sulawesi Selatan, masyarakat beralih membuat pelumas
alam (oli) dan membudidayakan kelapa sebagai bahan utama pembuatan kopra.
Saat penduduk nusantara terlibat perang sebagai upaya perebutan
kemerdekaan hingga pasca perang tahun 1940-an kebun kopi nyaris tak pernah
dibicarakan lagi. Dan ironisnya, ketika wilayah Jawa sudah mulai
menasionalisasi beberapa perkebunan kopi peninggalan Belanda, di Sulawesi
Selatan tak ada kebun khusus. Bahkan perang pun masih berlanjut.
Adalah pemberontakan Kahar Muzakkar (1950-1965), yang lebih
dikenal dengan nama Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berafiliasi
dengan Kartosoewirjo di Jawa Barat membuat malapetaka yang berkepanjangan di
Sulawesi Selatan. Masyarakat yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan tak
dapat bersilaturahmi. Muncul semacam garis imajiner, antara wilayah DI/TII dan
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Mahade Tosalili yang mengalami langsung pergulatan masa
DII/TII itu, mengatakan pada saya, berkebun untuk keperluan sendiri sangat
sulit, apalagi mengunjungi kebun yang berada di wilayah pegunungan. “Kita bisa
dibunuh jika ketahuan,” katanya.
Prof. Halide
seorang guru besar Ekonomi dari Universitas Hasanuddin yang menggeluti
perdagangan abad 19 di Makassar, menyetujui pandangan itu. “Salah satu
penghasil kopi adalah Enrekang dan Toraja. Saat pemberontakan DI/TII Enrekang
dan Palopo menjadi basis utama yang mengapit
wilayah Toraja. Jadi akses perdagangan orang Toraja jelas terputus,”
katanya.
Kebangkitan Kopi
Tahun 1950,
permintaan kopi Sulawesi Selatan untuk ekspor dari berbagai belahan dunia
meningkat. Namun, permintaan tak dapat dilaksanakan. Akses perdagangan antar wilayah
terputus karena pemberontakan DI/TII. Toraja sebagai wilayah utama penghasil
kopi tak memiliki akses pasar.
Jalan-jalan
besar, yang menjadi basis utama pasukan DI/TII khususnya Enrekang dan Palopo,
menjadi jalur yang menakutkan. Selalu ada penghadangan hingga perampasan. Bahkan
beberapa jembatan yang menghubungkan jalur-jalur utama antar wilayah telah
dihancurkan. C. Van Dijk dalam Darul
Islam Sebuah Pemberontakan, menuliskan tahun 1950-an ada beberapa daerah
yang bahkan menderita kekurangan pasokan pangan. Dan pada akhir tahun 1963
dilaporkan terjadi kekurangan pangan di seluruh Sulawesi Selatan.
Namun,
setelah masa pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan berakhir tahun 1965,
Prof. Halide ditunjuk pemerintah Indonesia menjadi Kepala Departemen
Perdagangan Dalam dan Luar Negeri untuk Wilayah Makassar. Tugasnya adalah
mengawasi dan memberikan pelayanan untuk komuditas-komuditas dengan nilai ekspor.
“Kebun-kebun dan ketakutan orang-orang ke kebun, berangsur membaik. Para petani
mulai menggarap lagi, terutama padi dan tentu saja komuditas kopi,” katanya.
“Saya ingat
masa itu, Makassar mengekspor kopi sesuai permintaan. Tujuannya adalah Eropa dan
Amerika dan paling kurang Sulawesi Selatan mengirim 10 ton,” katanya.
Saat itu,
kualitas dan standar kopi untuk ekspor dilakukan di Makassar dengan proses
sortir manual. Biji-biji kopi yang rusak disisihkan untuk perdagangan dalam
negeri, sementara biji kopi yang sehat akan diekspor. “Saat itu merk dagang ekspor
untuk kopi yang berasal dari Sulawesi Selatan adalah Kopi Kalosi,” kata Halide.
Kalosi
adalah sebuah nama daerah di wilayah pegunungan Kabupaten Enrekang. Pada masa itu,
Kalosi dianggap sebagai penghasil utama kopi dibanding Toraja. Namun
pertentangan itu, tak memiliki referensi yang kuat. “Saya kira, pada masa itu,
orang-orang Kalosi lah yang awalnya bekerja sebagai pedagang ulung. Dari
sinilah kemudian muncul nama Kopi Kalosi,” kata Litha Brent seorang pengusaha
dan eksportir kopi sejak tahun 1970.
Jauh sebelum
itu, masyarakat Jepang sudah mengenal kualitas kopi Toraja sejak tahun 1932. Dan
atas dasar itulah, awal tahun 1970, Key
Coffee melalui PT Toarco Jaya membawa para peneliti mengunjungi Toraja. Dan
seperti ucapan bingo, mereka
menemukan kopi di kebun-kebun rakyat. “Tahun pertama, kami mengumpulkan kopi
dari Toraja dan Enrekang. Kami berpikir, rasa dan karakter kopi di dua wilayah ini
sama,” kata Jabier.
Toarco mendapatkan
lahan seluas 530 ha dengan HGU dari pemerintah Indonesia. Tahun 1976, Toarco
memulai penanaman kopi, dan memberikan masyarakat pendidikan serta cara
pengelohan kopi yang benar. Tahun 1977, Toarco mendaftarkan Toraja Arabica
Coffee sebagai merk dagang internasional. Dan ekspor pertama dilakukan tahun
1979, dalam bentuk green bean menuju Jepang.
Dan sejak
ekspor pertama itu, permintaan kopi pun terus meningkat. Setiap tahun Toarco
membutuhkan sedikitnya 600 ton. Bahkan pada tahun 1991, Toarco pernah mengirim
1.300 ton green bean.
Perkembagan
dan pasar kopi untuk jenis Arabica dalam 20 tahun terakhir sangat mahal karena
pasokannya menjadi langka. Pelanggan yang sedikit namun menyasar kelas elite,
membuat kopi Toraja mendapat pangsa pasar sendiri.
Dias
Paradadimara mengatakan, sejak abad 19 kopi dari Sulawesi Selatan khususnya
Toraja selalu memiliki harga yang paling tinggi. Menurut dia, Sulawesi yang
secara geologis memiliki tanah dengan struktur tua mejadikan kopinya memiliki
kekhasan sendiri. “Jadi kopi yang hidup pada formasi tanah tua, rasa kopi lebih
kompleks,” katanya.
Namun dilain
sisi, kata Jabier Amin, biaya produksi yang tinggi untuk kopi Toraja
mendorongnya menjadi mahal. Perbandingannya untuk satu hektar produksi kopi di
Sumatera dan Jawa mencapai hingga 700 kg, sedangkan di Toraja paling maksimal
hanya 250 kg/ha.
Tak hanya
itu, untuk memetik buah ceri setiap pohon
kopi di Toraja dibutuhkan waktu hingga 12 kali. Dibanding Jawa yang hanya enam kali
petik. Untuk kondisi alam pun, Toraja mendapat pasokan hujan yang tiada henti
hingga mencapai 3.500 milimeter per tahun. Bahkan pada tahun 2010, curah hujan
mencapai 5.000 milimeter yang mengakibatkan ekspor kopi tak ada pada tahun
2011.
Menjelang
tahun 1990-an perusahaan pembuat kopi Starbucks dari Amerika menciptakan tren
baru dalam menikmati kopi yakni speciality coffee (kopi khusus).
Citarasa kopi tidak hanya mengandalkan racikan namun mengikutkan citarasa
daerah asal. “Sekarang orang tidak lagi mencari kopi Arabica atau Robusta
melainkan mencicipi kopi Gayo, kopi Toraja, Mandailing, Papua atau Brasil,”
katanya. “Dan saya kira Toraja, menikmati munculnya boom kopi ini. Karena kekhasan yang muncul itu.”
Kini,
lahan-lahan kopi yang ada sejak masa lalu mulai menggeliat lagi. Di Toraja
setidaknya ada sembilan titik perdagangan kopi secara tradisional. Para petani dengan
pengetahuan seadanya memanen kopi secara tradisonal. Mengupas kulit ceri dengan alat seadanya dan menjemur kopi mengandalkan keadaan alam. (eko
rusdianto)
*Laporan ini juga muncul di Majalah Historia edisi Juli 2015.