Sebuah peringatan untuk masyarakat sekitar. Dengan menggunakan warna khusus PT Vale, di areal kontrak karya perusahaan. |
Laporan kandungan nikel di wilayah Sulawesi sudah dimulai sejak Belanda. Urung dikeruk karena Perang Dunia II dan gangguan pergolakan Darul Islam Indonesia.
Ada masa ketika Malili – pusat Kabupaten Luwu Timur – begitu
ramai pendatang. Helikopter dan orang-orang asing silih berganti berdatangan.
Mereka berjalan kaki dan menerobos hutan. Mendaki gunung Bulubalang dan melihat
cebakan nikel.
Mari melihat muasalnya: itu bermula dari Kruyt, seorang
bekebangsaan Belanda, misionaris sekalgius seorang peneliti lapangan tahun 1901.
Dia mencatat kandungan nikel yang tersebar di selangkangan pulau Sulawesi (kini
meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah). Dia meneliti
bijih besi di pegunungan Verbeek.
Lalu tahun 1909, Abendanon geolog Belanda, menemukan bijih
nikel di Pomalaa. Selain itu dia juga mengumpulkan beberapa contoh batuan di
daerah Sorowako tahun 1915. Lima tahun kemudian melalui Jawatan Pertambangan
Hindia Belanda, dilakukanlah eksplorasi dan eksploitasi percobaan.
Kabar itu kemudian di dengar Inco Ltd, perusahaan pengolah
nikel di Kanada. Dia mengirim geologisnya bernama Flat Elves melakukan studi
kelayakan. Namun dalam rentang 1935-1939 dua perusahaan swasta sudah kecantol dengan kandungan nikel.
Masing-masing Minjbouw Maatschappij
Celebes (MMC) dan Oost Borneo
Maatschappij (OBM).
OBM mengeksplorasi wilayah Pomalaa, dan berhasil mengirim
150.000 biji nikel ke Jepang. Sementara MMC masih melakukan eksplorasi di
wilayah Bulubalang, mengerahkan sekitar dua ribu buruh. Beberapa tahun
kemudian, perusahaan ini mengirimkan 500 ton bijih nikel ke Jepang.
MMC bahkan menemukan cadangan bijih nikel sebanyak 300.000
ton berkadar 3,5-4,0 persen di Malili hingga Sorowako. Pada masa inilah INCO
Ltd, melakukan penjajakan untuk melakukan kerjasama. Namun terhalang kecamuk
perang dunia II. Selanjutnya kerjasama juga urung terjadi karena 1940-an
Indonesia sedang dalam perang kemerdekaan.
Setelah masa pendudukan Jepang (1942-1945), eksplorasi
Pomalaa berlanjut oleh perusahaan Sumitomo Kabusuki Kaisha. Kelak, setelah
Sorowako di tambang, Jepang lah yang menjadi titik pengiriman utama dengan
perusahaan yang sama.
Dari sinilah, tabir lapisan nikel terbuka.
Menyisir
Sorowako
Berkendara melalui jalur Malili, Karebbe, menembus
Balambano, lalu Wasuponda dan berakhir di Sorowako, seperti sedang menarik
sisir raksasa. Itu menyapu setiap gugusan undakan pegunungan Verbeek yang kaya
akan mineral nikel.
Pada masa awal, kegiatan eksplorasi nikel di kawasan itu,
jalan lurus yang saya ibaratkan menarik sisir, belum ada. Melainkan, memutar
dari Malili, menuju Ussu, Tole-tole, Wasuponda, Tabarano, Ranteloka, lalu
menurun ke Timampu, dan mendaki ke Sorowako. Menempuh jalur lama itu mencapai 4
jam.
Ketika perusahaan memasuki kawasan Sorowako, mereka membuat
jalan lurus dengan jarak tempuh hanya sekitar 1-1,5 jam. Jalur perdagangan awal
akhirnya mati. Kampung tua Matano, yang dikenal sebagai bagian dari warisan agung
para penempa besi, ikut tenggelam.
Berdiri di dekat tugu perbatasan Kecamatan Malili dan
Wasuponda, di jalan baru – dalam istilah setempat – di bawah kaki ada sungai
Larona serupa danau kecil yang tak mengalir. Airnya ditampung untuk memenuhi
DAM di PLTA Karebbe.
Karebbe adalah nama kampung tua. Beni Wahju, geolog yang
semula bekerja untuk Djawatan Geologi di Bandung, menjadi orang-orang awal
dalam eksplorasi. Dia datang ke Malili dan bermukim di rumah Camat. Dia menelusuri
rute buruk dengan jalanan yang rusak karena dirusak pasukan pergolokan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kahar Muzakkar. Pembongkaran dan
perusakan jalanan, pada masa pergolakan memang lazim dilakukan. Selain untuk
memutus akses darat, juga digunakan sebagai pengikat rasa senasib antar
pasukan. Bahkan para pasukan pergolakan membuat sebuah lagu.
Pulau
ditebang// jembatan dirusak//telepon diputus//gurilla//sang gurilla//gurilla//
gurilla Sulawesi
Tua
dan muda// laki dan wanita// bersatu padu dalam gurilla// mengancam// membasmi
PKI// itulah sifat kita// gurilla Sulawesi
Inco
Bermula
Ratih Poeradisastra dan Bambang Haryanto dalam B.N Wahju, Dari Sorowako Jadi Tokoh
Pertambangan Nasional, menuliskan ketika Soeharto berkuasa pada 1966 Pemerintah
Indonesia membuka diri untuk penanaman modal asing. Pada 10 Januari 1967
diterbitkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing.
Kemudian pada 2 Desember 1967 terbit lagi Undang-undang
Nomor 11 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Aturan dianggap sebagai babak
baru dalam eksplorasi sumber daya alam, yang dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1969.
Hadirnya peraturan itu, disabut baik oleh negara yang
bergerak dalam pertambangan. Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS). Menteri
Pertambangan Ir.Armunanto menunjuk Ir.Hitler Singawinata sebagai manager proyek
tambang nikel Malili pada 1965-1968. Hasil penelitian itu kemudian, oleh
pemerintah ditenderkan.
Ada enam perusahaan yang tertarik. INCO Ltd dari Kanada, Societe
Le Nickel dari Prancis, MITI/Sumitomo dari Jepang, Kaiser Aluminium dari
Amerika Serikat, US Steel dari Amerika Serikat, dan Sherrit Gordon dari
Kanada.
Pemenangnya, diumumkan tahun 1968, dan menyatakan bahwa INCO
Ltd. adalah yang paling layak. Hal tersebut, tidak begitu mengherankan sebab
Beni Wahju dan Hitler sudah saling akrab dan telah mengantar geolog dari INCO.
Tahun yang sama pada 27 Juli Kontrak Karya PT Inco ditandantangani. Dan tahun
1978 memulai produksi komersil pertama.
Awalnya PT Inco – sekarang PT Vale – mendapat hak konsesi
6,6 juta hektar. Lalu secara perlahan dilakukan pelepasan dan saat ini area
konsesi perusahaan 118.453 hektar dan mendapatkan Kontrak Karya hingga 28
Desember 2025. (sumber; http://www.vale.com/indonesia/BH/aboutvale/history/pages/default.aspx)
Saat ini, pertambangan nikel di Sulawesi, tersebar di ratusan titik. Dari mulai
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Tenggara. Ijin pertambangan
itu, baik dikelola secara legal maupun illegal. Cebakan nikel itu, menunjukkan
jika Indonesia memiliki 15% cadangan nikel dunia.
Kini PT Vale – sebelumnya PT Inco - selama 51 tahun melakukan penambangan di
wilayah Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki dua sisi mata pedang.
Selain membuka akses wilayah hingga pendidikan, perusahaan ini juga terus
dirongrong persoalan sosial hingga lingkungan.
Tahun 1973, ketika ketika harga nikel melambung naik, dari
US$ 3 menjadi US$ 12 per barel, perusahaan melakukan pembangunan PLTA. Meski
negosiasi dengan PLN mendapatkan jalan buntu terkait pajak air.
Ratih Poeradisastra dan Bambang haryanto mencatat peristiwa
itu, “namun Ir.Hitler dan Ir.Loekman Kartanegara bermain golf dengan Menteri
Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir.Soetami sambil berbicara dari hati ke hati. ‘Pak Tami,
sampai sekarang Sungai larona mengalir ke laut tanpa bayar pungutan apa-apa.
Bagaimana kalau saya buat pembangkit tenaga listrik dari sinar matahari, apa saya
mesti bayar sama Tuhan Allah,” kata Loekman Kartanagara.
Pernyataan itu rupanya mujarab. Kini PT Vale, bahkan telah
memiliki tiga PLTA untuk keperluan industri. Meskipun tetap menggunakan batu
bara dalam pembakaran.
Negosiasi serupa juga dilakukan dalam persoalan lingkungan.
Melalui Hitler, dan General Manager Construction Paul Savoy, mereka menemui Dirjen
Pertambangan Umum, Prof. J.A Katili. Katili membuka buku Rencana Pembangunan
Lima Tahun Pertama (Repelita I) dan mengingatkan aturan yang berisi pencemaran
lingkungan. “Mr.Katili, untuk tambang dan pabrik pengolahan nikel di Sorowako,
kami memakai standar pencemaran lingkungan yang berlaku di Kanada yang lebih
ketat daripada yang berlaku di Amerika Serikat. Contohnya, kami telah memasang
penangkap debu seharga US$ 2 juta di puncak cerobong,” kata Savoy. Dan ajaib, Katili menutup buku Repelita I.
Beginilah Undang-undang Penanaman Modal Asing, diciptakan
untuk memudahkan dengan dalih pemulihan ekonomi. Dan Vale – sebelumnya Inco-
adalah sekian koorporasi internasional yang menikmatinya. Atau ketiban untung
dalam masa kepemimpinan Soeharto.