Jufri Buape, mantan tahanan politik di kamp Moncongloe, Maros. Dia meninggal tahun 2017. |
Muhammad Jufri Buape, 73 tahun. Mantan Tahanan Politik (Tapol). Pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Pemuda Rakyat - organisasi yang dinaungi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pare-pare, sudah duduk di ruang depan rumahnya. Menghisap rokok dari lentingan tembakau murahan. Sudah hampir habis. Lalu mencocolnya ke dalam dasar asbak.
Saya mengulurkan tangan bersalaman. Dia
menerimanya dengan susah payah. Tak beringsut dari kursi plastik. Tangan
kirinya lumpuh sejak tahun 2012. Tongkat untuk membantunya berdiri, tepat di
samping kanannya. “Saya datang pak. Sesuai janji,” kataku. “Ya ya ya, ayo
duduk,” katanya, lalu kami tertawa bersama.
Jufri menggapai tembakaunya. Saya
mengulurukan rokok kretek, agar tak bersusah payah lagi menggulung. “Saya
datang untuk bertanya dan meminta bapak bercerita tentang peristiwa kelam.
Peristiwa tahun 65 itu, jika bapak bersedia,” kataku. “Saya datang untuk
membuktikan, cerita dan rumor orang-orang jika tahanan 65 seperti bapak dan banyak
teman-teman bapak, adalah orang kejam. Anti agama. Beberapa hari ini, saya juga
bertemu teman-teman bapak dan menanyakan hal sama.”
Jufri tersenyum. Menarik kakinya ke arah dalam, membuat
badannya terlihat tegap. Membenarkan letak tangan kirinya yang hampir jatuh
dari sandaran kursi. “Hahahaha, kamu tahu film itu (film propaganda
pemerintahan Orde Baru G30 S PKI), itu semua tidak benar. Tapi masyarakat
nonton itu, jadi itu dipercaya. Anak-anak sekolah dan semua orang nonton,”
katanya. “Film itu semuanya bohong, saya yakin itu.”
“Kalau itu benar, maka saya ikut membenci
partai ini. Apa kau setuju dengan film itu?” kata Jufri.
TAHUN
1965, JUFRI BUAPE, bertugas sebagai polisi Pamong Praja
di Kabupaten Sidrap. Pada sebuah pagi, di Desember tahun itu, sebelum berangkat
kerja, dia menjenguk salah seorang keluarga. Sekira pukul 12.00 beberapa
tentara mendatanginya dan memintanya menuju kantor Kodim untuk diminta
keterangan. Dia merasa heran, namun tetap ikut.
Dalam sebuah ruangan, seorang tentara
bertanya, “Di Jakarta terjadi pembunuhan Jenderal. Kamu pasti terlibat,” kata
tentara itu. Jufri kaget. Namun akal sehatnya masih berjalan. “Jangan menuduh
sembarangan, saya di sini (Pare-pare) dan kejadian di Jakarta. Itu jauh sekali.
Saya tidak tahu itu,” jawabnya.
Sejak permintaan keterangan siang itu, dia resmi
menjadi penghuni di sel tahanan Kodim. Lalu dipindahkan ke Lapas Pare-pare
selama enam tahun dan selanjutnya di masukkan di kamp pengasingan Moncongloe selama
enam tahun. Total masa tahanan yang dilaluinya adalah 12 tahun.
Tiba-tiba saja Jufri berdiri, badannya bergetar
hebat. Kakinya goyang bergeser, mencari tumpuan dan posisi yang tepat, agar
badannya tak doyong. Tapi menyerah sesaat kemudian. Meminta saya membantu menurunkan sebuah tas.
Kusam dan berdebu. Tiga buah foto kenangan saat di Moncongloe menyembul. Salah
satu frame-nya terlihat empat orang
pria berdiri. Jufri ada diantara pria itu, menggunakan jaket, celana kotak
bergaris dan memakai kacamata.
Latar belakang foto itu adalah barak tahanan.
Jufri golongan B, penghuni barak A. Setiap barak dihuni sekitar 100 orang.
Ranjang tingkat. Lantai papan. Tanpa kasur.
Di kamp pengasingan Moncongloe, tahanan
dibagi dalam lima buah barak. Untuk barak A,B,C, dan D dikhususkan untuk
laki-laki. Dan barak E untuk wanita. Setiap barak memiliki satu dapur umum.
Pada awal pembangunan, jalan menuju kamp hanya ada satu. Ada dua buah pos jaga
– dikenal dengan nama piket-an. Satu di jalan masuk kamp, satu lagi berada di ketinggian
untuk memantau situasi kamp.
Para Tapol juga diklasifikasi. Misalnya,
untuk tahanan golongan A adalah mereka yang menjadi pengurus Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan pentolan oraganisasi partai. Golongan B adalah tahanan
terpelajar yang menjadi penggerak lapangan. Dan golongan C adalah simpatisan
dan orang-orang yang dicurigai terlibat PKI dan organisasinya.
Kamp Moncongloe dipagari kawat berduri, di
dalamnya ada masjid, gereja, poliklinik, lapangan upacara, dan dapur umum.
Setiap pagi para tahanan politik akan berkunjung ke rumah-rumah perwira,
dipekerjakan sebagai pembantu, atau pun menjadi pekerja perintis jalan, membuka
lahan, dan membuat beberapa bangunan. Para Tapol juga mendapatka waktu, antara
pukul 16.00 hingga 18.00 mengelola lahan. Menanam tomat, singkong, dan beberapa
jenis sayuran.
Bagi para mantan tapol, kamp Moncongloe
dirasakan sedikit lebih nyaman. Setiap hari mendapatkan jatah nasi. Sesekali
waktu ada ikan teri. Sayur dari hasil ladang sendiri. Daun ubi adalah menu
favorit waktu itu.
Tapi, sebelum menempati kamp, para tahanan tak
mendapatkan jatah makan. “Oh itu tak ada makanan. Jadi setiap hari keluarga
bawa makanan, tapi disortir dulu sama petugas,” kata P.L Payung, 80 tahun,
mantan Tapol dari Tana Toraja.
Payung menghuni sel besi di Kodim Toraja
pada 28 Oktober 1965. Empat orang tentara menjemputnya saat pulang sekolah. Dia
seorang guru Sekolah Dasar di Rante Pao. “Saya tidak sempat naik ke rumah.
Petugas menunggu di depan rumah, lalu saya di borgol,” katanya. “Jadi sama
anak, istri dan keluarga tidak ketemu.
Tidak sempat ganti baju.”
Para tentara itu begitu sigap dan tegas.
“Bapak diamankan. Makanya harus ke Kodim,” kata tentara itu ditirukan Payung.
“Kenapa saya diamankan. Saya kan tidak buat rusuh,” jawab Payung, yang terus
digiring naik ke mobil.
Payung menghuni sel tahanan Kodim selama
enam tahun. Tanpa pengadilan, tanpa pembelaan. Bersama ratusan tahanan lain,
setiap hari diperintahkan membuat jalan.
“Kami ke sungai mengambil kerikil dan memanggulnya. Batu-batu itu harus
sama semua, tak boleh ada yang lebih kecil, tak ada yang boleh lebih besar.
Kalau banyak bentuk, akan kena sanksi, bisa dipukul kita,” katanya.
Hal yang sama dirasakan Waris Thahir, 75
tahun, seorang Pegawai Negeri di kantor Walikota Pare-pare. Pada Desember 1965,
dia dijemput oleh tentara dengan alasan keamanan. “Di penjara Pare-pare, kami
keluar dan diperintahkan buat jalan. Kami juga membangun jalan menuju Pacekke
(sekarang dikenal dengan nama Monumen pacekke dan menjadi salah satu kebanggaan
TNI). Jadi jalan yang dinikmati di Pare-pare adalah keringat dari teman-teman
Tapol,” katanya.
Sejarawan Universitas Negeri Makassar,
Taufik Ahmad, dalam Kamp Pengasingan
Moncongloe, menuliskan kerja paksa para tapol berlangsung sejak awal
penangkapan. Di Kabupaten Barru tapol merintis jalan dari Mangkoso ke Paccekke
sekitar 10 kilometer. Di Pare-pare pada 1967, atas permintaan Walikota Andi
Mallarangeng, tapol membangun jalan raya. Di Takalar membangun jalan dari kota
Takalar menuju Pattondo (perbatasan Jeneponto). “Jadi bisa dibayangkan, tapol ini
bekerja tanpa upah. Yang ada hanyalah jatah makan,” kata Taufik beberapa hari
lalu.
Pada 1966, Kolonel Inf. Solichin yang
menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin, mengeluarkan kebijakan baru untuk
perumahaan satuan-satuan tempur, berupa pembukaan home base. Lokasinya disiapkan Pemerintah Daerah atas pertimbangan
taktik dan strategi jangka panjang dalam rangkaian Perang Rakyat Semesta
(Perata). Salah satunya adalah pembukaan lokasi di Moncongloe tahun 1969.
Pola pemanfataan ini disebutkan pula sebagai
transmigrasi lokal, sebagai upaya pemindahan Tapol dari Makssar menuju
Moncongloe – yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Gowa dan Maros. Alasan
pemisahaan Tapol dengan tahanan lain, untuk kemandarian dan tentu saja untuk
memutus pemikiran dan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Maka pada Maret 1969, 11 orang Tapol dari
Makassar diberangkatkan ke Moncongloe, masing-masing tujuh orang laki-laki dan
empat orang perempuan. Tapol inilah yang menjadi perintis awal kamp pengasingan
Moncongloe. Beberapa bulan kemudian Tapol lain didatangkan sebanyak 44 orang.
Dan pada akhir 1969, fasilitas kamp sudah selesai. Dimana terdapat barak
laki-laki ukuran 6 x 20 meter sebanyak empat buah, barak wanita 1 buah, tempat
piket, 1 buah poliklinik, masjid ukuran 7 x 10 meter, gereja ukuran 7 x 10
meter, aula 6 x 20 meter, koperasi, dan lapangan upacara. Dengan luas
keseluruhan kamp adalah 150 meter persegi.
Hingga akhir tahun 1971, jumlah tapol yang
menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859
laki-laki. Rinciannya sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar, dan selebihnya
saat mejelang pemilihan umum tahun 1971 didatangkan dari Majene, Polewali
Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Pare-pare, Barru, Pangkep,
Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar.
Kamp Moncongloe - desain Rasjidi Amrah |
RASJIDI
AMRAH, 75 Tahun, mengingat betul pertama kali memasuki
kawasan Moncongloe. Hutan, rumpun bambu, dan jalan tanah yang jelek. Dia
menghuni barak D, golongan B. “Saya benar-benar tak bisa bilang apa. Dari
Majene, kami dibawa menggunakan truk. Seperti binatang, dan tidak dikasi makan,”
katanya.
Rasjidi adalah salah seorang mahasiswa
terbaik Universitas Hasanuddin tahun 1960-an, jurusan Teknik Sipil. Dia kuliah
dengan beasiswa sejak awal. Mengunjungi ITB sebagai tempat tes terakhir
kelulusan untuk mencapai gelar sarjana dalam program studi teknik. Dia juga
merupakan salah seorang penerima beasiswa pendidikan untuk program Full Study ke Uni Soviet. “Saya tidak
berangkat, karena menunggu keputusan kampus, tapi rupanya saya sudah digantikan
di Jakarta,” katanya. “Tapi karena tidak pergi, maka itu menjadi alasan saya
ditangkap. Bagaimana kalau saya ke Uni Soviet mungkin saya tidak pulang lagi ke
Indonesia.”
Rasjidi tak tahu menahu perihal
penahanannya. Tak peduli pada politik – apalagi PKI – organisasi di bawah
naungan partai pun tak pernah disentuhnya. “Saya tidak masuk Pemuda Rakyat,
ataupun Lekra. Tapi saya diamankan juga. Itulah nasib, mau melawan tidak bisa,”
katanya.
Dalam tahanan, Rasjidi yang diketahui
sebagai seorang sarjana teknik, dimanfaatkan oleh petugas. Dia lah yang menggambar
desain masjid dan gereja. Dia pula yang merancang pembangunan barak. Bahkan di
salah satu wilayah di Kabupaten Gowa, membuat desain 300 unit perumahaan
tentara yang dikerjakan oleh para tapol. “Mereka tak memberikan upah. Atau itu
sumbangsih pada negara mungkin,” katanya.
Sebelum ditahan, Rasjidi mengajar di Sekolah
Menengah Pelayaran Makassar – sekarang Akademi Pelayaran Indonesia (AIPI).
Tinggal di perumahaan kompleks Angkatan Laut. Kelak menjadi tempat dimana dia dijemput
untuk diamankan. “Saya dijemput dengan mobil Land Rover itu. Ada empat tentara
membawa senjata dengan bayonet lengkap. Benar-benar seperti penangkapan
teroris,” katanya.
“Tentara dari angkatan laut itu, membawa
saya ke kantornya di Ujung Tanah – sekarang jalan Tentara Pelajar dekat
Pelabuhan Paotere – saya di suruh menunggu di tingkat dua. Sendiri.
Menyeramkan. Saya lihat ada kapal perang di lautan. Jam satu malam, saya dibawa
lagi ke kantor Polisi dekat kantor Balaikota,” kata Rasjidi.
Dari penjara Makassar, dia berpindah ke
Mejene, menjadi tahanan Kodim dan Lembaga Pemasyarakatan lalu akhirnya dibawa
ke kamp Moncongloe. Saat menghuni kamp, sebagai seorang insiyur, dia memperoleh
sedikit kelonggaran, meski dengan pengawalan tapi selalu keluar. Tahun 1976, dia
memutuskan menikah.
Saya menoleh ke istri Rasjidi yang sejak
awal, menemani perbincangan sore di rumahnya di kawasan Antang. “Saya tahu dia (Rasjidi) adalah tahanan. Tapi
saya ada hubungan keluarga. Saya juga biasa berkunjung ke baraknya. Orang tua
setuju dan seperti itulah jodoh,” sang istri.
JUFRI
BUAPE MENERAWANG pada masa lalunya. Mengenang grup
music yang dibentuknya dengan nama Banteng Merah. Acap kali memeriahkan hajatan
kawinan dan acara pemerintahan di Pare-pare.
Menurut dia, band ini sangat populer tahun
1963-1965, karena memiliki personil yang mumpuni. Dan gratis. “Kami main tanpa
meminta bayaran. Tujuan kami Lekra dan Pemuda Rakyat menjadi tempat untuk menyalurkan
kreatifitas dan tempat belajar kebudayaan,”
kata Jufri.
Visi ini jugalah yang membuat Jufri,
kepincut dengan dua organisasi itu. “Sebelum bergabung, saya ikut melihat dan
menilisik tujuan organisasi. Dan yakin setelah melihat pergerakan, menjadikan
buruh dan para petani berdaya,” katanya.
Menjadi pengurus Lekra dan Pemuda Rakyat tidak
lah mudah. Harus melalui pengkaderan yang panjang. Memahami kondisi sosial
masyarakat. Melek huruf. Dan memiliki kepribadian baik. “Kami pernah memecat
beberapa anggota Pemuda Rakyat, karena terbukti memberikan informasi yang
bohong pada masyarakat. Kami juga tak mentolerir, anggota yang bersikap
sewenang-wenang atau memaksakan kehendak,” katanya.
Dalam ingatan Jufri, jumlah anggota dua
organisasi itu mencapai ratusan, kalau tidak menghampiri ribuan. Anggotanya
dari berbagai lapisan masyarakat, dari anak tani, pegawai negeri, pemuka
masyarakat, tokoh agama, hingga keluarga militer.
“Jadi waktu di penjara Kodim, seorang
tentara meminta menuliskan beberapa nama kawan-kawan saya. Jadi saya tulis,
sekitar 10 nama yang semua bersumber dari kalangan TNI, yang bahkan istrinya
sendiri. Kata tentara itu, ‘wah jangan yang ini. Kamu jangan bicara soal ini
lagi’. Jadi mereka diam.
Tapi orang-orang yang saya tuliskan namanya tidak
pernah ditangkap,” kata Jufri.
Jufri memang senang dengan ide dasar
komunisme – haluan PKI – tentang bagaimana melihat semua orang memiliki hak
sama. Melalui organisasi dalam naungan PKI itulah, dia mencoba mendekati tubuh
partai. “Tapi rupanya menjadi anggota PKI itu sangat sulit. Masa percobaan
selama tiga tahun. Kalau sudah dianggap mumpuni dengan tingkat kecerdasaan
barulah mendapatkan rekomendasi masuk partai,” katanya.
Sulitnya menjadi anggota PKI, juga
diungkapkan Taufik. Kursus-kursus politik, diadakan secara berjenjang. Materinya
adalah menggabungkan Teologi Islam dengan radikalisme dan Marxisme. Teori-teori
dari Lenin, materialism historis, hingga pertentangan kelas merupakan materi
wajib. Buku-buku pengajaran yang digunakan, diantaranya ABC Politik cetakan ke-2 yang disempurnakan, Revolusi Rusia sampai Yalto, dan Azimat Revolusi.
Di Sulawesi Selatan, PKI juga memberikan
pendidikan politik untuk memberantas buta aksara. Antara lain sekolah Badan
Pendidikan Rakyat (BDR) setingkat SMP, Panitia Pendidikan Rakyat (PPR)
setingkat SD. Kursus ini dilaksanakan minimal 16 kali dalam empat tahun.
Jadi, sejak kapan ide komunisme ini masuk
di Sulawesi Selatan. “Saya kira sejak tahun 1920-an. Namun tidak berkembang
dengan baik. Nanti ketika pemberontakan DI/TII dan Permesta telah ditumpas
(1950-1962), maka PKI mulai berkembang,” katanya.
Pada masa pemberontakan DI/TII pimpinan
Kahar Muzakkar, PKI atau pun ideology komunisme dicirikan sebagai paham yang
tak mempercayai adanya tuhan. Dalam paham beberapa orang pengikut Kahar
Muzakkar, ide tentang Nasionalis Agama dan Komunisme (Nasakom) – s alah ide
yang dikenalkan oleh Presiden Sukarno meniru beberapa negara sosialis - dianggap mengada-ngada. “Mana mungkin kucing
dan tikus disatukan dalam satu kandang,” kata Harun Al Rasyid, sekretaris Kahar
Muzakkar beberapa waktu lalu di Palopo.
Tak hanya itu, daerah basis DI/TII seperti
Bone, Mandar dan Palopo, dibentuk organisasi Bajak (Barisan Anti Jawa Komunis).
Orang-orang transmigran yang dicurigai sebagai komunis akan dieksekusi
langsung, baik sepengetahuan Kahar Muzakkar ataupun tidak.
Selama periode pemberontakan DI/TII dan
Permesta hingga 1968, diperkirakan ribuan orang dibantai di Sulawesi Selatan.
Menemui ajal di penjara, kamp pengasingan, ataupun diculik tanpa diketahui
rimbanya.
“Saya ingat satu kawan saya, namanya Wempi.
Dia orang Manado. Dia teman saya dari Pare-pare, baru tamat SMU mungkin usianya
baru 19 tahun. Dia anggota Pemuda Rakyat. Dalam Kamp Moncongloe, dia itu tidak
segan-segan bicara. Sangat revolusioner meskipun ada petugas,” kata Jufri.
“Dan pada suatu waktu, kami tak lihat lagi
dimana dia. Saya Tanya ke petugas, mereka bilang dipindahkan di Rumah Tahanan
Militer, tapi kami cari info hingga dua tahun tidak ada juga. Saya tidak tahu,
dimana Wempi, hingga sekarang. Saya kira dia sudah diculik dan dihilangkan,”
ujar Jufri.
Gereja yang dibangun para tahanan politik di Moncongloe, telah mengalami renovasi. |
PADA
20 DESEMBER 1977, melalui surat Panglima Komando
Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban, dilaksanakan pengembalian 10.000
orang tahanan G 30 S / PKI ke masyarakat, dari mulai Digul, Buru, hingga
Moncongloe.
Hari itu, ratusan tapol di kamp Moncongloe
begitu senang. Lalu dipilih lah sebanyak 150 Tapol, untuk menjadi perwakilan
pelepasan di aula TNI di Jalan Lanto daeng Pasewang, Makassar. Jufri menjadi
salah seorang diantara mereka. “Saya dengar pidato pelepasan itu dengan senang
dan bahagia. Waktu itu Panglima Kodam Hasanuddin adalah Pak Kusnadi, dia bicara
selama dua jam. Jadi Pak Kusnadi bilang, ‘kalau nanti besok, karena ini hari
bapak-bapak bebas, besok-besok bertemu dengan masyarakat. Jangan bercerita masa
lalu. Anggaplah ini masalah tidak ada’. Jadi saya mau bertanya bagaimana dengan
nasib kami sebagai pegawai negeri,” kata Jufri. “Tapi ada beberapa intel
disamping saya, larang bertanya.”
Rupanya setelah pembebasan dari Kamp
Moncongloe, kehidupan para tapol tidak berjalan baik. Tempat awal bekerja sudah
tak menerima. Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberi cap diujung kanan ET – Eks
Tapol. Bahkan orang-orang mencibir. Bahkan beberapa orang Tapol tak diterima
lagi di kalangan keluarga dan masyarakat.
“Dulu sepupuku pegawai, kalau ketemu nda
mau senyum. Bahkan saya punya bapak, Kepala Sekolah di SMP 2 Amanagappa
Makassar, kalau pengisian riwayat keluarga, dia tak memasukkan namaku.
Saudaraku pegawai juga, tidak ada na taro
namaku. Iparku juga tidak ada. Coba,
kalau kita pikir, secara waras,” kata Rasjidi Amrah.
“Menantu saya tidak tau, kalau saya pernah
jadi Tapol. Kita bisa baik ini (dapat pekerjaan), karena kerja sembunyi-sembunyi,”
lanjut Rasjidi. “Tapi lambat laun, perubahaan terjadi. Sekarang mulai senang,
orang-orang dulunya tak mau lihat saya itu, mereka memeluk saya. Bukan lagi
tegur.”
Waris Thahir yang menunda aktifitas
mandi, ketika saya menemuinya. Handuk membalut
tubuhnya. Tanpa baju. Rumahnya di dekat kawasan Benteng Somba Opu. Terbuat dari
dinding tipleks rapuh. Beberapa atap sudah bocor. Lantainya dari semen kasar,
beberapa terlihat potongan keramik sisa bangunan orang lain. Di tempel tidak
beraturan. “Waktu keluar dari Moncongloe itu, saya kerja sembarang. Jadi tukang
kayu dan buruh. Supaya bisa hidup dengan keluarga,” katanya.
“Dulu
kami tidak tahu, sampai kapan. Ternyata sampai sekarang, sampai bapak
tua, tidak bisa lagi bekerja. Itu juga sudah mulai tuli. Kalau bicara harus
keras. Kerjaan dan masa menyenangkan yang dulu, dingat-ingat saja,” kata Bunga,
istri Waris Thahir.
“Saya dengar sejak beberapa tahun lalu,
gaji bapak akan diganti. Tapi sampai sekarang juga nda ada. Mungkin setelah
kami meninggal. Atau mungkin mi tuhan
kasi kami umur panjang, untuk lihat itu,” lanjut Bunga.
Hampir sepekan saya mengunjungi beberapa
Tapol Moncongloe itu. Ada beberapa yang sudah meninggal. Ada pula yang
terserang penyakit stroke. Tak mampu lagi bercerita. Tapi bertemu mereka, kau
akan melihat kekuatan. Para Tapol ini tak menginginkan belas kasih. Mereka
hanya bertanya, siapa yang bertanggung jawab, pada peristiwa yang mereka alami.
“Saya mau semua orang tahu. Jadi sekarang
saya bongkar semua yang saya ingat. Agar tidak ada lagi peristiwa semacam itu
terjadi. Kita ini satu bangsa, dan tidak boleh ada penindasan sesama kita lagi,”
kata Jufri.