*Bermula, dari nenek, cerita ini dikisahkannya sebelum kami tidur. Entah berapa kali, tapi tetap saja saya suka mendengarnya. Hingga pada 2012, saya menulisnya untuk keperluan publikasi di Luwu Timur. Bagi saya kisah ini sungguh menawan. Menceritakan kesalahan orang tua pada anaknya. Bukan tentang anak yang selalu durhaka pada orang tua. Selamat membaca.
ALKISAH, di Negeri Luwu tinggallah seorang ibu dengan anak perempuannya. Mereka hidup dalam kemiskinan. Rumah mereka hanya sebuah gubuk kecil beratapkan rumbia dengan satu kamar tidur.
ALKISAH, di Negeri Luwu tinggallah seorang ibu dengan anak perempuannya. Mereka hidup dalam kemiskinan. Rumah mereka hanya sebuah gubuk kecil beratapkan rumbia dengan satu kamar tidur.
Namun orang-orang sekampung selalu menjadikan mereka
sebagai teladan kerukunan hubungan ibu dan anak. Setiap pagi buta sang ibu
berangkat ke kebun peninggalan suaminya yang sudah meninggal. Sang anak
menyiapkan makanan. Kadang mereka hanya makan nasi dengan rebusan daun singkong
yang digarami.
Meski demikian keduanya tetap tabah menghadapi hidup
dan tidak pernah mengeluh. Ketika sang anak tumbuh menjadi seorang gadis
cantik, tabiat sang ibu tiba-tiba berubah. Dia menjadi suka marah-marah. Sang
anak tak tahu apa penyebabnya. Padahal dia juga mulai membantu sang ibu di
kebun.
Pada suatu pagi yang cerah, dalam perjalanan ke kebun
menyusul ibu nya, sang anak bertemu seorang bapak tua. Orang tua itu mengata
kan bahwa gadis itu bukanlah anak kandung sang ibu. Dia hanya anak pungut yang
ditemukan di hutan di belakang rumah. Mendengar penu turan itu, pecahlah tangis
sang anak.
Sambil menangis tersedu-sedu sang anak berlari menuju
kebun di mana sang ibu sedang bekerja. Namun sampai di sana air matanya sudah
kering. “Kenapa kau terlambat. Dasar anak pemalas, sekarang ambil cangkul dan
mulailah mengolah tanah. Jangan berhenti hingga siang nanti,” hardik ibunya.
Belum cukup, sang ibu tiba-tiba melemparkan seonggok
tanah ke punggung si anak. “Jangan loyo. Mencangkul itu harus kuat,” perintah
sang ibu. Tengah hari, karena merasa sudah capek, sang ibu hendak pulang.
Usai meneguk
air dari botol bambu yang ujungnya disumbat daun pisang, dia berkata kepada
sang anak, “Jangan berhenti sebelum pekerjaan itu selesai. Besok aku mau
menanam sayur. Paham?!” ”Iya, Bu,” jawab sang anak yang sudah letih. Menjelang
sore hari, sang anak kembali ke rumah.
Namun ketika dia hendak makan, ternyata hanya ada
rebusan daun singkong. Tak ada lagi nasi tersisa untuknya. Meski demikian sang
anak diam saja. Selesai makan, sang anak
menceritakan pertemuannya dengan si bapak tua. Sontak, ibunya langsung marah.
“Kalau memang itu benar kenapa? Aku yang membesarkanmu
sampai sekarang. Aku juga tidak tahu di mana orangtuamu. Jadi kau harus
bersyukur masih kuberi tempat tinggal,” kata ibunya.
“Ibu, kalaupun saya bukan anakmu, saya sudah
menganggapmu sebagai ibu kandung. Aku hanya menceritakan apa yang kualami,”
kata anak perempuan itu memelas. Sambil menunduk ia meneteskan air mata.
Setelah hari itu, kehidupan mereka tak lagi rukun.
Tiap kali sang anak telat menanak nasi, sang ibu langsung memukulnya. Pernah kepala sang anak sampai
mengeluarkan darah. Puncaknya, suatu hari sang ibu mengusir sang anak.
”Ibu, kasihanilah saya. Saya tidak tahu harus pergi ke
mana. Ibulah satu-satunya keluarga saya,” kata anaknya. “Engkau memang anak
durhaka, tak tahu diuntung. Terkutuklah engkau. Saya bukan ibumu,” jawab
ibunya.
Kini sang anak tidak lagi tidur di kamar, melainkan di
teras rumah. Tanpa bantal tanpa selimut. Maka setiap malam anak itu kedinginan
dan kemudian jatuh sakit. Namun sang ibu tetap saja menyuruh sang anak bekerja
seperti biasa. Suatu sore, ketika sang anak baru saja menyalakan api di tungku
untuk menanak nasi, ibunya datang dari kebun. Ibunya marah besar melihat
makanan belum siap.
Dia tidak tahu bahwa anaknya sedang sakit. Segera saja
dirampasnya sendok nasi dari tangan sang anak dan dipukulkannya ke kepala sang
anak. Darah mengucur. Karena tak tahan, sang anak berlari ke luar rumah.
Sang anak berlari dan terus berlari hingga sampai di
tepian sungai yang penuh batu-batu besar. Dia menangis terisak-isak. Tiba-tiba
sebuah batu besar di hadapannya terbuka lebar. Batu itu berbicara dan meminta
sang anak untuk masuk ke dalamnya.
”Masuklah ke dalam perutku agar penderitaanmu
berakhir, Nak” kata si batu. Di rumah, entah teringat apa, sang ibu menyesali seluruh perbuatannya
selama ini. Maka dia pun segera berlari menyusul sang anak.
“Anakku, anakku. Maafkan ibu,” katanya. Melihat ibunya
datang, sang anak malah semakin ketakutan.
“Segeralah masuklah ke dalam perutku wahai anakku,”
kata batu itu lagi.
Akhirnya sang anak melompat ke dalam batu. Sang ibu
pun berteriak, ”Jangan anakku, jangan. Maafkan ibu,” teriaknya.
Sang ibu kemudian berusaha melompat ke arah batu itu
menyusul sang anak. Tapi sayang, batu itu sudah menutup dirinya. Di permukaan
batu hanya terlihat rambut sang anak yang panjang dan hitam. Sang ibu berusaha
keras menarik-narik rambut itu namun gagal. Dia tendang-tendang batu tersebut,
namun tetap saja si batu tak mau membuka.
Akhirnya sang ibu hanya bisa menangis meraung-raung.
Berhari-hari hari dia tidak makan dan tidak minum. Sepanjang hari dia hanya
memeluk batu itu dan menciumi rambut anaknya. Sambil meratap sang ibu
bernyanyi: “Ohhh, batu, batu tikumba-kumba mako mae—ohh, batu, batu
terbukalah.”
Demikianlah, akhirnya sang ibu meninggal akibat duka
dan penyesalan yang mendalam.