Anak itu tumbuh
dengan cepat. Secepat waktu menghantar kami, bermula dari Makassar menuju
Maros. Atau mungkin semacam kalian memberi ungkapan selamat atas kelahiran
anak, lalu pertemuan selanjutnya, si anak itu sudah mampu menyapamu dengan kata
Om.
Saya kira secepat itu lah, anak-anak melaju hampir meninggalkan yang tua.
Kasur kecil.
Dua orang tua. Dan anak yang sudah tiga tahun enam bulan. Waktu tidur, anak itu
menghentakkan kaki. Menggerakkan tangan. Berucap sempit. Meminta salah seorang
dari orang tuanya untuk turun ke lantai tidur bersama kecoa.
Anak itu,
sudah mulai tak ingin disebut kecil. Dia selalu mengangkat kakinya dan
menunjukkan jempolnya lalu bilang: sudah besar. Anak itu sekarang mengangkat
dirinya sendiri menjadi kakak. Adiknya ada banyak; boneka monyet, babi, burung
elang, hingga kucing.
Jika sudah
larut malam, orang tuanya memaksa tidur. Tapi usia tiga tahun itu, otaknya
sudah mulai bekerja dengan baik. Dia punya banyak alasan untuk menunda proses
tidur. Minta makan. Ingin liat para adiknya, apakah di tempat aman. Mau
kencing. Mau berak. Mau main.
Anak tiga
tahun itu bertumbuh. Kepalanya diisi dengan tontonan film kartun super hero dan
bacaan yang dibeli orang tuanya. Anak itu sudah mulai berani berjalan di
sekitar rumah. Menerebas rumput yang buat betisnya gatal-gatal. Sekali waktu
juga, mandi air hujan di depan rumah. Di rumah mereka di Maros, saya melihatnya
tumbuh dengan rasa penasaran menakjubkan.
Saat
tertentu anak itu, melihat kupu-kupu dan mengejarnya. Anak itu ingin sekali
menangkapnya. Tapi orang tuanya tak membolehkan. Kupu-kupu harus terbang bebas.
Lalu anak itu, menyanggahi; kalau ditangkap nanti dicari mamaknya. Dicari temannya.
Atau adiknya. Kakaknya. Neneknya. Nanti mamaknya menangis.
Orang tua
anak itu, sering kali ditembakkan pernyataan-pernyataan yang menggelikan, bahkan
tak jarang mereka kelimpungan. Saya melihat mereka. orang tuanya, sibuk mencari
literatur untuk menjawab pertanyaan si anak. Tentang, bagaimana para binatang
saling mengenal dalam kawanan. Apa jadinya jika para hewan mengenal struktur
keluarga seperti manusia.
Lalu tak
lama kemudian, pada sebuah sore, anak itu berjalan bersama orang tuanya, ke
tempat penangkaran kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Mereka
berhenti dan berjokok dengan diam di bawah pohon sukun. Ada beberapa individu
monyet, yang bermain dan mengambil beberapa buah. Ada pula yang turun ke tebing
karst, berlarian saling mengejar, hingga dedaunan kering berbunyi sangat riuh.
Anak itu lalu bilang; wouww, hebat itu monyet di’. Monyet nda jatuh dan kuat.
Lalu, pertanyaan lain mencuat, itu monyet kenapa kenapa suka lari dan memanjat
pohon kah.
Anak tiga
tahun itu, mengharuskan orang tuanya membaca dan memahami sekeliling dengan
baik. Lalu, jelang meninggalkan penangkaran, anak itu mencari kupu-kupu, sudah
tak ada. Dia tanya ke orang tuanya lagi, kemana kupu-kupu? Pertanyaan belum
dijawab, tapi anak itu kemudian nyerocos; mungkin pi bobo. Kalau mau malam nanti mamaknya cari.
Kupu-kupu
sedang bobo? Ini menjadi petaka di kepala si orang tua. Bagaimana serangga
cantik itu tidur? Orang tuanya kemudian, mengirim pesan ke staf peneliti kupu-kupu
di taman nasional. Tak puas, mereka juga mengirim pesan ke peneliti serangga di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Rupanya,
serangga punya banyak mata. Mata komunal. Tidur serangga, tidur bukan seperti
manusia, yang harus menutup mata. Serangga istirahat, hingga 12 jam. Dan hampir
dikata macam mati suri.
Lalu
bagaimana menjelaskan ke anaknya, tentang keadaan istirahat si serangga? Saya
melihat anak dan orang tua itu, bercanda bersama. Lalu ada kupu-kupu masuk ke
rumah mereka pada malam hari. Ada kupu-kupu yang tidak tidur. Anak itu protes,
kenapa kupu-kupu tidak bobo padahal sudah malam.
Ahli
serangga LIPI itu kemudian bilang, ada serangga yang aktif di malam hari.
Termasuk kupu-kupu malam dalam artian sebenarnya. “Kalau mereka aktif siang,
rata-rata sekitar 13 jam (18.00-06.00) serangga istirahat. Walaupun ada yang
aktif sore hingga malam hari, sekitar magrib,” katanya.
Lalu orang
tua itu menjelaskannya dengan pelan. Mereka bilang, kupu-kupu tidurnya tidak
baring. Tapi diam. “Tidak pake bantal?” sanggah anak itu.
“Tidak, kan
kupu-kupu rumahnya nda seperti rumah manusia. Jadi kupu-kupu bisa menggantung,”
“Tapi
kupu-kupu nda dingin?,”
Orang tuanya
mulai stres. Pertanyaan tak terjawab.
“Kemarin
toh, saya tidak lihat kupu-kupu makan,”
“Makan juga.
Kalau kupu-kupu ada di bunga, itu makan?,”
“Ih, kenapa
dia makan bunga?,”
“Bukan
bunga. Tapi ada di dalam bunga, seperti air gula. Manis. Namanya nektar?,”
“Ohhh,”
Anak itu
mengangguk seolah-seolah mengerti. Lalu orang tua itu mengajaknya mengambil
kuncup bunga di samping rumah. Lalu bunga itu di preteli, dan memperlihatkan
tempat nektar yang berbentuk cairan. Anak itu, kemudian bilang; tapi kupu-kupu
makan pake sendok kah? Ada juga tangannya kah?
Haaa? Saya
lihat ekspresi muka orang tua itu, sambil menggaruk-garuk kepala. Ilmunya belum
mampu menandingi pertanyaan si anak. Lalu waktu mandi sore tiba. Anak itu
diajaklah masuk ke rumah. Sembari menyikat giginya, menggosok badan anak itu
dengan sabun, orang tua itu masih mencari akal. Bagaimana kemudian menjawab
segala hal dengan baik.
Buat kalian
para orang tua. Selamat menikmati pergantian tahun. Selamat mengukur kemampuan
diri. Mari belajar bersama. Sebab orang tua itu adalah saya. Saya yang tak tahu
apa-apa di depan La Wellang Rawallangi, anak lelaki kami. Anak yang bahkan
sudah mampu memberi nasehat ke Mamaknya, kalau bekerja itu tidak baik. Bahwa
yang baik itu adalah bermain.
Selamat tahun 2020...