Lukisan dinding di Leang Jarie, Maros. |
Kali pertama Ayub mengajaknya menemui Uwa Lai, untuk belajar mengunyah daun siri dan pinang, Hiris menolak tegas.
Itu jawaban yang sama dari neneknya. Nenek Hiris, namanya Saman,
hingga akhir hayatnya percaya kematian dan penyakit adalah urusan Tuhan.
Ditujukan pada seseorang yang sedang diuji. Semacam petunjuk dari rasa sayang
dan cintanya pada seorang hamba.
Maka tersiarlah kabar, seorang yang selama hidup tak pernah
mendapatkan penyakit adalah mahluk yang tak mendapatkan rasa cinta. Flu dan
migran adalah penyakit perkecualian. Tidak termasuk ujian. Maka pada usia ke 20
tahun, Saman mendapati dirinya mengidap sagala
malinrung. Dia meringkuk di kasur.
Badannya seperti terbakar. Kulitnya bertumbuh bintik merah.
Dia tak boleh mandi. Tak boleh kena air. Hari ke delapan,
bintik-bintik itu pecah. Mengeluarkan darah, nanah dan air. Wajahnya tak luput
dari serangan, bopeng dan lubang-lubang. Pada hari ke 20, luka mengering.
Meninggalkan bekas macam koreng.
Dua bulan, Saman, tak pernah menjejakkan kakinya di tanah.
Di beranda rumahnya yang tinggi, dia hanya bisa menatap beberapa orang yang
berlalu menerbangkan debu dari jejak kaki. Ketika angin menyentuh kulitnya
selama lima menit, dia beringsut lagi ke dalam rumah.
Kakinya mulai mengecil. Dia berjalan pincang. Sagala malinrung telah mengesahkan
ujiannya dan dia mampu melewati. Pada usia 27 tahun, dia melahirkan seorang
anak. Tapi setahun kemudian suaminya, meninggal dunia, dengan ujian penyakit
yang sama. “Tuhan sudah mendekapnya. Dia kembali ke alam manusia sesungguhnya,”
kata Saman, ketika menceritakannya pada Hiris.
Hiris mengangguk dengan baik. Pada Saman, dia belajar
tentang ujian-ujian dari pemilik bumi. Dia belajar berjalan, membuka alas kaki
dan menyentuh tanah, lalu menghirup aromanya. Melatih kepekaan hidungnya untuk
merasai wangi padi, saat sedang mengandung.
Tahap berikutnya, Hiris sudah bertumbuh. Kendaraan roda
empat membawanya menelusuri 400 kilometer yang melelahkan menuju Makassar.
Berkali-kali dia, mendekap sang nenek ketika libur kuliah. Tidur bersamanya dan
mencium aroma seorang lansia. Aroma langit.
Lalu pada suatu masa, orang-orang memanggil Uwa Lai. Di
atas ranjang berkasur kapok, dan asap kayu bakar yang mengepul, dua orang tua
itu saling memandang. Saman sudah dua malam berbaring. Nafasnya kian tersengal.
Kakinya mulai dingin. Sebentar hangat, lalu kembali beku. Dadanya mulai kembang
kempis. Tegukan air dari sendok sudah tak mampu di telannya. Tiba-tiba Uwa Lai
mencium ubun-ubun Saman. Meniup telinga. Lalu kembali lagi mencium kening. “Malakalamau sudah datang,” kata Uwa Lai.
“Sebentar lagi. Mandappi
mo - tinggal menunggu waktu tepat,”
Beberapa kerabat Saman sudah berkumpul. Di teras beberapa
orang menghembuskan aroma tembakau. Menyeruput kopi dan saling berbagi cerita.
Menunggu sang Saman meninggalkan dunia. Ayub, ada di barisan itu. Lalu beberapa
saat kemudian, dia menjetikkan rokoknya, memantul di pohon mangga dan
menimbulkan percikan api kecil.
Ruh Saman melewati Ayub. Dia berusaha memintanya berhenti
namun tak berhasil. Ruh itu terus saja berlalu, melewati jalan yang membentang
di depan rumah, menorobos pepohonan kakao, durian, dan menghilang dibalik
tebing sungai.
Ayub berlari kecil menapaki anak tangga. Dia menuju ruang
dapur, tempat Saman berbaring. “Taemi te
tau – orang ini sudah meninggal,” katanya.
Uwa Lai, memeriksa sekali lagi. Dan membenarkan ucapan
Ayub. Maka pecahlah tangis dalam rumah panggung itu. Saman meninggal usia 75
tahun. Ujian terakhirnya adalah stroke. Tuhan menginginkannya menghabiskan waktu selama empat tahun berbaring di
kasur. Membersihkan segala macam dosa masa lalunya.
***
Kerinduan Saman akan takdir Tuhan, adalah keyakinan yang
dipendamnya sejak masa gerombolan, menghampiri kampung. Mamakya, itu buyut
Hiris, adalah seorang penari pa’jaga
yang menawan. Perempuan penuh kewibawaan. Bapaknya, juga buyut Hiris, adalah
kepala kampung yang bersahaja. Dari garis inilah mereka memiliki enam orang
anak, yang kelak menjadi garis awal kehidupan Hiris.
Gerakan gerombolan itu adalah Darul Islam / Tentara Islam
Indonesia (DI/TII), menginginkan kejayaan islam di tanah Sulawesi. Semua orang sama
rata. Tak ada bangsawan. Semua orang disapa bung. Tetta, Daeng, Opu, Bau,
adalah kesalahan.
Dewatae
akhirnya murka, gerakan itu dihilangkannya dengan bantuan bala tentara negara.
Satu-satu perwira kombatannya ditangkap. Pemimpinnya sendiri tertembak mati di
tepi sebuah sungai. Dan perlahan, kehidupan kembali ditata. Tapi beberapa
simpatisan gerakan itu tetap terus melanjutkan hidup. Mereka orang-orang yang
menganggap segala hal tentang Dewatae,
adalah musyirik.
Beberapa pengobatan yang menafsirkan keyakinan dalam bahasa
lokal, dianggapnya menduakan Tuhan. Jadi diperbaharuinya menjadi ungkapan lafas
Al-quran.
Hiris ingat salah satu mantra pemberian Saman, menggunakan
bahasa arab. Dan ketika di Makassar, saat sedang bersendagurau bersama beberapa
kawannya, seorang dari mereka sakit perut. Mantra syar’i pemberian Saman dilaksanakan. Dia mengangkat jempol ke
dalam langit-langit mulut. Merafalkan mantra dan meniup air dalam gelas. Lalu
mengusapnya di perut, dan kemudian menekan pusar. Hiris meniupnya dari arah atas
ke bawah. Dan sakit perut itu berhenti.
Tapi, empat malam setelah itu, dalam keadaan letih, Hiris
ikut pula mendapati kepalanya sakit. Pundaknya serasa mengangkat sekarung
pupuk. Dia beringsut menyambar kunci motor. “Dokter saya sakit kepala. Rasanya
mau pecah,” katanya.
Sekantong obat dan jarum suntik telah menghantamnya. Tapi kepala
semakin berat. Dia kembali ke kampung halaman. Dia menuju rumah Uwa Lai, rumah
yang di depannya ada pekuburan umum, tempat Saman dimakamkan. Uwa Lai, sudah
berusia 102 tahun. Di ruang tengah rumahnya yang adem dengan atap daun sagu,
Hiris melepaskan kaos hitam Hard Rock yang dikenakannya.
Uwa Lai, duduk menekuk lututnya di lantai. Ada daun sirih tammu ura’ di genggamannya. Daun itu lekatnnya
ke punggung Hiris. Sirih hijau dan segar itu dalam beberapa detik mengering.
“Kau kena pa’dau,” Uwa Lai berucap.
“Ini memang tidak na
dapat dokter,” lanjutnya.
Maka perlahan, sirih, pinang, kapur, kunyit, dan satu bahan
rahasia dikunyahnya. Ramuan itu diuleknya dalam rahang tua. Lalu dengan
cekatan, di semburkannya ke pundak, kening dan dada. Ramuan yang menempel itu
menjadi hitam dan hangus. Tapi rasanya sangat dingin. Seperti kau menggunakan
koyok, sensasi mintnya menembus kulit.
Keesokannya, semburan bahan yang sama dilakukan lagi. Sudah
tak hangus. Warnanya sudah merah darah. Dan kepala Hiris pun sudah tak lagi
puyeng. Dia hampir tak bisa lagi mengingat rasa sakit kepala yang di deritanya
selama beberapa hari.
Hiris membakar rokoknya di sudut teras rumah. Kepalanya
bekerja kuat. Baginya berobat menggunakan dukun adalah kesalahan. Seharunsya
apa yang dilakukannya haruslah berserah pada dewata. Kehendak pemberi kehidupan. Harusnya dia meringkuk saja,
dan menunggu malakalamau datang.
“Tapi ini hanya sakit kepala,” katanya dalam hati.
“Bukan sagala,
bukan stroke, bukan kelumpuhan,”
“Sakit kepala, bukan lah ujian dewata. Ini terlalu murahan.”
_________________________
*sagala
malindrung ; cacar api
*malakalamau
; malaikat pencabut nyawa
*dewata
suwae ; dewa tertinggi
*Sirih
Tammu ura ; sirih yang akarnya bertemu
*padau
; penyakit sakit kepala yang tembus hingga ke punggung