Leang Jarie, 26 Maret 2020. Saat monitoring lukisan gua oleh BPCB Makassar. |
Bagaimana aku menjelaskannya padamu tentang gua. Apakah
kamu sudah pernah melihatnya sendiri, memasukinya, dan mencoba memegang
dindingnya. Kalau kamu pernah membaca dan melihatnya di salah satu buku, akan
disebutkan soal mulut gua. Itu tentu saja untuk memudahkan penjelasan mengenai
pintu masuk.
Jadi jika ada mulut, maka seharusnya ada tenggorokan juga
kan. Aku kira itu adalah analogi yang tepat. Aku akan membawamu jalan ke Maros
dan Pangkep. Sebuah tempat yang menawan. Sebuah kawasan yang membentangkan puluhan
ribu punggungan karst. Sebuah tempat yang hampir juga dinamai sebagai hutan
batu.
Secara umum, karst adalah tandon raksasa yang menyimpan
berjuta kuik air dalam perutnya. Mengalir melalui jaringan yang rumit, diantara
sela batuan. Karst ini juga lah yang menciptakan banyak gua. Mungkin ada ribuan
di tempat ini, dan hanya ada beberapa yang pernah ditelisik manusia. Gua-gua
itu berbagai orang dari beragam keilmuan, untuk melihat gua. Ada yang meneliti
airnya, hewannya, tumbuhannya, atau membuat pemetaan dalam lorong-lorongnya.
Tapi ratusan gua lainnya, adalah ladang ilmu dan yang
menentukan masa depan identitas aku dan kamu. Mereka adalah para arkeolog yang
bekerja dengan rapi dan tekun. Mereka mendatangi gua-gua yang memiliki kisah
panjang. Arkeolog itu menggali lantai gua, mengukur suhu, mencatat angin,
melihat kelembaban. Mereka bersusapayah memecahkan teka teki gua itu, kemudian
berusaha kembali mempertahankannya. Menemukan dan merawatnya.
Ratusan gua yang dikunjungi para arkeolog itu adalah
gua-gua yang memiliki lukisan, atau gua yang meninggalkan sampah dapur, atau
pula gua mengindikasikan sebagai hunian. Aku sendiri berkali-kali menyaksikan
lukisan dinding gua, rasanya seperti melihat keajaiban. Aku melihatnya dengan
berdiri, memanjat, dan bahkan harus duduk. Gambar-gambar itu benar-benar
beragam, lukisan telapak tangan, binatang, hingga gambar yang menyerupai
manusia.
Inilah orang-orang awal yang menghuni pulau Sulawesi.
Mereka disebutnya sebagai bangsa dari ras melanesid. Mereka bermukim dan
menghuni ceruk dan gua untuk kemudian menjadikannya rumah. Mereka adalah pembentuk
kebudayaan awal yang belum mengenal pertanian menetap. Mereka adalah masyarakat
pemburu dan pengumpul.
Mereka mengkonsumsi hewan-hewan yang mereka jumpai, dengan
cara memburu. Di dalam lapisan tanah gua, para arkeolog menemukan tulang
mamalia kecil seperti tikus. Tulang burung. Ada pula tulang kuskus, dan monyet.
Para ahli itu yakin, tulang-tulang itu adalah sisa dari makanan.
Apakah para pendukung kebudayaan ini mengkonsumsi semua
binatang itu? Kemungkiannnya tentu saja, yap. Mereka membakarnya dengan rapi,
mengulutinya dengan alat batu yang sangat tajam, dan menangkap hewan buruannya
dengan mata panah yang sangat cantik.
Lalu belum lama ini, di salah satu lukisan gua di
Pangkep, ditemukan gambar Anoa yang berusia 44.000 tahun yang lalu. Gambar
hewan yang paling tua di seluruh dunia untuk saat ini. Ya, ya, tentu saja kamu
bisa berbangga dengan itu. Dan itu yang aku harapkan. Kebanggaanmu pada
tinggalan kebudayaan, yang ada di sekitarmu akan membuatmu lebih melihat
manusia dalam beragam zaman.
Dan mereka adalah nenek moyangmu. Meskipun secara
faktual, kamu belum bisa membuktikan diri karena harus ada tes DNA, untuk
mengetahui asal usul. Kenapa kamu berhenti membacanya? Coba kamu tenang.
Mari kita berjalan-jalan. Oke, ini adalah Leang Jarie.
Gua yang punya beragam gambar cap tangan. Dan tahun 2018, salah satu gambarnya
telah dilakukan uji usia menggunakan teknik uranium
sries di Australia, hasilnya mencapai 39.700 tahun yang lalu. Gua yang lain
bahkan lebih tua yakni Leang Timpuseng, mencapai 39.900 tahun yang lalu.
Jadi ada dua objek dengan dua gambar; gambar Anoa di
Pangkep, serta gambar cap tangan di Maros, rentang usianya adalah 4.100 tahun. Jauh
sekali kan. Sementara kita dalam menentukan rentang waktu menggunakan kalender
masehi, dimana ditentukan tahun 1 Masehi adalah tahun kelahiran Yesus atau nabi
Isa.
Apakah kamu sudah punya bayangan mengenai rentang usia
itu? Itu sesuatu yang sangat lama kan. Jika demikian bagaimana orang-orang
menggambar dan bagaimana mereka melakukannya. Kamu harap tenang, bukankah pada
cerita ini, kita sudah sepakat untuk menulis mengenai rumah.
Jadi orang-orang pada 44.000 tahun yang lalu itu belum
mampu membuat rumah seperti kita saat ini. Jadi mereka menjadikan gua, sebagai
rumah. Mereka tidur dan beraktivitas di tempat itu. Setiap gua, kemungkinannya
akan dihuni antara 10-30 orang. Hidup mereka berkelompok. Jadi setiap gua,
adalah tetanggaan.
Ketika mereka sudah kembali dari berburu mengumpulkan
makanan, di depan gua akan diadakan jamuan makan malam. Kerang-kerang air
tawar, akan dipecah pada bagian cangkang belakangnya dan isinya dihisap. Ketika
mereka menemukan hewan buruan, akan dikuliti lalu di bakar.
Menjelang, malam, ketika matahari sudah mulai turun, gua
menjadi tempat berlindung yang paling aman. Mereka tak akan takut kehujanan.
Pada siang hari pun akan terlindung dari matahari. Udara dalam gua sungguh
sejuk. Mereka tak menggunakan selimut dan kemungkinan besar hanya menggunakan
kain dari kulit kayu.
Apakah mereka kedinginan, itu pertanyaan yang baik
sekali. Ini akan menjelaskan bagaimana tubuh beradaptasi pada keadaan
lingkungan. Kamu tak bisa membawa dirimu pada keadaan sekarang, mengenai
keadaan masa lalu. Karena mereka terbiasa dengan alamnya, maka kulit mereka
tentu saja beradaptasi.
Itu sama halnya jika kamu orang pesisir dengan udara
panas, akan kelabakan pertama kali mengunjungi wilayah gunung yang dingin. Tapi
jika kamu sudah lama di gunung, maka tubuhmu akan bisa menerima itu. Apakah
penjelasan itu bisa membuatmu memahami teori adaptasi?
Setelah rumah, berikutnya aku akan mengenalkanmu mengenai
makanan mereka, tentang tentang biji-bijian. Tentang sayur mayurnya. Mengenai
hewan peliharaan. Mengenai rumah yang sudah menetap. Akan kujelaskan di bab
Austronesia – si pendatang baru yang jumawa.