Ekskavasi di Mallawa, oleh Tim Balai Arkeologi Makassar |
Siapa leluhur
masyarakat Sulawesi. Jika kau bertanya seperti itu, maka beberapa orang akan
menepuk dada sambil mengatakan sebagai seorang berdarah murni lokal. Orang
Gowa. Orang Bugis. Orang Luwu. Atau orang Toraja. Intinya mereka pemilik darah
murni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Benarkah demikian?
Mari membacanya
dengan hati-hati. Dengan kepala yang dingin. Ada kalimat tentang kearifan lokal
dan masyarakat adat, serta tradisi dan adat istiadat. Jadi saya ingin
mengenalkanmu seperti ini, jika kakek dan nenekmu lahir, lalu besar dan tua, kemudian
meninggal di satu tempat, dan dahulu kala telah menempati lahan dan mengolahnya
dengan sistem bergotong royong (komunal) maka disebutlah mereka penduduk asli.
Sesederhana itu.
Tapi itu
penjelasan yang rumit. Meski kemudian hari, kalimat ini menjadi sangat penting
dalam gerakan perlawanan untuk mendapatkan keadilan sosial di negara NKRI. Tapi
saya tak ingin mengenalkanmu kisah masa sekarang. Sebab saya tetap berpegang
teguh bahwa bumi, tanah dan sumber daya yang tergantung di dalamnya adalah
milik bersama. Milik segala umat manusia. Yang catatan pentingnya, adalah dikelola dengan sebaik-baiknya.
Lalu, siapa orang
Indonesia itu. Apakah kamu meyakini dirimu berdarah murni Indonesia? Coba
buatlah garis silsilahmu, tuliskan di kertas,
nama bapak dan mamakmu, kakek dan nenekmu, hingga buyutmu. Masih ingat?
Lalu tulis lagi siapa bapak dan mamak buyutmu, lalu kakek dan nenek buyutmu,
lalu buyutnya buyutmu. Mulai ribet bukan.
Oke, itu sebabnya
dari sini cerita bermula. Beruntung, leluhur kita pernah membuat benda dan
lukisan kebudayaan. Iya tertanam di bawah tanah dan di dinding-dinding gua. Hingga
ribuan tahun, pengetahuan itu berdiam diri, lalu beberapa orang menemukannya.
Ada sampah dapur
dari sisa kerang laut yang mengendap di dinding gua. Ada tanah bekas
pembakaran. Ada tulang hewan yang telah dibakar. Ada alat tulang. Ada batu
kecil yang dijadikan pisau dan penyerut. Ada gambar cap tangan di dinding dan
langit-langit gua. Mereka menggambar hewan. Mereka juga menggambar sosok
manusia. Jika kau melihatnya itu seperti hal yang tak masuk akal. Tapi itulah
petunjuknya.
Ya, mereka yang
dalam buku pelajaran sekolahmu dinamakan manusia purba. Manusia yang
kadang-kadang dikenalkan sebagai seorang yang tak beradab. Manusia yang
tingginya mencapai 2 meter lebih. Mereka seperti raksasa. Mereka juga memakan
daging hewan mentah. Tidak pake baju dan sangat primitif. Tidak berbudaya.
Tampangnya seperti monyet.
Kamu pasti
percaya itu. Tenang, kamu tidak sendirian. Dulu saya juga percaya itu, waktu
masih di sekolah. Tapi sekarang tidak lagi. Sebab, rupanya itu sesuatu yang
tidak berdasar. Di Maros Sulawesi Selatan, kamu sebaiknya datang berkunjung di
Taman Purbakala Leang-leang. Ajaklah gurumu dan mintalah petugas taman itu
menjelaskannya.
Cap tangan itu,
seukuran tangan kita sekarang. Para arkeolog memperkirakan tingginya hanya
sekitar 165 sentimeter. Orang-orang ini tinggal dalam gua yang dipilih dengan
pertimbangan yang matang. Keadaan cahaya, sirkulasi udara, hingga perlindungan dari
hujan atau juga dari binatang buas. Gua itu adalah rumah mereka.
Dan untuk
membuatnya sederhana, maka penamaan orang-orang yang tinggal di gua disebut
sebagai Toala. Ciri khas kebudayaan
mereka adalah mata panah yang disebut sebagai Maros Point. Ini mata panah yang indah, dengan gerigi di setiap
sisinya. Runcing dan sangat menawan. Saya berkali-kali memegangnya dan tak
henti mengagumi.
Mata panah batu
ini, dibuat dengan menggunakan batu juga. Ujungnya sangat runcing. Mata panah
ini digunakan untuk berburu hewan, seperti babi dan anoa. Selain itu, ciri lainnya masyarakat Toala adalah alat batu yang belum halus.
Mata panah tertua
yang ditemukan dan telah dilakukan penanggalan usianya mencapai 7000 tahun yang
lalu. Artinya ada sekitar 4000 tahun sebelum Masehi. Kamu tahu kan tahun satu
masehi itu dimulai dengan kelahiran Jesus.
Lalu apakah Toala
ini adalah masyarakat lokal Sulawesi? Jangan terburu-buru, orang-orang ini juga
masih diperkirakan sebagai pendatang. Penelitian arkeologi di Maros dan
Pangkep, belum pernah menemukan kerangka utuh manusianya. Belum ada penelitian
DNA.
Jadi mereka
punah? Oh itu pertanyaan yang mencengangkan. Tapi mari melihat gelombang
migrasi manusia lainnya. Belakangan pada sekitar 4000 tahun lalu, ada bangsa
penutur Austronesia dari ras Mongolid yang mendatangi Sulawesi.
Orang-orang ini,
datang mengarungi lautan. Menggunakan perahu bercadik sederhana. Mereka inilah gelombang
manusia dari dataran Cina. Austronesia dikenal juga sebagai pembawa zaman
neolitik – zaman batu baru. Masyarakat ini sudah tidak hidup berpindah. Mereka
sudah menetap dan membangun rumah pondok sederhana.
Para penutur
Austronesia ini, juga mulai menanam umbi-umbian. Mulai mendomestikasi binatang
– seperti memelihara babi dan ayam. Ini lah zaman yang dikenal sebagai surplus
pangan. Orang-orang ini sudah tidak begitu massif berburu.
Pada Juli 2019,
ketika saya bersama tim peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Makassar
mengunjungi Mallawa di Maros, melihat mereka bekerja menggali dua kotak
penelitian di lantai Gua Sibokereng. Tim itu, melihat setiap temuan dengan
saksama dan penuh ketelitian.
Di Mallawa ada 10
situs yang menjadi titik penelitian sepanjang 2015 hingga sekarang. Asosiasi
temuan Toala dan Austronesia acapkali dijumpai. Jadi mungkin mereka pernah
hidup bersama. Atau pula mereka saling mengadaptasi tekonologi.
Bangsa
Austronesia adalah pendatang baru yang membawa teknologi seperti gerabah slip
merah. Gerabah yang berwarna agak kemerahan yang sangat kuat. Gerabah itu atau
dikenal pula sebagai tempayan, juga digunakan untuk menjadi bekal kubur. Ciri
lain, masyarakat ini menguburkan jenasah dengan menekuk lutut.
Lalu apakah orang
Toala dan Austronesia pernah hidup berdampingan? Hasanuddin, arkeolog dari
Balar Makassar bilang, kalau itu belum ada bukti. Tapi bahwa ada persentuhan kebudayaan
antara orang Toala dan Autronesia pernah terjadi, itu jelas. “Kita menemukan di
beberapa situs yang memberikan asosiasi pertemuan itu,” katanya.
Maka bisa saja
terjadi, ketika Orang Austronesia datang dengan membawa teknologi baru, maka
orang Toala tersingkir karena kalah dalam bersaing. Tapi kemungkinan lainnya adalah
mereka membangun hubungan dan bermukim bersama.
Jadi kita
keturunan orang Toala atau Austronesia? Benar sekali ini pertanyaan pentingnya.
Beberapa penelitian menggambarkan secara genetik saya dan kamu adalah keturunan
orang Austronesia dari Ras Mongoloid. Gelombang pendatang dari dataran Cina.
Tapi tidak menutup kemungkinan genetika kita juga masih menyimpan garis Toala.
Arkeolog cum Antropolog, Iwan Sumantri bilang, jika
tidak ada satu orang pun di negara yang berhak mendapuk dirinya sebagai seorang
yang berdarah murni Indonesia. Sulawesi atau Indonesia secara umum seperti
adonan kue. Diramu dengan beragam bahan genetika dan beberapa ras manusia. “Itu
saya kira adalah analoginya. Ada orang-orang yang datang migrasi. Ada yang
bertahan, dan ada yang pergi. Mereka inilah yang kemudian membentuk masyarakat
awal,” katanya.
Jadi apakah kamu
mulai memahaminya. Saya kira catatan ini, untuk mengingatkanmu agar berlaku
adil dalam melihat ragam umat manusia. Ragam pembentuk dirimu sendiri. sebab saya
dan kamu tidak lahir dari proses penciptaan spiritual yang langsung dari tangan
tuhan. Tapi darah kita adalah adonan yang kemudian kita sebut Indonesia.
Kamu tak perlu
interupsi begitu keras, jika mitologi kita di Sulawesi Selatan mengenai To Manurung, orang pertama yang hadir dari
langit itu adalah darah murni. Maka kemungkinan mereka adalah orang-orang
Austronesia. Meski kemudian, “darah” silsilah itu acap kali di reproduksi untuk
mengakses politik dan ekonomi dalam masyarakat. Kamu harus hati-hati bahwa
sebenarnya itu tentang relasi kuasa dan penguasaan properti. Kamu coba lihatlah
istana-istana kerajaan di Sulawesi Selatan.
Maka hari ini
saya ingin mengucapkan selamat merayakan ke-Indonesiaan kita ini sebagai catatan
adminstrasi negara dalam usia 74 tahun. Siapa pun, yang menjadi penduduk tanah
ini, mereka adalah orang Indonesia. Berhenti lah mengumbar rasisme sebab itu
akan membuatmu melihat hidup hidup dengan keras. Kamu Austronesia, atau kamu Toala, atau kamu keturunan
Sawrigading dari kerajaan tua Luwu di Sulawesi Selatan, susunan genetika kita
tetap sama. Adonan yang bhinneka.