Alat batu dari Matano. Foto oleh: Nono BALAR Makassar. |
Tapi coba
merasakan hal lain. Jalan lah ke Maros, tepatnya di kawasan yang dipenuhi
gunung karst. Dan cobalah berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Kalau kamu
belum tahu, dimana itu ambillah gawaimu dan cari di sekitar tempatmu tinggal.
Kini kamu harus menuju ke sana. Benar sekali, batu itu seperti ujung pisau,
runcing dan tajam. Sepatu yang kuat bahkan bisa terkoyak.
Karst Maros
dan Pangkep ini, luasnya sudah kujelaskan pada bab awal, seluas 44.000 ha itu
adalah halaman leluhur kita. Halaman nenek moyang kita. Ya, ya, nenek moyang
itu bukan berarti adalah mereka yang sudah tua. Tapi manusia yang hidup berbeda
masa dengan manusia sekarang. Mereka juga hidup berkelompok, punya orang tua,
remaja, dan anak-anak.
Anak-anak
nenek moyang kita itu, sama dengan kamu yang membutuhkan halaman. Ingin berlari
dan bermain. Lalu memanjat, dan juga berenang. Membayangkan, masa itu, tentu
saja perbandingannya bukan dengan masa sekarang. Waktu itu, tak ada listrik
apalagi jaringan seluler. Mereka tak punya handphone
untuk bermain game. Mereka
kemungkinan, bermain lemparan batu di sungai, atau berlari di hamparan rumput
dan juga menjejak tebing karst.
Kakinya,
sudah terbiasa, telapak kakinya mungkin sudah kebal. Tapi mereka sama dengan kamu.
Bisa saja diwaktu senggang, mereka bermain di sela tebing, duduk-duduk bersantai,
dan meneguk air dari sungai. Mereka juga kemungkinan menggunakan tebing, gua,
dan pohon untuk bermain petakumpet. Menarik ya.
Tapi,
keuntungan lain dari tebing dan ceruk, mereka bisa bersembunyi lalu menunggu
hewan buruan dan memanahnya. Atau melemparnya. Pada masa itu, mereka belum memiliki
kuda, seperti dalam film berburu. Mereka mengandalkan kekuatan dan strategi. Di
banyak gua ketika para arkeolog menggali tanahnya, ditemukan ada banyak tulang
hewan. Ada tikus, kuskus, monyet, babi rusa, bahkan tulang burung. Dan
baru-baru ini juga ditemukan gigi hiu.
Sisa tulang
itu adalah sisa makanan mereka yang terpendam dalam tanah. Jadi, sumber daging
mereka masa itu cukup melimpah. Coba bayangkan, mereka membuat api lalu
memanggangnya di depan mulut gua, sembari melihat bintang dan cerahnya langit.
Mereka makan bersama, setelah itu mereka beristirahat.
Masa itu
memang belum ada listrik. Cahaya api dan bulan lah yang menjadi temaramnya. Mata
mereka terbiasa dengan malam, itu melatih mereka untuk tetap waspada. Jika kamu
bertanya bagaimana mereka melakukannya, dan apakah orang bisa tanpa senter
malam hari? Maka jawabannya tentu saja bisa.
Saat ini, penglihatan
kamu mulai tidak terbiasa, dan terlatih, karena bergantung pada fasilitas dan
kemudahaan. Jadi ketika listrik padam sesaat saja, kamu mulai tidak bisa
berjalan. Akan menabrak kursi, atau bisa saja menabrak tembok rumah. Ihh, ngeri sekali.
Oh ya, hampir
lupa, tadi saya sudah mengajakmu ke kawasan karst bukan. Mari kembali ke tempat
itu. Coba kamu perhatikan, ini adalah Leang Pettae. Mulut guanya ada ribuan
rumah kerang yang sudah menempel, karena membatu bersama larutan karst lainnya.
Gua ini adalah tempat hunian nenek moyang kita.
Nenek moyang
kita mengumpul kerang itu, lalu dimakan di rumahnya. Mereka menumbuk bagian
belakang kerang, lalu menghisap isinya. Ini teknik mengumpul. Tapi bagaimana
dengan gambar Babirusa di dinding guanya?
Tentu saja,
mereka mendapatkan itu dengan cara berburu. Atau ada kemungkinan mereka
menggunakan perangkap. Jadi saya ingin sederhanakan agar kita sepakat, bahwa
menjebak, memanah, mengejar, dan membuat perangkap adalah teknik berburu. Kamu sepakat
kan.
Saat nenek
moyang kita melakukan perburuan, mereka pasti akan berlari di antara tebing, hingga
melompat. Ketika sudah menemukan Babirusa incarannya, mereka akan menombak dan
memanahnya. Dan bisa juga menimpanya dengan batu besar. Saat hewan buruan tertangkap,
mereka membawanya pulang ke rumah.
Di rumah,
mereka akan membuat api dan mulai membakarnya. Sementara itu, kulit hewan
buruan besar seperti Babirusa, akan dikelupas dengan penuh hati-hati
menggunakan alat batu – dinamakannya litik.
Alat batu itu, bentuknya lucu. Pipih dan sangat tajam.
Para arkeolog
sudah menekuni kajian itu sejak bertahun-tahun lalu, untuk bisa membedakan
bagaimana serpihan batu yang terbentuk secara alamiah dan bagaimana serpihan
batu yang dibuat secara sengaja. Para arkeolog ini, melihatnya dari beragam
sisi. Di peralatan itu, mereka melihat dataran pukul, hingga penajaman dengan
menggunakan miskroskop.
Arkeolog-arkeolog
itu melihatnya dengan hati-hati, hingga mereka bisa membedakan ada alat batu
untuk memotong hingga menyerut. Ya benar, itu seperti kau melihat peralatan
dapur ibumu, ada pisau untuk memotong daging, ada untuk mengupas bawang, ada
untuk mengelupas daging ikan. Nenek moyang kita, tentu saja memilikinya, tapi
menggunakan batu.
Lalu bagaimana
pemilihan makanan nenek moyang kita itu. itu tidak lepas dari letak wilayahnya
tinggalnya. Seorang arkeolog, baru-baru ini telah membuat pola sebaran fauna
dalam gua hunian. Temuannya mengejutkan. Gua-gua hunian, atau rumah nenek
moyang kita yang berada di wilayah Pangkep – dinamakan wilayah utara – dominasi
lukisan faunanya adalah dari air (fauna aquatik). Lukisan guanya sungguh
mengagumkan, ada gambar ikan paus, penyu, ubur-ubur, hingga teripang. Sementara
di wilayah Maros – wilayah selatan – faunanya adalah dari daratan, seperti
Babirusa dan Anoa.
Pada masa
itu, itu sekitar 44.000 tahun yang lalu, nenek moyang kita di Pangkep dan
Maros, punya makanan favorit sendiri-sendiri tergantung dari persediaan alam di
sekitarnya. Jadi karena wilayah pangkep itu berdekatan dengan laut, maka mereka
terbiasa berburu di air. Sementara di Maros, karena wilayahnya berdekatan
dengan hutan, maka mereka berburu binatang mamalia.
Itu adalah hal lumrah. Misal jika kamu berkunjung ke Toraja, kamu akan sulit menemukan variasi makanan dari ikan. Tapi mengunyah daging, seperti babi, ayam, hingga rusa, selalu ditemukan. Nah ini berbeda dengan orang Barru, yang sangat senang menyantap ikan laut.
Itu adalah hal lumrah. Misal jika kamu berkunjung ke Toraja, kamu akan sulit menemukan variasi makanan dari ikan. Tapi mengunyah daging, seperti babi, ayam, hingga rusa, selalu ditemukan. Nah ini berbeda dengan orang Barru, yang sangat senang menyantap ikan laut.
Jadi nenek
moyang kita yang tinggal di gua dan kemungkinan yang membuat lukisan itu,
mereka belum memiliki peternakan. Mereka juga belum mampu mendomestikasi – atau
menjinakkan – hewan, mereka hanya mengambil dari alam apa yang dibutuhkan. Maka
dari itu, mereka mencarinya. Atau berburu.
Domestikasi – atau menjinakkan itu - adalah nenek moyang kita yang datang belakangan. Mereka adalah bangsa dari penutur Austronesia. Mereka datang dan mulai bertani menetap. Ketika bangsa ini datang, maka nenek moyang kita sebelumnya, tersingkir. Tapi beberapa anggapan menyatakan, kemungkinan mereka hidup berbaur, dan kemungkinan mereka saling benci. Jadi untuk orang-orang penutur Austronesia ini, kita akan mebahasnya di bab lain ya.
Domestikasi – atau menjinakkan itu - adalah nenek moyang kita yang datang belakangan. Mereka adalah bangsa dari penutur Austronesia. Mereka datang dan mulai bertani menetap. Ketika bangsa ini datang, maka nenek moyang kita sebelumnya, tersingkir. Tapi beberapa anggapan menyatakan, kemungkinan mereka hidup berbaur, dan kemungkinan mereka saling benci. Jadi untuk orang-orang penutur Austronesia ini, kita akan mebahasnya di bab lain ya.