“Karena truk nda mau ke pinggir (menepi),”
“Kalau kau ikut begini terus di belakangnya, sampai Bone
kita itu.”
Akhirnya, Said menepi lalu melepas stir mobil. Rido
menggantikannya, dan wussss, mobil melaju cepat, melambung kendaraan besar di
depan kami. Menikung dengan cepat, menanjak dan menurun. “Terlempar kita kak,”
kata Said yang duduk di bangku depan, sembari tangannya memegang gantungan
tangan dalam kendaraan.
Perjalanan itu dimulai sekitar pukul 19.00, di kawasan
perumahaan Bantimurung, Maros. Kami bertiga akan menempuh perjalanan lintas
kabupaten – Maros, Bone, Soppeng. Sekitar pukul 22.30 kami tiba di kampung
Sewo, kabupaten Soppeng. Rumah La Natu, petani yang berusia 75 tahun. Petani
yang diperkarakan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, dan hendak dipenjarakan
karena menebang pohon dalam kebunnya – kebun yang diklaim lembaga negara itu masuk
dalam zona hutan lindung - untuk membangun rumah anak.
Esok pagi, pada Selasa 27 Oktober, akan berlangsung sidang
dalam agenda mendengarkan saksi ahli. Ini sidang ke lima, yang akan dijalani
petani itu. Rido dan Said menjadi kuasa hukum La Natu. Mereka membantu petani
itu atas nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
Malam kedatangan kami, di rumah panggung yang sejuk itu, keluarga
La Natu sudah menyiapkan makan malam. Kami makan sembari berbagi cerita. Beberapa
orang bertanya ke Rido, tentang perkara itu.
Di rumah itu ada Ario Permadi anak La Natu. Seorang iparnya
juga bernama Sabang ikut hadir. Tiga orang ini menjadi pesakitan, karena
terlibat penebangan pohon. Cerita mulai mengendor, kantuk mulai menyerang. Selimut
dan bantal sudah disiapkan. Kami berselonjoran di atas karpet di ruang utama
rumah itu, lalu tidur pulas, di hembus udara yang masuk melalui sela dinding
bambu.
Selasa pagi, puluhan keluarga petani berkumpul. Mereka akan
mengantar La Natu, Ario Permadi, dan Sabang, menuju pengadilan negeri
Watansoppeng. Jelang pukul 10.00, kerabat lainnya bernama Sudi memimpin doa di
dekat tangga. Lalu kami bersama menuju kantor pengadilan. Pukul 10.15 persidangan
dimulai.
Saya menyaksikannya dengan dada yang sesak.
Pekan depan, pada 3 November, agenda sidang selanjutnya
adalah pemeriksaan terdakwa. Di perjalanan pulang ke rumah, saya duduk bersama
La Natu di kursi belakang mobil. “Sebenarnya bukan kebun saya yang masuk dalam
hutan lindung, tapi hutan lindung masuk ke kebun saya,” kata La Natu.
Saya memandangnya, dan La Natu mengulangi lagi kalimat itu. “Dulu
kalau ada kehutanan, orang ditangkap saja. Di bawa ke kantor polisi. Nda ada
yang melawan karena takut. Sekarang ada LBH mi
yang bantu. Saya jadi tau, orang kampung sudah tau. Kalau polisi kehutanan tidak
boleh semena-mena.”
LBH di Akar Rumput
Di sebuah rumah makan prasmanan, wilayah Camba, Maros,
seorang perempuan muda mempersilahkan kami makan. Perempuan lainnya yang
menggunakan jilbab, dengan ramah menyapa kami lalu bilang,“makan apa adanya ya nak,” katanya.
Rido memilih duduk di kursi lainnya. “Ayo makan saja,” kata
Rido.
“Bapak ini sudah dikenal di sini e. Akamsi (akronim Anak
Kampung Sini),” kata saya.
“Iya. Na kenalka memang.”
Selesai makan, kami tak langsung beranjak. Rido bahkan
mempersilahkan saya menikmati dulu rokok. Dan bilang, “santai saja.”
Lalu lelaki paruh baya lainnya, mendekati Rido. Mereka bersalaman
dan saling bertanya kabar. Dan sebuah map kertas dibuka, dan mereka berdua
serius mendiskusikannya. Beberapa menit kemudian, kami pamit beranjak. “Eh,
tidak byar kah,” kata saya mengingatkan Rido.
“Tidak. Tenang saja,” jawabnya.
Di mobil, kami terkekeh. “Jadi ini bukan kenalan, tapi
klien?,” kata saya.
“Iya, hahahaha,”
“Klien sendiri, atau klien LBH,”
“Klien LBH.”
Dari sini lah cerita lain bermula. “Itumi kasi tobat i Rambo
(staf LBH lainnya) kalau pergi begini. Jadi ada pernah, singgah di warung
seperti itu. Dia ambil makanan sedikit karena takut bayar banyak. Pas pulang,
dikasi tau kalau itu gratis, dan klien LBH, dia menyesal tidak makan banyak,”
kata Rido.
“Kalau anak-anak LBH kemana-mana, sepertinya nda bakal
kelaparanmi. Ada banyak teman di semua kampung,”
“Di LBH kan, kalau mau cari pertemanan dan berproses ini
tempatnya. Kalau cari uang tentumi nda ada.”
Cerita di LBH adalah kisah-kisah para petarung. Mereka mendatangi
tempat-tempat terpencil dimana warga membutuhkan pendampingan hukum. LBH
membangun komunikasi dan melakukan penguatan serta pembelajaran. Mereka
berdiskusi hingga larut malam dan mencari solusi.
Pengacara publik LBH tidak menunggu di pengadilan lalu,
melakukan sidang, setelah itu pulang. Di LBH klien dan kuasa hukum, tidak
melakukan transaksi jasa. Mereka juga tak dibenarkan memungut bayaran pada
dampingan.
Toh suatu ketika misalnya, seorang staf LBH yang mendampingi
kasus buruh, mendatangi tempatnya. Sebelum ke pengadilan, si pengacara LBH
tidak punya rokok. Buruh lainnya, melihat itu. Dan kemudian berinisiatif
membeli rokok untuk si kuasa hukum. “Ini pak rokoknya,” kata buruh itu.
Rokok itu dikeluarkan dari saku depan baju. Tiga batang
rokok. “Itulah bayarannya pengacara LBH, hahahahahha,” kata Rido.
Tak jarang, pengacara-pengacara LBH itu ketika sidang
selesai, mereka diberikan imbalan Rp50 ribu atau bahkan Rp20 ribu.
Rido mengulangi cerita-cerita itu sebagai guyonan. Di halaman
rumah kami yang sempit di Bantimurung, udara semakin dingin. Pukul 02.00
dinihari, akhirnya kami membubarkan diri bercerita. “Nginap lah. Besok baru ke
Makassar,” kataku.
“Jangan kak, besok hari Sumpah Pemuda. Ada demo lagi, semoga
nda ada lagi mahasiswa yang ditangkap,” kata Said.
Jika Anak LBH Menikah
Jika ada anak LBH yang akan menikah, sebaiknya mereka
menikah diam-diam dan mengundang teman-teman dekat saja. “Kalian akan membuat
banyak orang repot, kalau mengumumkan pernikahan,” kata saya, suatu kali pada
Cappa.
Cappa adalah staf LBH Makassar yang belum menikah. Suatu
kali saya, Melissa (staf LBH lainnya), dan Cappa, melajukan motor menuju
Soppeng. Kami menuju kampung Compo Liang. Jalannya sebagian sudah di rabat
beton, sebagian lainnya masih tanah merah. Jika musim hujan jalanan itu menjadi
sangat licin dan susah dilalui.
Melissa yang berboncengan dengan Cappa misalnya, harus
terjatuh dari motor. Dan masih tertawa lepas. Saya melihat mereka menjangkau
orang-orang itu sebagai sebuah keluarga. Mereka bersenda gurau dan bahkan
saling bergurau sebagai anak angkat.
“Kalau besok Cappa, atau Melissa menikah, kasi tau e. Ansar
juga. Kau semua anakku mi. Jadi kami sewa mobil ke Makassar,” kata Nenek Mari.
“Pokoknya, kami usahakan datang. Jangan sampai nda bilang-bilang
itu.”
Melihat LBH bekerja, ibarat melihat kereta api berjalan
bergandengan. Mereka bergerak bersama hingga sampai tujuan. Tak ada yang saling
meninggalkan. Melaju lah terus teman-teman LBH. Bergerak lah bersama.
Selamat ulang tahun YLBHI yang ke 50 tahun (28 Oktober 1970).
Selamat ulang tahun LBH Makassar yang ke 38 tahun (28 Oktober 1983).
0 comments:
Posting Komentar