Penguburan tebing di wilayah Lemo, Toraja. |
Pada usiaku yang ke tiga puluh tujuh tahun, saya mengingat Jufri Buape yang beberapa tahun lalu meninggal dunia. Ketika saya jumpa dengannya, di ruangan depan rumahnya yang sederhana di wilayah Takalar. Usianya sudah renta, sebagian tubuh yang mati karena serangan stroke.
Kepalanya sudah botak di bagian depan, hingga jidatnya
terlihat lebar. Dia menggunakan kemeja, dengan dua kancing bagian atasnya tak
terpasang. Jufri Buape adalah sekretaris Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang sangat sangat
sangat terlarang di Indonesia. Partai yang kemudian membuat anggotanya atau
simpatisannya, atau bahkan orang yang dituduh pernah berhubungan dengannnya,
meregang nyawa, mati di antara rerumputan, di dalam hutan, di pinggir jalan,
atau di liang-liang serampangan di hampir seluruh pelosok negeri ini.
Menggunakan satu tangannya yang bergetar hebat, Jufri
berusaha membuka album fotonya. Ada beberapa foto kawannya berdiri di depan
bangunan camp tahanan Moncongloe. “Dia orang baik,” katanya saat menyebut nama
kawannya.
“Dia suka tertawa,”
“Kalau ini suka menulis,”
Jufri seperti mengoceh. Beberapa jam bertemu dan kemudian
berbagi kabar di telefon. Dan ketika seorang kerabatnya memberi kabar, jika dia
meninggal dunia. Meninggalkan harapannya, untuk melihat semua keadilan
berjalan. “Entah kapan semua ini berakhir,” kata Jufri.
PADA USIAKU yang
bilamana, mendapatkan umur panjang, tiga tahun selanjutnya saya akan berusia
empat puluh tahun. Usia ketika saya
melakukan perjalanan ke Toraja, lalu bertemu seorang sahabat berusia empat
puluh tiga tahun. Dia perempuan yang ramah, selalu mengajak makan, dan suka
bercanda.
Namanya Manaek Bara’ Allo. Kak Mona, begitu saya menyapanya.
Dia ibu dari dua anak lelaki. Menikah berbeda agama dengan suaminya, yang juga
seorang Toraja. Jumpa dengan Kak Mona, kami selalu cerita tentang anak. Tentang
menjadi orang tua. Lalu entah kenapa kami bicara tentang kematian.
Apakah ini sudah saatnya bicara tentang kematian dan amanah?
Entahlah. Tapi perihal kematian, adalah perihal kehilangan yang dalam. Perihal
separuh jiwa dan kenangan yang pelan-pelan tergerus menghilang.
Perihal-perihal kematian ini, pertama kali mendatangi tahun
2010, ketika nenek saya meninggal dunia. Saat keranda meninggalkan halaman
rumah, itulah saat kehilangan besar yang mendekap. Rasanya seperti sesak.
Dan berjalan waktu, setiap memikirkan kematian, saya tak
bisa tidur. Bagaimana rasanya menjadi jasad dan bagaimana meninggalkan
orang-orang yang kita kasihi. Akal ku belum bisa menjangkaunya dan masih
meraba-raba.
Di kedai kopi, Djoeng Coffee Roastery di Rantepao, saya dan
Kak Mona saling berhadapan membagi kisah. Sebagai seorang muslim dia ingin
dikuburkan dengan prosesi yang hikmat. Di masukkan dalam liang tanah dan memiliki
nisan. Tapi suaminya, yang seorang penganut Kristen, kelak akan dimasukkan
dalam Patane, tempat pemakaman orang Toraja. “Jadi itu bagaimana mi saya
kasihan, pisahma sama dia,” kata Mona.
“Kan bisa dalam Patane, tidak di lantai. Kak Mona di kubur
di bawah, suami di atas,”
“Tapi ada lagi bilang kalau kuburan orang islam, tidak boleh
diatapi. Kenapa kah itu semua banyak sekali aturan,”
“Lah kuburan Sultan Hasanuddin dan kuburan orang islam di sekitar
Arab juga diatap ji nah,”
“itu mi deh.”
Mona, lalu menatap saya. Matanya terlihat berair. Sepertinya
ini sesuatu yang serius. Tapi Mona, adalah perempuan yang mampu mengelabui
kesedihannya dengan beberapa candaan. Jika kelak, katanya, mereka meninggal
dunia, dia mau misalkan kuburannya di dekat Patane suami. “Biar kalau Papa
Karrang (Sapaan suaminya dari nama anak pertama), keluar Patane minum kopi, saya juga ada duduk-duduk di atas
kuburanku,”
“Jadi masih bisa kami minum kopi sama-sama. Dan
cerita-cerita,”
Kami terbahak bersama. Lalu menyeruput kopi.
Sehari sebelum bertemu Mona. Saya jumpa dengan Yusuf.
Keluarga Tino Sarungallo (orang Toraja). Tino adalah seorang filmaker.
Meninggal di Jakarta karena sakit. Yusuf adalah kolega yang menemaninya ketika
Tino menghembuskan nafas terakhirnya.
Tino meninggal dengan prosesi muslim. Dimandikan dan
dikafani. Saat pelepasan jenasah menuju mobil, di dalam rumah dilakukan
pemberkatan yang dipimpin seorang pendeta. Dalam perjalanan menuju Tanah Kusir,
pusara terakhirnya, jenasah itu erhenti di masjid dan dilakukan ritual salat
jenasah.
“Dia hidup dengan asyik. Dan meninggalkannya pun dengan
tetap asyik,” kata Yusuf.
“Terakhir, Tino meminta saya mengambil tanah kuburan yang
pertama menyentuhnya untuk dibawa ke Toraja. Sebagai ungakapan syukurnya untuk
leluhur Toraja,”
Kami sepakat dengan itu. Dan saat saya mengisahkannya
kembali pada Mona, dia terharu. “Doa semua orang adalah pasti baik. Apapun
agamanya,” katanya.
Tapi bagaimana rasanya meninggal dunia? Tentu saja tak ada
yang memiliki pengalaman itu. Tapi yang pasti, hadiah kehidupan, adalah
kematian. Dua sisi yang berjalan saling bergadengan. Hidup dan mati, seperti
kekasih yang saling merindukan.
SAYA MENULIS
perihal-perihal kematian ini, saat anakku berusia enam tahun. Ketika
suatu malam dia bertanya, kenapa kakek-kakek dan nenek-nenek selalu meninggal
sakit. Makanya dengan itu, dia menonton Avatar dan mengidolakan Avatar Roku.
Pendahulu Ang, yang berada di dunia roh.
“Avatar Roku bisa bicara dengan roh,” katanya.
“Roh itu orang sudah mati kah?,”
“Saya mau seperti Avatar Roku. Dia hebat.”
0 comments:
Posting Komentar