Makan Kapurung bersama keluarga di halaman rumah. Foto: Asti |
Kenapa mudik
menjadi sesuatu yang mengagumkan. Selalu seumur hidup, akan selalu dilakukan
oleh jutaan orang. Bukan soal harga
tiket bus, pesawat, dan kapal laut yang naik. Tak peduli pula bahan bakar kendaraan
yang ikut mahal. Ini soal berkumpul dan bersama dengan keluarga.
Kampung begitu
selalu dianggap sebagai tujuan mudik. Iya adalah kehangatan yang menyenangkan. Ada
keluarga, tetangga, dan sepupu. Kampung adalah masa kecil yang terus tersimpan
rapi dalam ingatan. Pada tanah, udara, kerikil, sungai, dan kisah-kisah yang akan
terus bertahan, seperti hidup.
Pada 2 Mei
2022, di kampung saya Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, sejak pukul
06.00 ratusan warga telah berjalan dengan pakaian salat dua rakaat untuk idul
fitri. Mereka melewati rumah-rumah, dan saling berteriak untuk membuat penghuni
lainnya, bersigap. Warga berjalan dengan penuh semangat. Manggandeng anak dan
mengenalkannya pada semua keluarga.
Ber-idul
fitri, adalah bersama. Di kampung saya, salat dilakukan di lapangan kecamatan. Orang-orang
datang menggelar tikar, terpal plastik, hingga koran bekas, sebagai alas
sajadah. Diantara setiap baris, sendal terususun berjejer pula.
Ketika salat
dimulai, kami menghadap alas kaki orang di depan. Bersujud hampir menyentuh sendal.
Biasanya salat akan dimulai pada pukul.07.30. Dua rakaat itu akan kelar sekitar
10 menit.
Namun persiapannya
panjang. Sebelum salat, para perwakilan masjid dari setiap lingkungan kampung
akan berdiri di mimbar dan mengumandangkan takbir. Jemaah akan mengikutinya. Setelah
itu, baru kemudian mednengarkan kata sambutan Bupati Luwu, yang dibacakan
kepala kecamatan.
Kali ini,
di tengah matahari yang semakin tinggi, dan membuat punggung serasa
terpanggang, saya berpikir mengenai sambutan itu. Sambutan yang entah siapa
yang menuliskannya. Terasa sangat kering. Isi sambutan yang terulang setiap
tahun, siapa pun bupatinya. Apakah pentingya sambutan itu?
Saya menimbang-nimbang
dan berusaha mengikutinya dengan baik. Mencari pengetahuan baru di dalamnya, kepalanya
saya bekerja keras. Sambutan itu, bilang kalau ini adalah hari kemenangan, hari
dimana semua umat muslim bersuka ria, karena telah melalui puasa. Lalu diakhir
sambutan, kepala kecamatan, kemudian membaca permintaan maaf pada semua
masyarakat atas nama bupati, Basmin Mattayang dan keluarga.
Benarkah warga
penting mendengar sambutan bupati dalam rangka idul fitri itu? Beberapa orang malah
mengeluh. Mereka bilang, tidak tahu apa yang dibicarakan dalam kata sambutan
itu.
Saya jadi
berpikir, mungkin akan lebih menarik, setiap tahun sambutan bupati pada setiap
perayaan idul fitri menjadi laporan pertanggung jawabannya. Berapa anggaran, dan
apa saja yang telah dilakukannya dalam menjalankan pemerintahan di wilayahnya.
Tapi, apapun
itu, saya kemudian menduga jika sambutan itu seperti halnya khutbah jumat, yang
membaca buku lama. Dimana beragam perkembangan isu tidak menjadi landasan
khutbah.
Pernah kalian
berpikir, jika khutbah jumat dan sambutan bupati saat idul fitri itu sama saja
dengan kalian mendengarnya puluhan tahun lalu sampai sekarang.
Jadi selepas
salat idul fitri, di kampung kami juga mendegar ceramah dari orang yang
ditunjuk pemerintah setempat sebagai ulama. Kali ini, ceramahnya sangat
mengesankan kelirunya. Dia melontarkan kalimat seksis. Dia masih bilang jika
perempuan yang akan mencium bau surga adalah mereka yang melayani suaminya dengan
baik, untuk dapur, rumah, hingga kasur.
Anak saya berusia
jelang tujuh tahun, melihat saya dengan baik. Dia hendak bertanya, tapi
kusanggah dengan cepat. Bahwa yang dibicarakannya keliru. Semua orang punya cara
beribadah sendiri, punya cara mensyukuri kenikmatannya sendiri sebagai manusia.
Bukan soal layan melayani.
Jelang pukul
08.30, prosesi salat idul fitri selesai. Ratusan warga meninggalkan lapangan. Mereka
berdiri, dan saling mengulurkan tangan saling bermaafan. Mereka saling memeluk
dan saling mengenalkan diri pada orang yang lebih tua.
Berjalan keluar
lapangan pun, dengan pelan. Sebab semua saling mengenal. Warga yang dilalui
rumahnya akan meminta setiap orang untuk singgah dan mencoba makanan lebaran. Ada
kue kering, ada kari ayam, ada sirup dingin, ada kopi, ada kisah.
Setelah itu,
berbondong-bondong warga menuju kuburan umum. Di sana, orang-orang berziarah
dan memberikan doa pada mendiang keluarga yang meninggal. Anak saya, yang ikut
dengan antusias membaca semua nama di nisan.
Dia ingin
mengenal siapa nenek moyangnya. Saya memperlihatkannya nama Nenek dan kakek. Lalu
memperlihatkannya kuburan orang tua nenek saya, lalu saudaranya, dan keluarga
lainnya.
Dia tak
puas, dia ingin tahu siapa nama nenek-nya nenek moyangnya. Dan bagaimana
kuburnya. Keluarga lain yang mendengar ikut tertawa dan menjawabnya jika itu
susah. Sebab tradisi kami menguburkan jenasah dengan nama, hanya ada beberapa puluh
tahun belakangan. Sebelumnya, orang tua kami hanya menandainya dengan nisan
batu dan menurunkan kisah, jika itu adalah keluarganya.
Generasi selanjutnya
kemudian banyak lupa. Ini tentu saja berbeda, dengan tradisi masyarakat Toraja,
dimana jenasah dan kerangka leluhurnya terjaga dengan baik. Pun dilakukan ritual
ma’nene – ritual membuka liang
kuburan untuk mengenang kembali leluhur.
Ini lah mudik
bagi saya. Dia membawa saya kembali terhubung dengan kampung dan leluhur. Dia menjelaskan
mengapa kami para anak keturunan berada dalam dunia ini. Kami hidup dengan
menekuni ilmu pengetahuan dan terus menjaga keterhubungan itu.
Saya pun masih
mencintai kisah mistis di kampung. Jalanan yang punya hantu, agar pelan-pelan
saat melajukan kendaraan. Atau pohon yang punya penjaga mahluk halus, agar
benar-benar menghargai setiap yang hidup.
Kampung juga
memberi saya pengetahuan akan perubahaan bentang alam. Sungai yang dikeruk
menjadi lebih buruk. Pangan yang terus menerus dipenuhi pestisida. Hingga bagaimana
anak muda semakin jauh dari pekerjaan dengan tanah.
Saya sendiri
adalah generasi yang tak mampu mengolah tanah. Tangan saya tak piawai
mengayunkan parang untuk menebas rumput. Punggung saya tak kuat membawa beban. Atau
kulit saya menjadi begitu rapuh ketika digigit nyamuk dan daun yang punya efek
gatal.
Padahal saat
saya kecil, saya merasa daun dan rumput yang gatal untuk saat ini bukanlah
sebuah masalah. Saya bisa berlari tanpa menggunakan sandal, kini tak kuat lagi.
Ini lah yang menjadikan mudik menjadi begitu mengesankan. Memberi pengetahun yang
jauh lebih dalam, mengenai kekurangan-kekurangan saya.
0 comments:
Posting Komentar