Rabu, Oktober 23, 2024

Kakek, Sedang Apa Di Atas Sana?

Kamis, 17 Oktober 2024. Beberapa jam setelah pemakaman Bapak. Mamak berbaring di kasur kamar. Dia telentang dan pandangannya kosong. Saya mencoba menggoda dan menghiburnya. “Kulalai dikka, reso-reso na bapakmu bawa na jumai,” katanya. (Saya ingat perjuangan Bapakmu membawa saya ke sini).

Saya terdiam. Kalimat itu menghantam kepalaku. 

Awal tahun 1980 Bapak bertemu dengan Mamak di Surabaya. Kala itu, Bapak bekerja sebagai kru kapal di sebuah kapal Pelayaran Nasional. Mamak masih SMP waktu itu, Bapak berusia 20 tahun. Mereka kemudian saling mencintai. 

Tahun 1982, mereka berdua menikah di Surabaya. Nenek saya di kampung, marah-marah dan tak setuju. Bapak kemudian membawa Mamak ke Makassar. Dia tinggal di sebuah kosan bersama Nenek Ibu kami (sepupu dari nenek di kampung), di kawasan Ratulangi. Hingga jelang dua tahun. 

Tahun 1984, Mamak kemudian hamil. Keluarga lainnya, mengabarkan kondisi itu ke Nenek di kampung. Beberapa bulan kemudian, Mamak pulang ke kampung, membawa saya dalam rahimnya. 

September 1984, saya lahir. Keluarga suka cita dan bahagia. Diberilah saya nama, Eko Rusdianto. Saya menjadi cucu pertama. Maka semua sapaan berubah, menjadi Mamaknya Eko, Bapaknya Eko, Neneknya Eko.  

Entah tahun berapa, Bapak kemudian tidak menjadi kru kapal Pelni, tapi berpindah ke kapal kargo yang rutenya ke luar negeri. Setiap kali dia pulang, dia membawa cerita yang beragam. Dari mulai salju, hingga lautan yang mengamuk. 

Saya juga ingat, saat kelas tiga sekolah dasar, Mamak mengajak kami ke Surabaya, ke kampungnya. Waktu anaknya masih tiga orang. Saya, Iwan dan Tina. Tapi rupanya, skenario jalan-jalan itu adalah untuk berpindah. Keluarga Mamak di Surabaya mengajak saya melihat sekolah. 

Ada rencana, orang tua saya berpindah pendudukan. Tapi dua pekan di Surabaya, menjadi buyar. Iwan, saban hari selalu sakit dan selalu teriak mencari Nenek. Akhirnya, kami pun pulang kembali ke kampung. 

Saya ingat betul kami sampai rumah di kampung, pada dinihari. Nenek membuka pintu dan begitu ceria menyambut kami. Inilah setapak tangga, keluarga kami melangkah. 

Setelah Tina, seorang lagi lahir. Namanya Eva. Dia perempuan yang menggemaskan waktu kecil. Rumah panggung Nenek di kampung semakin ramai. Kami berbagi kasur saat tidur. 

Tapi sebagai cucu pertama, saya punya banyak akses kemudahaan. Jika Mamak, harus bersempit-sempit dengan Iwan, Tina dan Eva, saya dengan leluasa bisa memeluk guling sendiri bersama Nenek di ranjang dapur yang hangat. 

Hingga kemudian, rumah panggung itu menjadi rapuh. Bapak yang bekerja di kapal, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan dikelola Mamak dengan cerdas. Mulanya, dapur rumah panggung itu dibongkar, lalu dibangunlah rumah beton. 

Pondasi untuk badan rumah yang utuh didirikan di bawah rumah panggung dan disela tiangnya. Beberapa tahun, bangunan rumah beton itu bertahan, dengan satu kamar, dan dapur. Di rumah yang sempit itu, keluarga kami dengan bahagia menjalankan kehidupan. Ada Nenek, Mamak, Saya, Iwan, Tina, Eva dan kemudian lahir lah lagi seorang anak perempuan namanya Medi. 

Ketika Bapak pulang berlayar, maka rumah menjadi lebih sesak. Tapi entah kenapa, rumah itu terasa legah saja jika kuingat. Kemudian uang keluarga kami berkumpul. Maka badan rumah dibangun pelan-pelan. 

Ketika bangunan itu berdiri, rumah beton itu terasa begitu besar. Maka jadilah kami punya empat kamar di rumah. 

Kamar orang tua berpindah ke badan rumah. Kamar di dapur itu, menjadi tempat Nenek. Ketika SMA, saya menempati kamar paling depan. Tahun 2002, saya melanjutkan pedidikan di perguruan tinggi di Makassar. Lalu saya sakit perut dan harus dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo selama satu minggu. Nenek dan Mamak bergantian merawat. Tapi Nenek tak pernah meninggalkan saya di rumah sakit. 

Saya ingat betul, dia menemani saya masuk kamar mandi. Menyiram pantat, ketika saya hendak cebok jika sudah berak. Beberapa tahun selanjutnya, Nenek terserang stroke. Dia lumpuh dan harus berbaring di kasur kamar dapur itu. 

Keluarga kami merawatnya dengan bahagia. Hingga kemudian, Nenek kami tak lagi mampu membawa penyakitnya dan meninggal dunia. Tapi sehari sebelum meninggal, keluarga menelfon saya yang lagi di Makassar, kuliah. 

Mamak bilang, saya harus pulang. Karena sepertinya, Nenek yang sedang dalam masa kritis dan menuju sakratul maut, menunggu saya. Akhirnya, saya memacu kendaraan roda dua saya ke kampung. 

Saya tiba di kampung, pada sebuah sore. Banyak orang sudah berkumpul di rumah kami. Keluarga sudah sesak. Beberapa orang bergantian melantunkan ayat al-quran di dekat Nenek. Saya masuk ke rumah dan setengah berteriak. “Nenek, saya sudah ada,” kataku. 

Saya masuk ke kamar, dan memegang tangan lalu menciumnya. Nenek membuka mata dan tersenyum. Semua orang yang menyaksikannya juga tersenyum bahagia, sebab sudah tiga hari Nenek tak pernah membuka matanya. 

Jelang pukul 20.00 saya, melihat keadaan Nenek semakin menurun. Kakinya sudah begitu dingin. Pahanya juga dingin. Bagian vaginanya juga sudah dingin. Tersisa yang hangat pada bagian atas dada, dekat dengan pangkal leher. 

Saya menghela nafas. Saya bisikkan kemudian di telinganya kalimat sayahadat. Lalu meminta maaf untuk semua kesalahan yang pernah kuperbuat. Lalu pelan-pelan, saya ucapkan: jika Nenek sudah ingin meninggal, saya memohon untuk tidak melihatnya. 

Berjalan keluar kamar, dan meminta sepupu saya bergantian menjaganya. Alasan saya, hendak merokok. Di depan rumah, saya membakar rokok. Hanya beberapa kali hisapan, suara tangis pecah dalam rumah. Nenek saya meninggal dunia. Saya mafhum dan masuk melihatnya kembali. 

Keesokannya, prosesi pemakaman dilakukan. Setelah jenasah dimandikan. Dikafani. Lalu diangkat ke keranda. Dan jenasah diangkat meninggalkan halaman rumah. Saya merasa guncangan besar terjadi di dada saya. Kaki seperti tak punya tulang dan kepala tak bisa berpikir. Saya menangis tapi tak mengeluarkan suara. Sakit sekali. 

Ini lah kali pertama saya merasakan sakit yang begitu dahsyat. 

TAHUN-tahun berlalu. Hingga saat saya memiliki dua orang anak, hingga saya menuliskan kisah ini, pengalaman kehilangan itu tak pernah lepas. Hingga pada September 2024, Bapak saya, sakit. 

Itu terjadi, di rumah kami di kampung. Pada sore jelang magrib, badannya menggigil dan demam. Lalu jelang tengah malam, Bapak mengeluh tak bisa menahan keadaannya dan meminta Mamak membawanya ke Rumah Sakit. 

Adik saya, Baso, suami dari Eva, membawanya dengan cekatan ke RS Hikmah Belopa. Empat hari dia menjalani perawatan inap. Dan mendapatkan diagnosa Leumenia Myloid Akut (AML)  atau kanker darah. RS Hikmah mengeluarkan surat rujukan ke Makassar, dan kami memilih RS Wahidin Sudirohusodo. 

Dua saudara bapak, om Anton (Kakak Bapak) dan Om Rahim (Adik Bapak), ikut serta mengantarnya. Bapak datang di rumah sederhana saya. Kami menyambutnya dengan penuh semangat. Elang, anak saya, cucu pertamanya, menyambut juga. 

Di rumah, Bapak tinggal dua hari. Sebelum tiba akhirnya, pada Senin, 23 September 2024, kami membawanya ke RS Wahidin dan antri di poliklinik bagian Hematologi dan Onkologi. Sekitar pukul 11.00 nama Bapak mendapat giliran. 

Saya bersama Asti anak bungsunya, anak keenam dari keluarga kami, mengantarnya bertemu dokter dalam ruangan itu. Mamak saya menunggu diluar, dia tak masuk. Ada juga Elang, yang menunggu di kedai Kopi Tiam di lantai dasar, sebab anak kecil tak boleh masuk. 

Dalam ruangan itu, asisten dokter hematologi itu, memberikan kami penjelasan. Dan belum bisa memastikan semuanya sesuai diagnosa dari RS Hikmah. Mereka akan mengambil sampel darah dan membawanya ke Laboratorium dan keesokan harinya baru kemudian akan dipastikan, apakah akan menjalani perawatan inap atau tidak. 

Tapi, kata dokter perempuan itu, untuk memastikan semua, akan dilakukan pengambilan sampel tulang belakang. Dengan cara menyuntiikkan jarum ke sisi panggul, menembus tulang, tepat di tempat produksi darah dalam tubuh. 

Dua jam berikutnya, kami meninggalkan poliklinik yang disesaki ratusan pasien itu. Kami mampir di sebuah warung makan Soto Ayam Lamongan di jalan Perintis Kemerdekaan. Elang, bersisihan dengan kakeknya makan. Dan dia bilang: Kakek harus makan semangat, supaya sakitnya bisa dilawan. 

Dari tempat makan itu, kami tak pulang lagi ke rumah saya. Tapi terus ke rumah Iwan di kawasan Gowa, agar akses jarak ke RS Wahidin lebih dekat. Di sana, kami menunggu hasil analasis darahnya. Keesokannya, hasilnya tak berubah, Bapak mengidap AML. Dan Bapak harus rawat inap. Hati saya menjadi berantakan dan limbung. 

Akhirnya, surat rujukan perawatan kami bawa ke Gedung IGD, bagian Admission. Tapi kamar perawatan pagi itu masih penuh pasien. Kami menunggu. Hingga jelang pukul 17.00 kami mendapatkan kamar perawatan di Lontara 2, kamar 3. 

Ini adalah kelas perawatan dengan jaminan Kesehatan menggunakan BPJS kelas 3. Di kamar itu, ada enam pasien yang berbagi sekat. 

Kami mengantar Bapak masuk perawatan selepas magrib. Lalu beberapa menit kemudian, perawat datang dan memasang selang infus di tangan Bapak. 

Keesokannya, dokter datang dan memberikan kami informasi keadaan kesehatan Bapak. Jika darah putihnya mencapai 70.000, dimana idealnya darah putih untuk pria dewasa adalah 20.000 per milligram. 

Saya masih kelabakan memikirkannya. Lalu mencoba menelusurinya di laman internet, dan menemukan kisah sel darah putih. Perbandingan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) sel darah putihnya sangat rendah dibawah angka standar, yakni bisa saja hanya berkisar 200. 

Mengapa penderita leukimia, mengalami hal itu? Pada prinsipnya, sel darah putih merupakan sel yang melawan jika ada luka dan virus yang masuk dalam tubuh. Meningkatnya sel darah putih secara tak wajar, kata Gabby, nona dokter terbaik kami, biasanya menunjukan adanya keganasan. 

Keganasan, kata Gabby, bisa jadi ada tumor atau kanker. Saya menghela nafas, membaca penjelasan itu. Dan memang saya siap menerima keadaan paling buruk. 

Akhirnya, saya memberitahu Bapak mengenai keadaan penyakitnya. Dia merenung cukup lama. Bapak bilang, leukimia ini penyebabnya karena apa? Saya menjelaskannya dengan seadanya, bisa jadi makanan, keturunan, dan bahkan kontaminasi bahan kimia. 

Saya bilang kemudian, selama 30 tahun lebih, Bapak bekerja sebagai tukang las di kapal. Menghirup asap las yang bercampur elektroda dan bahan aktif lainnya. Dia memandang saya menelisik kehidupannya sebelumnya. “Kalau karena asap las, itu nda bisa dipungkiri,” katanya. 

“Apalagi las dalam tabung. Itu asap las, memang bisa bikin sesak. Biar pakai masker, itu tembus,” lanjutnya. 

“Itulah. Kalau nanti adekmu menelfon, kau kasi tahu untuk hati-hati juga.” 

Bapak mulai menerima keadaan itu. Tapi dia mengkhawatirkan Iwan, anaknya yang juga mengikuti jejaknya sebagai kru kapal. Iwan juga menjadi tukang las di kapal. “Kasi tau Iwan. Kasi tahu i,” tegasnya. 

Selain Iwan, Om Rahim, juga bekerja di kapal, juga seorang tukang las. Saat saya memberitahukan kekhawatiran itu, dia mengangguk. “Yamia to. Parallu dijaga to,” katanya. (Itu penting, dan harus menjaga keselamatan).

Dua hari di ruang perawatan, dokter menyarankan Bapak untuk transfusi trombosit dan sel darah merah untuk menambah Hb. Hari itu, hasil analasis laboratorium darah Bapak menunjukkan, trombositnya hanya sekitar 7.000 dari angka normal 135.000. Sementara HB-nya hanya sekitar 6 dari angka normal 12 atau 13. 

Dalam catatan dokter, Bapak memerlukan 8 kantong trombosit dan 2 kantong sel darah merah. Saya kemudian mengunjungi Unit Transfusi Darah RS Wahidin, dan mereka hanya memiliki persediaan sel darah merah. Trombosit harus cari diluar. 

Saya menuju Unit Tranfusi Darah Makassar di depan gerbang kompleks Bumi Tamalanrea Permai, dan trombosit itu tersedia, meski harus menunggu sekitar 3 jam prosesnya. 

Di Lontara 2, selama dua pekan Bapak dirawat. Dia membutuhkan trombosit sebanyak dua kali, atau sebanyak 16 kantong dan empat kantong darah merah. 

Ketika tranfusi trombosit dan darah merah dilakukan, nampak jelas perubahan kondisi fisik Bapak yang membaik. Wajahnya menjadi cerah dan tidak pucat lagi. Kakinya juga tidak begitu pucat. 

Akhirnya, dokter meminta kami untuk keluar rumah sakit, ketika trombosit bapak sudah mencapai 10.000 dan HB nya mencapai 8. Kata dokter, Bapak boleh istirahat di rumah dulu, selama seminggu, bertemu cucu dan keluarga, serta menghirup udara segar. 

Jelang siang, infus bapak dicabut. Dia senang sekali. Menggunakan celana panjang dan kaos berkerah, dia berbaring sambil mengangkat tangannya ke kepala, menunggu resep dokter. Setelah semua beres, Bapak berjalan keluar kamar perawatan dan naik ke mobil dengan begitu sumringah. 

Dia duduk di kursi depan berdampingan dengan saya. Dia bilang, mau makan ikan bawal laut. Dia rindu sekali ingin mengecap daging itu. Tapi di Makassar, mencari ikan bawal menjadi sangat sulit. 

Akhirnya di perjalanan kami pulang ke rumah, kami menemukan penjual ikan bakar di BTP, yang menjual ikan baronang dan ikan putih. Bapak bilang tidak apa-apa, yang penting ada sambalnya. 

Sesampainya di rumah, dia langsung duduk di lantai dapur dan melahap ikan itu. Bapak sungguh menikmatinya. Setelah makan, dia duduk sesaat di kursi teras dan melihat cucunya bermain. Kini Bapak punya lima orang cucu. 

Dua cucu, laki-laki dan perempuan dari anak saya bersama Tika istri saya. Satu anak laki-laki dari anak Tina bersama Amrin. Satu laki-laki dari Medi dan Ippang. Serta satu perempuan dari Eva dan Baso. 

Tapi Bapak juga sedang menunggu kelahiran cucu perempuan anak kedua Eva yang masih dalam kandungan berusia tujuh bulan. Sore itu Bapak bersendagurau dengan cucunya. Dia tersenyum dan tertawa. 

Tiga hari di rumah, Bapak mengalami demam dan pendarahaan pada gusinya. Saya khawatir dan membawanya menuju IGD RS Wahidin, jelang pukul 23.00. Tindakan itu, kami lakukan sesuai perintah dokter, bila Bapak demam atau pendarahan, harus langsung dibawa ke IGD, tidak perlu menunggu Jumat untuk jadwal kontrolnya. 

Kamis malam itu, saya bersama Asti dan Sasty anak menantunya, membawa Bapak ke IGD. Dokter dengan sigap melayani kami. Lalu kemudian, memberikannya suntikan infus dan mengalirkannya paracetamol dalam botol melalui selang infus. 

Setelah paracetamol habis, Bapak mulai tenang. Lalu petugas kesehatan lainnya, mengambil sampel darah Bapak dari lengan. Dan meminta saya membawanya ke Laboratorium darah di lantai dua Gedung IGD. Keesokan, hasilnya keluar, trombosit jatuh ke angka 5.000 dan Hb-nya masih diangka 8. 

Petugas IGD kemudian memberikan saya secarik kertas untuk melakukan transfusi trombosit, juga sebanyak delapan kantong dan sel darah merah sebanyak dua kantong. Seperti biasa, UTD RS, hanya tersedia darah merah, trombosit harus mencari diluar. 

Di UTD depan Kompleks BTP stok kosong. Saya menuju kantor PMI Sulawesi Selatan di Jalan Lanto Daeng Pasewang dan menemukan stoknya tersedia. Di PMI Sulawesi Selatan ini, trombosit diproses sekitar 1 jam. 

Setelah mendapatkan trombosit, saya membawanya ke UTD RS untuk dilaporkan. Lalu beberapa jam kemudian, Bapak mendapatkan transfusi trombosit itu. 

Dua malam kami di IGD, akhirnya kami mendapatkan kamar perawatan di lantai dua Palem, Kamar 208. Ini adalah ruang perawatan untuk kelas 1 peserta BPJS. Kamar itu hanya dihuni oleh dua orang. Bapak menjadi senang meninggalkan IGD yang riuhnya tak pernah berhenti selama 24 jam. 

Di kamar perawatan, Bapak bisa memejamkan matanya. Dia bisa beristirahat dengan tenang. Meski kamar lebih kecil dibanding ruang perawatan Lontara 2. Tapi pada hari ke lima di ruang perawatan itu, Bapak mulai mengeluh. Dia bilang, penyakitnya sangat mengganggu, karena membuatnya gelisah. Dia merasa tubuhnya tak bisa beristirahat dengan baik. 

Secara fisik, tak ada bagian tubuh yang sakit. Tapi secara mental sangat kelelahan. Di leher, kelenjarnya pun mulai membengkak. Dalam lubang hidungnya juga ada benjolan yang tumbuh. Dia mulai merasakan semakin sesak. Sementara gusinya ikut berdarah. 

Meski beberapa hari, Bapak sudah menggunakan diapers untuk kebutuhan kecingnya, dia tak ingin berak di celana itu. Jadi pada hari ke lima di sore itu, dia meminta saya menemaninya ke WC. Dia berjalan dan saya memegang infusnya. 

Saat dia berak, dan membantunya menyiram tahi, saya liat warnanya sangat hitam. Tapi Bapak tak peduli. Dia kemudian berjalan ke ranjangnya dengan pelan. Sampai di ranjang, dia menjadi sesak. Saya memintanya baring dengan pelan dan menaikkan sandaran kasur, hingga posisinya seperti orang duduk. 

Bapak merasa agak baikan. Lalu tiba-tiba petugas rawat melihat kondisi itu. Dia bilang ke saya, kalau Bapaknya mau berak dan kencing, tidak usah ke WC. Buang airnya di kasur saja. “Kasihan Bapak ini sesak. Jangan ya pak. Nanti kalau berak biar anaknya yang bersihkan. Kan tidak apa-apa,” kata petugas rawat inap itu. 

Bapak menerima masukan itu. Sementara dia semakin sesak, petugas medis itu memasangkannya selang bantu oksigen dengan tabung tinggi di dekatnya. Selang itu, maksimal akan menghantar oksigen sebesar 5 ml. 

Ketika selang oksigen itu dipasangkan dihidungnya, Bapak makin susah bernafas. Tapi perawat inap itu, menenangkannya dan memintanya bernafas dengan pelan melalui hidung. Akhirnya Bapak bisa melakukannya. 

Malam itu Bapak bisa tidur dengan nyenyak. Hanya sekali dia bangun pada dinihari, karena berak dan saya mengganti diapersnya. Lalu kembali tidur dengan baik. Sebelumnya, dokter juga meminta tranfusi trombosit sebanyak delapan kantong dan dua darah merah. Malam itu, transfusi tidak dilakukan. 

Keesokan paginya, saya dan Riri, keponakan Bapak anak dari Om Rahim yang menjaganya, akan berganti jaga. Jelang pukul 09.00 Riri, pamit ke Bapak. “Om Ummang (panggilan akrab para ponakannya, karena Namanya Rusman), pergika dulu kerja nah,” katanya. 

“Iya hati-hati. Jangan balap-balap,” kata Bapak. 

Jelang pukul 10.00, Tina dan Sasty datang. Kini giliran saya yang meninggalkan ruangan untuk mencari makan dan kopi. Saya pamit ke Bapak dan kemudian memilih mencari makan di kantin kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin, yang berdampingan dengan RS Wahidin. 

Saat saya meninggalkan ruang perawatan, Bapak melakukan tranfusi trombosit dan darah merah. Tapi beberapa saat selanjutnya, selang oksigennya diganti menjadi masker yang menghantarka oksigen hingga 15 ml.

Sementara di kampus saya makan bersama Eril kawan angkatan kuliah saya di Arkeologi tahun 2002. Setelah makan kami berpindah di gazebo dan menyeruput kopi lalu berbincang banyak hal. Setelah itu, ikut pula Dekan FIB, Prof. Akin Duli dan seorang dosen lainnya. 

Membicarakan banyak. Lalu sekitar pukul 13.30, saya baru memperhatikan hape dan melihat panggilan tak terjawab Tina. Panggilan ke empatnya, saya angkat dan mendengar suara Tina menjadi lirih seperti sedang menangis. 

“Eko dimana ki. Kesini ki, na cari teruski Bapak,” katanya. 

Saya menjawabnya singkat dan langsung meninggalkan tempat diskusi. Dari parkiran saya memacu motor dan masuk ke RS Wahidin. Saya berlari ke lantai dua Palem dan masuk ke ruangan. Saya lihat kondisi Bapak sedang tak baik-baik. Di dalam kamar, Mamak sudah ada. 

Lalu kami mengganti diapers yang katanya sedang berak. Saat membersihkannya, saya lihat penis Bapak sudah mengecil dan sudah tak terlihat batang. Saya ingat, petuah-petuah orang di kampung, jika salah satu tanda, orang dalam keadaan sakratul maut adalah penisnya mengecil bagi laki-laki. 

Saya panik. Saya melihat Bapak dan mendekatkan mulutku ke telinganya, jika kami anaknya sedang berusaha menjaga dan mencari jalan pengobatan terbaik untuknya. Setelah Bapak sedikit tenang, saya berlari ke luar kamar dan menelpon Om Anton dan Om Rahim, untuk segera ke Makassar. 

“Kalau kau bilang begitu nak, kami ke Makassar sore ini,” kata Om Rahim. 

Saya kembali masuk ruangan. Saya bilang ke Bapak, kalau saya sudah mengabari saudaranya dan dia akan datang. Tina membacakan salawat, istigfar di telinga. Saya membacakan beberapa surah pendek di telinga satunya yang kutahu artinya. Tak lama kemudian, beberapa keluarga datang, dan keadaan ruangan menjadi tegang. Lantunan surah Yasin dibacakan ke Bapak. Saya tetap memeluk kepalanya dan mengusap-usap pipinya. 

Dari kapal Iwan, juga sudah melakukan panggilan video dan terus menangis. Riri juga sudah kembali lagi ke RS Wahidin. Saya ingat, malam itu, dia minta saya membawa Elang, cucu pertamanya untuk menemuinya. 

Tika dalam perjalanan dari rumah ke RS dan kemudian meminta Elang turun lebih cepat. Tika meminta izin ke perawat dan saya meminta izin ke satpam dan bakal menanggung akibatnya, sebab Bapak sedang sekarat dan dia ingin bertemu cucunya. 

Pertugas Satpam dan perawat memberikan ijin. Elang berjalan dengan cepat dan masuk ke kamar Bapak. Dia datang dan membisik ke telinga. “Kakek, saya Elang. Saya sudah datang,” katanya. 

Bapak membuka matanya dan melihat tanpa arah. Lalu sedikit tenang dan kembali tersengal dengan nafas yang berat. Elang, berdiri di dekat ranjang kakeknya dan menatapnya dengan lekat. 

Ketika nafasnya menjadi semakin lemah, saya memasukkan tangan ke selangkangan dan mendapatkan penis Bapak sudah sangat dingin. Rasanya dunia akan runtuh. Dan tiba-tiba saja, Bapak meninggal dunia. Petugas medis yang ada menyaksikan itu mencoba, menenangkan keluarga, dia memeriksa denyut nadi di dekat lehernya dan bilang masih berdetak. 

Dia meminta ijin ke saya, untuk melakukan CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation). Saya membolehkannya. Tiga perawat perempuan bergantian memompa bagian dada Bapak. Dan kemudian, mereka menyerah dan bilang sudah meninggal. 

Medi yang juga sejak beberapa waktu lalu sudah ada di kamar, meraung. Dia memegang tangan perawat itu tak terima. Mamak menjadi begitu lemas. Asti menjadi makin histeris dan bilang kalau dia sudah tidak punya Bapak. Tina juga menangis histeris dan berkali-kali bilang; Bapak Eko, Bapak Eko…        

Saya mendekati adik-adik saya itu satu persatu dan memeluknya dengan tegas. Saya mendekati Elang, dan menciumnya. Mamak saya sudah terbenam dalam perutku. Tangannya gemetar memeluk pinggang. 

Ketika selang infus itu dilepas, hati saya menjadi begitu berat. Seorang kerabat datang mencoba menuntun. Petugas rawat membantu, mengikat tangan Bapak yang dilipat di perutnya. Mengikat kepalanya dari dagu, agar mulut tak terbuka dan mengikat kakinya. 

Setelah itu, saya membungkus jenasah Bapak dengan kain sarung yang kami bawa. Saudara saya, Iqbal Lubis, yang datang telat, memeluk saya. Dia masuk ke kamar jenasah, dan saya meminta Medi yang menjaga untuk membuka penutup wajah Bapak agar Iqbal melihatnya. 

Rasanya dunia mejadi runtuh. Sesak di dada menjadi makin pilu. Di kamar mandi/WC kamar perawatan, saya membenamkan wajah ke baskom yang penuh air dan melampiaskan tangis. Setelah itu saya melangkah keluar dan mencium kembali jenasah Bapak. 

Lalu kemudian, saya mengurus keperluan lainnya. Surat kematian. Hingga menyiapkan mobil jenasah yang akan menghantar Bapak ke Suli. Saudara saya yang lain, Yuda, juga datang telat. Dia mendapati jenasah Bapak ketika sudah berada di kamar jenasah. Yuda lah yang membantu mengangkat janasah dari ranjang ke dipan kasur milik mobil jenasah. 

Yuda menyuruh saya memegang kepala Bapak. Sementara dia, dengan enteng mengulurkan tangannya masuk ke sela pantat Bapak, dan mengangkatnya. Sekejab saya meliriknya, ini adalah bagian penting dari jenasah yang biasanya akan disentuh oleh keluarga terdekat. Dalam perjalan membawa jenasah, saya membungkus jenasah bapak dengan selimut. Mengingat Yuda memperlakukan Bapak.  

Maka; 

Rabu 16 Oktober 2024, sekitar pukul 16.30 Bapak saya meninggalkan kami. 

Rabu 16 Oktober 2024, sekitar pukul 19.30 mobil jenasah mengaumkan sirenenya membelah jalanan dengan kecepatan tinggi menuju Suli. 

Kamis 17 Oktober 2024, sekitar pukul 01.00 jenasah Bapak tiba di rumah yang dibangunnya dengan uang keringatnya sendiri. Jenasahnya diletakkan di ruang tengah, seperti posisi Nenek beberapa tahun lalu. 

Kamis, 17 Oktober 2024, sekitar pukul 12.00, jenasah Bapak diangkat masuk ke kamarnya. Di dalam ruangan itu, kami memandikannya dengan penuh hikmat. Elang, juga ikut menyaksikan Kakeknya dimandikan. Lalu dibalutkan kain kafan, disalatkan, dan kemudian dihantarkan ke pekuburan umum. 

Ketika jenasah Bapak turun ke liang lahat itu, saya menghaturkannya doa dan ucapan terimakasih yang begitu dalam telah menjadi orang tua untuk saya, untuk adik-adik saya. Dan menjadi Kakek yang baik hati. 

Saya duduk dengan posisi jongkok melongo menyaksikan jenasah itu dibaringkan di liang. Elang ada di dekat saya dan ikut menyaksikannya juga. 

Setelah liang kubur itu tertutup, kami berdoa bersama para pengantar. Lalu meninggalkan kuburan dengan perasaan campur aduk. 

Minggu pagi, 20 Oktober 2024, saya, istri dan dua anak, pamit ke Mamak dan menuju Maros untuk melanjutkan hidup. Saya tak bisa membicangkan dan menuliskan perasaan itu. Dan pada Rabu, 23 Oktober 2024, saya ke rumah Sasty untuk mengambil hape Bapak, yang sejak sakit tak pernah diaktifkan lagi. 

Ketika hape itu aktif. Saya membuka aplikasi pesan WhatsApp. Pada Minggu 20 Oktober 2024, pukul 11.26, ada pesan dari Elang, kepada Kakeknya. “Kakek apa kita bikin di sana,” tulisnya. 

Esoknya, pada Senin 21 Oktober 2024, pukul 12.41, itu tepat ketika dia sudah pulang sekolah, dia kembali mengirim pesan ke Kakeknya. “Kakek apa kita bikin di atas sana.” 

Membaca itu, hati saya remuk. Lalu pelan-pelan saya bertanya pada Elang. “Elang rindu sama Kakek?,” 

“Iya,” 

“Bagaimana Elang kenang Kakek kah?,”

“Kakek yang baik hati. Tidak pernah marah. Saya sedih,”

“Kakek pasti senang karena dia tahu, cucunya ingat dia sebagai orang baik,” 

“Iya. Tapi sayang sudah tidak bertemu lagi secara langsung. Tapi saya beruntung, saya kenal Kakek,” 

“Iya Elang, anak yang beruntung,” 

“Tapi tidak ada lagi yang selalu telfonka akhirnya.” 

0 comments:

Posting Komentar