Ingatan saya, kembali pada 27 tahun lalu. Ketika, sebagai remaja mulai belajar begadang bersama kaka-kaka dan orang tua di kampung. Menghabiskan malam, belajar merokok, belajar memasak seadanya, dari mulai pisang rebus, singkong bakar, hingga cara membuat cobe’-cobe’ yang “massadidu”.
Malam hangat dan dingin itu. Orang-orang melahapnya dengan serakah sembari bertukar cerita. Para petani, para mahasiswa, para pengangguran. Sementara itu para pelajar, yang termasuk barisanku, menyimaknya.
Tugas pelajar atau anak muda yang magang begadang, ketika santap malam itu selesai adalah mencuci piring kotor. Berkali-kali saya membawa baskom penuh piring itu ke sisi sungai dan membilasnya.
Tapi beberapa orang mengingatkan, turun ke sungai malam hari, harus pelan-pelan. Memberi kabar pada air dan meminta izin untuk menggunakannya. Sungai bagi kami di kampung, adalah aliran yang menyejukkan dan membahagiakan.
Di pinggirannya yang dipenuhi tanaman jenis mangrove yang kami sebut pohon Bau’, bersarang ikan, udang, biawak, dan buaya. Udang-udang sungai yang punya capit lebih besar dari badannya, berwarna hitam, coklat dan putih bening, punya daging yang manis sekali.
Ikan air tawar, seperti coko’, kalera (kakap air tawar), kampulang (bandeng air tawar), bonti, adalah ikan dengan daging yang gurih.
Bapak Salma, adalah nama penyelam tembak di kampung yang terkenal. Menggunakan kacatama yang frame-nya menggunakan kayu dan direkatkan dengan karet sepeda, seperti kacamata perenang. Senjatanya, adalah panah yang dibuat menyerupai senjata, yang anaknya pakai besi yang diruncingkan dan ujungnya pakai sae.
Berkali-kali melihat Bapak Salma menyelam di kedalaman rimbun Bau’, ketika seluruh tubuhnya sudah tenggelam dalam air, permukaan menjadi begitu tenang. Tubuhnya di dasar sungai, nyaris bagai tak bergerak. Biasanya, hanya sekian detik menyaksikannya, lalu saya kembali ke permukaan.
Di dahan Bau’ itu, beberapa orang yang melihatnya akan duduk dengan tenang dan tak bergerak bahkan tak boleh ribut. Kadang-kadang, orang-orang menjadi khawatir, karena kemampuannya bertahan dalam air.
Ketika Bapak Salma muncul dari permukaan, anak panahnya sudah menancap Bongko Sura’ (lobster air tawar) atau ikan. Kali kejadian itu, di belakang rumah Pak Azis, saat dia melepaskan ikan Coko’ di anak panahnya dan memasukkannya ke ember di pinggir sungai, dia memasang kembali anak panahnya.
Beberapa saat kemudian Bapak Salma muncul ke permukaan. Anak panahnya, tak lepas dari tempatnya. Dia kemudian menepi dan naik ke pinggiran sungai. “Ada nenek dibawah,” katanya. (Ada buaya dibawah dasar).
“Gannamo te. Daumo garu i,” lanjutnya. (Hasilnya sudah cukup, jangan mengganggu lagi)
Indah nian kenangan itu. Rasanya seperti romansa yang membuai, yang buat tersenyum saat menuliskannya. Seperti saat ini.
Orang-orang tua di kampung itu, yang menjadi “senior” begadang saya, sudah banyak yang meninggal. Mereka adalah petani yang ulet. Membayangkan satu per satu wajahnya, rasanya baru semalam berlalu.
Wajah Appu, Uwa Mading, Nenek Guru, Uwa Rakibo, Uwa Azis, Uwa Naing, Appe, Pamberang, Paman, Ubong, Accang, dan masih banyak lainnya. Mereka adalah para ahli pengolahan tanah. Meski setiap malam mereka mengeluh tentang pengairan, soal hama, benih padi yang buruk, gagal panen, tapi tak sekalipun mereka menyerah. Mereka tetap menanam.
Suatu ketika, ketika padi di hamparan sawah itu sudah hamil, mereka berhenti bercerita di dekker, tempat nongkrong. “Ake kiwattang i to pare, inang mawangi memang to kampong,” kata salah satu dari mereka. (Jika padi sudah hamil, maka kampung pun akan diliputi wangi).
Aroma padi saat mengandung. Itu benar-benar membuat saya melongo. “Na apari pale mipaggurui jio passikolang,” lanjut yang lain. (Jadi sebenarnya apa yang kau pelajari di sekolah – sampai tak tahu aroma padi mengandung).
Bertahun-tahun kemudian, setiap tanaman padi mengandung, saya coba mengikuti beberapa keluarga ke sawah. Saya tak pernah tahu, mana aroma wangi padi itu. Hingga akhirnya, padi itu berbulir besar, lalu kemudian matang, dan siap panen.
Selanjutnya, saya mulai merasakan, ketika padi telah berbulir, ada aroma yang hilang di hamparan sawah itu. Itulah aroma padi yang mengandung. Itulah aroma kedamaian para petani.
Para Pilsuf
Ada seorang lelaki tua di kampung yang kami panggil ustads. Namanya Pak Damis. Ustads Damis. Tahun 1980-an, saat saya masih kecil dan belum mengingat apa-apa, warung Nenek Sittiara dilalap api. Orang-orang kampung berjibaku memadamkannya dan rumah panggung di samping kiri dan kanannya menggunakan atap sagu.
Api sungguh membesar dan angin bertiup kencang. Orang-orang sungguh panik. Lalu Ustads Damis datang, dia merapalkan doa dan kemudian menunjuk api itu. Sungguh ajaib, api itu berdiri seperti tombak meski angin bertiup kencang.
Kisah itu, terus berulang diceritakan, hingga saya terus begadang. Sedikit beruntung, Ustads Damis pernah menjadi guru mengaji saya. Dia berulang kali bilang, bila orang-orang yang tau dirinya sendiri, akan bisa terhindar dari masalah.
Ah guru tua yang punya suara lembut itu bertahun-tahun lalu sudah meninggal.
Sementara di ujung Lorong masuk kampung, ada Nenek Guru. Dia juga satu-satunya orang yang dipanggil Guru, meskipun dia bukan seorang guru pendidik formal. Nenek Guru, adalah orang tua periang dan suka bersendagurau. Dia meninggal ketika saya sudah kuliah di Makassar, antara 2002 hingga 2006.
Tapi perjumpaan dengan Nenek Guru sungguh menyenangkan. Ketika SMA dan level begadang saya mulai meningkat, hingga dinihari dan bahkan tak pulang ke rumah. Beberapa keluarga di kampung yang meninggal malam, biasanya ada kami yang begadang mencoba membantu mengurus keperluan. Misalkan, menjemput keluarga di rumah yang lain, atau di kampung tetangga, karena jaringan seluler belum ada.
Saya ingat betul, seorang keluarga di rumah Om Ancong meninggal tengah malam. Om Ancong, bilang ke kami yang masih begadang, untuk mengunjungi Nenek Guru dan memberikan kabar. Dengan mengendarai motor, kami melaju dan mengetuk pintu rumahnya.
Tapi ketika Nenek Guru membuka pintu dan kami belum bicara, dia sudah lebih dulu bicara. “Mate i anu (menyebut nama), sule mako. Deng ngena inde,” katanya. (meninggal (nama), kalian pulang lah, tadi dia ada disini kasi kabar)
Maka saat seperti itu, kami menjadi ketakutan pulang.
Nenek Guru, juga terkenal dengan kemampuannya berteman dengan mahluk gaib. Dia pernah bilang, kalau mahluk gaib itu seperti dunia manusia, tidak ingin diganggu. “Na biasa lalo rampo maccarita ri. Jadi sitandai ki,” katanya. (jadi biasa mahluk gaib itu datang hanya sekedar cerita. Jadi saya berkenalan dengan mereka).
Sesekali beberapa anak muda minta dikenalkan. Tapi Nenek Guru selalu berujar, jika kemampuan seperti itu, adalah cara alam memberikan tanggung jawab pada manusia. Bebannya sungguh berat.
Ada waktu, ketika saya masih SMP, seorang pencuri kedapatan di kampung. Ketika pencuri itu tertangkap, mengaku tak bisa melihat jalan keluar dan melarikan diri. Dia hanya berlari di pinggiran sungai, kemudian bersumbunyi di kuburan, kemudian kembali lagi ke tengah kebun, lalu akhirnya berlari di jalan.
Dan kami percaya, Nenek Guru bersama teman-temannya, menjaga kampung itu dengan membuat orang-orang yang akan berbuat jahat akan kelimpungan dan tersesat arah.
Di kampung, orang-orang tua, memberi kami pengalaman dalam memaknai kehidupan dengan tindakan. Mereka tak mampu menjabarkannya melalui petuah. Tapi mereka selalu membuka diri untuk anak-anak yang akan belajar.
Di kampung ini kami juga mengenal Nenek Monning. Dia adalah pengendali lebah. Ketika seseorang melihat sarang lebah yang menggelantung di dahan pohon, orang-orang akan mengingatnya.
Nenek Monning punya mantra khusus untuk menjinakkan lebah agar tak menyerang. Dia biasanya memegang batang pohon itu dan merapalkan bacaan. Orang-orang bilang, kalau Nenek Monning sebenarnya berbicara dengan pohon dan lebah itu, untuk meminta izin mengambil madu.
Sesekali lebah itu akan mengamuk dan tak ingin sarangnya diganggu. Maka Nenek Monning akan mengetahuinya dan meminta seorang pemanjat, untuk mengurungkan diri. Dan kemudian mencari waktu yang tepat.
Yang Ditinggal
Para pilsuf di kampung kami itu sudah banyak yang meninggal. Rasanya orang-orang mulai kehilangan panutan.
Beberapa tahun terakhir ini, tempat begadang menjadi tidak hangat lagi. Orang-orang berbicara politik lokal. Bicara proyek pemerintahan. Bicara mengenai duit. Kisah rumitnya pengairan dan benih atau hama akan menjadi komuditas politik.
Malam-malam begadang kini menjenuhkan. Kami tak lagi bergegas diam jika mendengar suara burung hantu. Apakah itu pertanda kematian. Ataukah itu siulan parakusang seabgai pertanda akan ada pernikahan di kampung.
Rasanya lapisan pengetahuan makin berkembang. Tapi membuat kami menjauh dari alam.
0 comments:
Posting Komentar